Tiga Puluh Tiga

1K 210 23
                                    

"Kau hubungi dia, Bodoh!"

"Kau benar, aku harus cepat-cepat menghubunginya sebelum Sasuke bunuh diri!"

Saran dari Sasori adalah saran paling berguna saat ini. Namun akan menjadi sebuah sampah saat Sakura menyadari satu hal. Sakura yang hendak melesat ke kamarnya secepat kecepatan cahaya kembali mengurungkan niatnya, memilih untuk duduk di atas karpet berbulu tebal seraya berselonjor kaki. Mengambil satu bungkus keripik kentang yang ada di atas meja lalu memakannya dengan tenang.

Sasori yang melihat kelakuan aneh saudara kembarnya hanya bisa mengangkat alisnya, merasa ada satu kejanggalan di sini. Beberapa detik lalu, Sakura panik bukan main. Lalu sekarang, gadis itu malah duduk santai seraya memakan cemilan seolah tengah berpiknik ria. Kadang ia tak mengerti dengan jalan pikiran saudara kembarnya itu.

"Kenapa malah duduk? Bukankah kau akan menghubungi si pantat ayam itu?"

Sakura terkikik saat mendengar panggilan Sasori untuk Sasuke. Model rambut Sasuke yang bagian belakangnya mencuat seolah menantang gravitasi memang terlihat seperti bokong ayam. Ia menatap Sasori, kemudian menggaruk pipinya yang tak gatal sama sekali.

"Aku lupa, aku tidak punya nomornya," katanya dengan senyum polos. Mengangkat kedua bahunya lalu kembali memasukan keripik kentang ke dalam mulutnya.

"Kalian berdua cukup dekat, dan kau tidak punya nomor ponselnya?" tanya Sasori tak percaya.

"Kami bertetangga, rumah kami bersebelahan. Jadi, aku tak ingat harus meminta nomor ponsel Sasuke."

Sasori berdecak keras. "Kau dan aku juga berada di satu atap yang sama—"

"Itu dulu," potong Sakura.

"Oke, terserah sialan, sesukamu saja. "Sasori menyerah lalu kembali melanjutkan kalimatnya setelah ia ikut bergabung bersama Sakura, duduk berselonjor kaki di atas karpet. Mencuri satu keripik kentang yang ada di pangkuan gadis itu. "Dulu kita tinggal di rumah yang sama," ralat Sasori dengan penuh penekanan serta nada menyindir. "Dan kau masih menyimpan nomor ponselku, kan?" Sakura mengangguk, membenarkan perkataan Sasori. "Lalu kenapa kau tak memiliki nomor si pantat ayam itu?"

"Itu dua hal yang berbeda," jawab Sakura enteng. "Sasuke itu orang yang santai, aku bisa kapan saja menemuinya sesuai dengan keinginanku. Tapi kau." Telunjuk Sakura mengacung tepat di depan hidung mancung Sasori hingga lelaki berambut merah itu harus memundurkan wajahnya. Menatap ngeri pada kuku tajam yang mungkin saja akan menggores wajah tampannya. "Kau itu manusia paling sibuk di dunia, jika aku tak memiliki nomor ponselmu, aku akan kerepotan. Aku tak bisa menyuruhmu ini dan itu sesusaku."

"Wah!" Sasori bertepuk tangan dengan ekspresi tak percaya. "Aku tak percaya omong kosong itu akan keluar dari mulut manismu. Jadi, selama ini kau menganggapku apa?"

Sakura mengangkat alisnya seraya menyeringai. "Pemban—"

"Cukup. Aku tak mau dengar. " Sasori berjalan cepat menuju kamar Sakura untuk mengambil tas kerja dan juga jasnya yang ia taruh di atas tempat tidur. Sakura masih terkikik seperti orang gila saat Ia kembali tak sampai satu menit kemudian."Lebih baik aku pulang dari pada menjadi gila karena tingkah menyebalkanmu. Jangan lupa, bereskan kekacauan yang sudah kau buat."

Mengikuti arah pandang Sasori, Sakura harus meringis saat mendapati ruang tamunya yang luar biasa berantakan. Penuh dengan sampah bekas cemilan dan juga kaleng soda yang tergeletak di mana-mana.

Sakura menghela napas, memilih untuk mengejar Sasori yang kini sudah duduk manis di belakang kemudi. Mengenai sampah, Ia bisa membereskan semuanya nanti. Nanti, kalau dia ingat.

"Tunggu!"

"Apa lagi?"

Sakura memandang Sasori lama hingga membuat pemuda itu kembali berpikir bahwa Sakura benar-benar menaruh hati padanya.

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang