Tiga puluh lima

1.1K 197 9
                                    

"kau menemui sasuke kemarin malam?"

Gerakan tangan Sakura yang hendak menyuapkan satu sendok red velvet ke dalam mulutnya harus terhenti saat mendapatkan pertanyaan dari Sasori. Ia menyimpan kembali sendok yang dipegangnya ke atas piring lalu memusatkan perhatiannya pada lelaki berambut merah yang sedang melonggarkan ikatan dasi di sebrang meja. Gurat lelah tercetak jelas di wajah tampan Sasori, menandakan jika pemuda itu sudah bekerja dengan keras sepanjang hari. Sasori memang seorang pria pekerja keras, Sakura tahu itu.

"Aku, ya. Aku menemuinya," jawab Sakura.

Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe yang berada di sebrang perusahaan Sasori untuk menghabiskan waktu bersama, menikmati pergantian hari di temani secangkir teh hijau, segelas jus stroberi kesukaan Sakura, sepotong red velvet dan juga kerlap-kerlip lampu jalan yang mulai menyala. Bunyi dari kendaraan bermotor terdengar saling bersahutan, seolah berlomba untuk dapat sampai ke tempat tujuan terlebih dahulu.

Meski pun mereka saudara sedarah yang sudah bersama sedari masih dalam bentuk embrio, tapi setelah lulus dari universitas keduanya sangat jarang menghabiskan waktu bersama untuk sekedar bersantai serta mengobrolkan hal-hal ringan di luar.

Dulu, ketika Sakura masih tinggal seatap bersama dengan Sasori, mereka sering meluangkan waktu untuk melakukan hal tersebut setidaknya satu minggu sekali. Keduanya akan mengunjungi tempat-tempat menarik di sekitar tempat tinggal mereka. Menikmati matahari terbenam di pantai yang memerlukan waktu tempuh sekitar dua jam perjalanan lamanya, menonton film membosankan di bioskop, berjalan-jalan di taman sembari menikmati eskrim stroberi kesukaan Sakura atau hal-hal menyenangkan lainnya seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara— setidaknya itulah anggapan orang-orang saat melihat kedekatan mereka.

Bahkan jika mood-nya sedang benar-benar bagus, Sakura akan dengan senang hati menyeret Sasori ke tempat perbelanjaan untuk sekedar memanjakan hasratnya sebagai seorang perempuan—menghamburkan uang. Dan anehnya, meski pun dengan ekspresi jengkel setengah mati, Sasori akan selalu menuruti apa kemauan Sakura tanpa banyak memprotes.

Tapi saat Sakura memutuskan untuk tinggal di rumah barunya, mereka jarang melakukan hal tersebut karena kesibukan masing-masing atau alasan lainnya seperti rasa malas akibat lelah karena bekerja. Ketika hari liburnya tiba, Sakura bahkan terlalu enggan untuk menangkat tubuhnya dari ranjang kecuali dalam keadaan benar-benar mendesak seperti perutnya yang berteriak minta di isi, atau pergi ke toilet saat kantung kemihnya benar-benar penuh.

Dan sepulang dari mengajar tadi, Sakura langsung menuju perusahaan Sasori untuk memberi kejutan pada lelaki itu, menenteng berbagai jenis makanan dalam paperbag untuk makan siang serta dua gelas kopi.

Sakura tidak melakukan apa pun selama di sana, hanya bersantai di sofa sembari menikmati pemandangan dari jendela besar yang memperlihatkan birunya langit serta teriknya matahari yang menyinari seluruh kota. Ia tetap bertahan meski pun rasa bosan mulai melanda, serta hasrat untuk mengganggu Sasori yang sedang fokus dengan tumpukan dokumen semakin membesar. Intinya, Selama hampir empat jam lamanya Sakura berubah menjadi anak baik. Semua itu ia lakukan untuk bisa bersantai seperti yang tengah mereka lakukan sekarang.

"Lalu, apa dia baik-baik saja?"

Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Sasori, Sakura memberikan pandangan anehnya. Pasalnya, sekali lihat pun, semua orang akan tahu jika lelaki itu tak terlalu menyukai Sasuke.

"Dia baik-baik saja. Tapi hubungannya dengan perempuan itu berakhir."

"Semudah itu?"

Sakura mengangguk. "Itu yang semalam Sasuke katakan padaku. Aku bahkan masih tak percaya.... " Ia menjeda sejenak kalimatnya saat menyeruput jus stroberi yang dipesannya dengan tenang. "Dia benar-benar melakukan saran yang aku berikan."

Detik itu juga, Sasori tersedak oleh minuman yang tengah ditenggaknya. Matanya yang memerah dan juga berakhir melotot ke arah Sakura. Tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan saudara kembarnya.

"K-kau ... Barusan ... Kau bilang apa?" tanyanya dengan ekspresi tak percaya. Bahkan lelaki berparas aduhai itu sedikit tergagap saat berbicara. "Saran?"

Sakura mengangguk lagi, sama sekali tak terpengaruh atau merasa khawatir dengan kemungkinan Sasori akan mati karena tersedak. "Ya. Saran."

"Saran apa?"

"Menyuruh Sasuke untuk mengakhiri hubungannya dengan perempuan itu."

"Kau gila!"

Sasori memekik. Oke, sialan. Itu adalah hal yang sangat jarang terjadi. Sasori si lemari es berjalan, anti sosial, serta memiliki kepribadian tak pernah ingin repot-repot mengurusi orang lain—sama seperti dirinya—baru saja memekik.

"Apa yang salah?" tanya Sakura kemudian.

"Kau memberikan saran yang mengerikan, Sakura," ujar Sasori. Menatap ngeri pada saudara kembarnya.

Sakura mengangkat tinggi alis merah mudanya kemudian mendengus keras. Ia sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Sasori. Lelaki itu pasti menganggap dirinya seorang psikopat gila karena telah memberikan saran yang memang 'sedikit' gila.

"Mengerikan? Justru aku memberikan saran yang terbaik," balas Sakura. Masih menyeruput jus stroberinya dengan tenang.

"Menyuruh seseorang memutuskan hubungan dengan kekasihnya aku rasa itu bukan saran yang baik." Ekspresi wajah Sasori berubah dingin begitu pula dengan nada bicaranya.

"Tarik kembali kata-katamu, sialan!" Entah kenapa Sakura menjadi ikutan kesal. "Kau tak akan berbicara seperti itu jika—"

"Aku tahu kau menyukai Sasuke, tapi tak seharusnya melakukan hal yang kelewat batas."

Sakura bungkam. Namun pandangannya masih setia menghunus manik hazel Sasori dengan tajam. Tanpa merasa gentar sedikit pun.

"Kenapa kau bisa menyimpulkan hal itu?" tanya Sakura setelah ia menghembuskan napas dengan keras. Emosinya sudah diambang batas. Namun Ia tahu, dibalik sikap menyebalkan Sasori, lelaki yang berstatus sebagai saudara kembarnya itu tengah mengkhawatirkannya. "Aku, tidak. Sama sekali tidak," elaknya.

"Kau menyukai Sasuke. Matamu mengatakan dengan jelas," tegas Sasori. "Kau mungkin bisa mengatakan tidak pada semua orang termasuk orang tua kita. Kau mungkin bisa membohongi mereka semua, tapi tidak denganku." Lelaki itu memejamkan matanya selama beberapa saat kemudian membukanya kembali. Tatapannya melembut. "Apa kau lupa jika kita sudah bersama untuk waktu yang lama?"

Lagi-lagi Sakura harus bungkam untuk yang kedua kalinya. Apa yang dikatakan Sasori memang benar, ia tak pernah bisa membohongi pria itu sekeras apa pun ia mencoba. Bagi Sasori, dirinya adalah buku terbuka yang sangat mudah dibaca.

"Aku mempunyai sebuah alasan saat memberikan saran itu pada Sasuke." Alasan yang benar-benar bagus, lanjut Sakura dalam hati.

Sakura yang memalingkan wajahnya ke arah jendela besar membuat Sasori mau tak mau harus tersenyum dibuatnya. Meski ia sering merasa kesal dan juga sangat senang membuat kesal Sakura, tapi ia tetap tak bisa bersikap keras pada adik beda lima menitnya. Bagi Sasori, dan juga orang tuanya, Sakura adalah hartanya yang berharga. Jadi, jika ia  memutuskan untuk bersikap keras, itu berarti apa yang dilakukan oleh Sakura sudah sangat keterlaluan.

Sasori hanya tak ingin Sakura kenapa-napa. Sebagai seorang kakak, Sasori sangat mengkhawatirkan Sakura.

"Aku harap kau punya alasan yang bagus untuk itu," ucap Sasori pada akhirnya. Mulai mengenakan kembali jas yang sempat ia sampirkan di kursi kosong kemudian berdiri. "Ayo pulang! Hari sudah mulai gelap," lanjutnya. Melangkah dengan pasti menuju pintu keluar setelah sebelumnya mengacak surai merah muda Sakura.

Sasori yakin jika kini wajah Sakura akan merengut karena ulah tangan nakalnya.

.

.

.

.

Tbc.

Seperti biasa, aku ga ada ide (:

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang