Tiga puluh delapan

978 205 19
                                    

Hal pertama yang Sasori lihat ketika membuka matanya adalah, rambut merah muda yang mencuat ke mana-mana, pandangan mata kosong serta wajah pucat Sakura. Lalu tak lama kemudian, perempuan itu berteriak, mengeluarkan beberapa umpatan dengan keras.

Rasa kantuk Sasori seketika hilang. Ia merangsek mendekati saudara kembarnya yang kini duduk di tepi ranjang, menghadap meja rias.

"Kau baik-baik saja?" tanya Sasori. Tangan besarnya menangkup wajah Sakura agar menghadap ke arahnya. "Apa yang Gaara lakukan padamu?"

Dalam pikirannya, Gaara sudah melakukan hal yang tidak-tidak pada adik beda lima menitnya. Tapi, saat ia meneliti bagian tubuh Sakura dan tak menemukan hal yang janggal, Sasori sedikit bisa bernapas lega.

"Apa yang terjadi?" Sasori memeluk Sakura. Memberikan usapan pelan pada punggung mungil saudara kembarnya. "Kau bisa menceritakan semuanya padaku. Kau tahu itu, kan?"

Sasori malah bertambah bingung karena tak lama setelahnya Sakura menangis, bukan terisak manja seperti tokoh utama wanita dalam drama televisi yang sering ia tonton saat memiliki waktu senggang. Tapi menangis tersedu, meraung persis seperti anak kecil yang kehilangan permennya.

Jika sudah begini, Sasori tak bisa melakukan apa pun selain diam, menunggu Sakura tenang dengan sendirinya.

"Kau sudah bisa bercerita?" Sasori kembali bertanya saat Sakura melepaskan pelukan mereka. Tangisnya sudah berhenti meski isakan masih terdengar sesekali.

Hidung Sakura memerah, matanya sembab, jejak air mata terlihat jelas di kedua pipinya yang juga memerah. Sasori jadi penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada Sakura sampai bisa menangis seperti itu.

"Saki?"

Oke, baik. Terserah, sialan.

Sakura tahu jika Sasori jika sudah memanggil namanya dengan nama kecilnya, berarti pemuda berambut merah yang baru saja terbangun dari tidurnya itu benar-benar mengkhawatirkannya. Dan itu artinya juga, Sakura benar-benar harus menceritakan apa yang terjadi pada dirinya hari ini untuk meredam kekhawatiran yang dirasakan saudara kembarnya.

Sakura menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Hal tersebut ia lakukan sebanyak tiga kali.

Tangannya menggenggam tangan besar Sasori yang masih menangkup kedua pipinya. Sepasang bola mata berwarna hijaunya juga membalas tatapan Sasori. Keduanya saling bertatapan cukup lama, sebelum akhirnya Sakura kembali menarik napasnya, lagi.

"Aku-" Kalimat yang hendak keluar dari celah bibir Sakura kembali terhenti saat bayangan satu jam lalu kembali menghampiri kepala merah mudanya. Ia menggigit bibir bawahnya, kemudian menunduk hingga tangan besar Sasori terlepas dari pipinya.

Demi Tuhan, ini diluar kendalinya. Gaara- tidak! Yang benar saja. Itu pasti hanya lelucon murahan yang sengaja pemuda itu buat untuknya sebelum pergi. Tapi, pipinya-
Sakura Menepuk-nepuk pipinya yang tiba-tiba terasa panas, kemudian menggeleng dengan cepat.

"Aku yakin jika Gaara hanya becanda." Sakura meyakinkan dirinya sendiri. "Sudah sejak dulu dia seperti itu."

Mendengar gumaman rendah yang tak lebih dari bisikan seekor semut membuat Sasori mengangkat sebelah alisnya. Rasa penasarannya bertambah menjadi berkali lipat saat melihat tingkah aneh-sedikit gila dari perempuan yang sayangnya adalah saudara kandungnya sendiri. "Kenapa dengan Gaara?" tanya Sasori dengan pandangan menyelidik.

Sakura terlonjak kaget dibuatnya. Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri membuat ia melupakan Sasori yang sedari tadi duduk berhadapan dengannya. Gelengan pelan Sakura berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Sasori untuknya.

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang