Empat

1.5K 255 17
                                    

Sepi. Itulah yang Sasuke rasakan ketika melewati rumah lama yang kini kembali berpenghuni setelah sekian lama dibiarkan kosong. Dalam hati Sasuke bertanya-tanya, kemana tetangga barunya itu? Apakah dia tertidur? Sasuke terkekeh, sepertinya perempuan itu memang tertidur akibat kelelahan. Karena sebenarnya Sasuke juga merasakan hal yang sama, seluruh tubuhnya pegal luar biasa akibat kegiatan yang mereka lakukan sore tadi.

Mengangkat bahunya, lelaki itu kembali melajukan mobilnya yang sempat terhenti menuju rumahnya sendiri. Sasuke langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah sebelumnya mencuci muka serta mengganti pakaian dengan setelan tidur. Ia mengambil ponselnya, mengecek beberapa pesan yang masuk dan tersenyum tipis setelahnya. Ada sebuah pesan dari Hinata yang mengatakan selamat tidur padanya.

Sungguh manis, pikir Sasuke. Lelaki itu segera membalas pesan tersebut kemudian menyimpan kembali ponselnya di atas nakas, di samping tempat tidur. Karena rasa lelah yang mendera, tak butuh waktu lama sampai kelopak mata Sasuke mulai terpejam serta napasnya yang berubah teratur pertanda jika ia benar-benar terlelap dan mulai berkelana ke alam mimpi.

.

.

.

.

Sialan! Brengsek!

Mungkin hanya dua kata itulah yang keluar dari mulut Haruno Sakura hampir satu jam lalu. Kamar bernuansa putih tulang yang tadinya terlihat rapi, kini berantakan akibat ulah sang pemilik. Alasannya sederhana, ia tak menemukan sesuatu yang di carinya. Sesuatu yang sangat penting. Karena jika tidak ada sesuatu tersebut, Sakura tidak akan bisa bekerja.

"Aku yakin aku membawanya kemarin." Sakura menjatuhkan dirinya yang berbalut celana pendek serta baju tanpa lengan ke atas tempat tidur. Mata berwarna hijaunya terlihat memelototi langit-langit kamarnya. "Aku yakin aku membawanya," ulangnya seraya mengurut pangkal hidung.

Setelah cukup lama dengan posisi terlentangnya, Sakura memutuskan untuk bangkit. Ia membuka laci nakas paling bawah, berharap apa yang dicarinya ada di dalam sana. Lalu pencariannya berpindah pada lemari yang berisi tumpukan pakaian ketika ia tak menemukannya di dalam laci, seketika itu juga Sakura tertawa.

"Mana mungkin aku menyimpannya di lemari pakaian, dasar bodoh!" Sakura memaki dirinya sendiri. Perempuan itu bahkan mengacungkan jari tengah pada pantulan dirinya di cermin saat menutup lemari pakaian dengan keras.

Untuk kesekian kalinya, Sakura mengacak rambut sebahunya karena frustasi. Lalu, kembali melakukan hal yang sama ketika matanya melirik jam yang ada di atas nakas.

Sial! Ia akan terlambat!

Sakura berjalan cepat menuju kamar mandi, namun langkahnya mendadak terhenti ketika otaknya merasa mengingat satu hal.

"Sebentar." Mata hijau Sakura terlihat memicing dengan kedua alis saling menekuk. "Benar! Rumah sialan itu! Aku meninggalkannya di sana!" Sakura bertepuk tangan dengan heboh dan benar-benar masuk ke dalam kamar mandi  setelahnya.

Tak butuh waktu lama bagi Sakura untuk bersiap-siap, karena tak sampai setengah jam, ia sudah berpenampilan rapi. Mengenakan pakaian kerjanya serta wajah yang dipoles dengan make up natural.

"Sempurna," kata Sakura bangga.

Setelah mengambil tas kerja serta memastikan tak ada yang tertinggal, Sakura segera melangkahkan kakinya keluar kamar dan berjalan tergesa melintasi ruang tamu dengan suasana hati riang.

"Kau akan berangkat sekarang?"

Namun itu tak berlangsung lama, karena kini suasana hatinya berubah suram saat mendengar pertanyaan dari pria berambut merah berpenampilan rapi yang kini tengah duduk santai di atas sofa. Ada sebuah koran di tangannya serta secangkir kopi hitam tanpa gula di atas meja. Sakura meringis ketika melihat penampilan seorang Sasori. Benar-benar tipikal pengusaha muda berpenampilan panas  yang mungkin selalu menjadi objek fantasi liar beberapa wanita di luaran sana—kecuali dirinya.

"Ya, aku akan berangkat sekarang," kata Sakura pada akhirnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada dengan mata yang masih menilai penampilan Sasori.

"Kenapa? Kau terpesona padaku?"

Sakura mendengus. "Dalam mimpimu, Bajingan."

Sasori terkekeh, melipat koran yang beberapa saat lalu masih menjadi pusat perhatiannya, kemudian menatap Sakura. "Aku akan mengantarmu."

"Kenapa kau harus mengantarku?" tanya Sakura dengan alis terangkat tinggi.

"Apa aku perlu sebuah alasan?"

Sakura mengangguk mantap. "Sebenarnya, ya. Kau harus mempunyai alasan untuk melakukan itu."

Kali ini giliran Sasori yang mendengus. "Pokoknya, hari ini aku akan mengantarmu."

Sakura memutar bola matanya. "Terserah kau saja," ucapnya malas. "Ah, aku harus ke rumah baruku terlebih dahulu!" tambahnya seraya berlalu menuju pintu keluar dengan kaki di hentakkan.

"Kalau begitu bagus. Sekalian aku melihat-lihat." Sasori mengangkat bahu tak acuh. Lelaki itu menandaskan kopi hitamnya dan segera menyusul Sakura.

"Sasori, aku benar-benar akan membakar mobil barumu jika kau tak keluar dalam hitungan ke lima!"

Sasori kembali terkekeh saat mendengar teriakkan melengking Sakura di luar sana. Satu hal yang paling Sasori sukai adalah membuat seorang Haruno Sakura yang tempramen merasa kesal. Dan mungkin ia akan melakukannya sepanjang waktu.

"Aku datang, Cerewet."

.

.

.

Tbc.

Ada yang nangis pas nonton boruto episode 218? Aku nangis, lho. 😭😭😭😭

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang