Empat puluh

988 185 13
                                    

Seperti apa yang dikatakannya pada Gaara Dua hari lalu, Sakura datang menjemput Gaara ke apartemen yang di tempati lelaki itu menggunakan mobil kesayangan Sasori—tentu saja setelah meminta izin, dengan sedikit paksaan sebelumnya. Membantu mengangkut koper yang akan Gaara bawa, serta mengantarkannya hingga selamat sampai ke bandara.

"Jaga dirimu." Sakura memeluk Gaara sekilas, menekan perasaan canggung yang sudah ia rasakan sejak perjalanan menuju bandara.

"Tentu," balas Gaara. Sudut bibirnya terangkat saat ia mengangguk pada Sakura. "Aku akan makan dengan baik di sana."

"Aku tak menyuruhmu melakukan itu."

Gaara menutup mulutnya saat tawa kecil meluncur begitu saja dari celah bibirnya. "Aku hanya tidak ingin membuatmu khawatir," ujarnya, mengangkat bahu. Mengaduh pelan saat Sakura memukul lengannya main-main. " Ya sudah, aku berangkat."

Gaara melambai ke arah Sakura saat pemberitahuan bahwa pesawat yang hendak ia tumpangi akan berangkat sebentar lagi.

Di tempatnya, Sakura membalas lambaian Gaara, mengucapkan kata "hati-hati" sekali lagi dengan cukup keras. Mengabaikan jika sekarang dirinya menjadi pusat perhatian karena berteriak di tengah keramaian.

Setelah memastikan pesawat yang Gaara tumpangi lepas landas, Sakura memutuskan untuk ke supermarket. Tadi pagi-pagi sekali, sebelum ia ke rumah Sasori untuk meminjam mobil, Sakura mendapati persediaan makanan dalam lemari esnya sudah hampir habis. Ia hanya bisa menemukan beberapa botol air mineral yang berjejer rapi, serta sayuran yang mulai mengering.

Meski Sakura tak bisa berteman baik dengan dapur, tapi setidaknya, ia harus bisa menyediakan makanan untuk dirinya sendiri, meskipun rasa dari makanan buatannya jauh dari kata layak.

Sakura segera mengambil troli,  langsung berjalan menuju tempat di mana beberapa jenis sayuran segar berjejer rapi. Ia memasukkan beberapa buah paprika, wortel serta sayuran lainnya. Kemudian, tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat saat mendapati buah berwarna merah dengan citarasa asam, terlihat segar serta mengingatkannya pada seseorang.

Sakura mengambil satu, memperhatikannya dengan seksama. Ekspresi bingung tercetak jelas di wajah ayunya. Ia merasa merasa dilema, apakah harus membeli buah tersebut atau tidak.

"Terserah. Lagi pula, aku juga membutuhkannya untuk campuran sandwich."

Sakura memasukkan banyak tomat ke dalam plastik, kemudian meletakkannya dengan hati-hati pada troli. Ia memutuskan untuk menyudahi acara belanjanya setelah troli hampir penuh.

Melihat cukup banyak orang yang mengunjungi supermarket, Sakura sudah bisa menebak jika antrean di meja kasir pasti akan panjang, membuat ia mengeluarkan umpatannya dengan nada pelan, tanpa sadar. Hal yang paling ia benci ketika berbelanja adalah, mengantre di meja kasir. Dan sekarang... Sudahlah. Sakura menarik napas panjang, membuka satu kaleng soda yang ia ambil secara asal di troli-nya, kemudian menenggaknya dengan rakus.

Cukup lama Sakura menunggu sampai tiba saat antreannya. Ia mulai membongkar troli- nya, menyerahkan beberapa lembar uang kertas setelah sang kasir berusia awal tiga puluhan itu selesai menghitung.

Ia menenteng dua kantong plastik berukuran cukup besar tangan kiri dan kanannya dengan langkah ringan menuju tempat parkir. Ia merasa lega karena sudah terbebas dari cobaan berat yang baru saja dihadapinya beberapa menit lalu. Namun, sebelum Sakura benar-benar sampai di tempat parkir, seseorang tanpa sengaja menabrak bahunya, cukup keras hingga membuatnya hilang keseimbang. Lututnya terasa nyeri, barang belanjaannya berserakan di mana-mana. Terutama—

"Tomat-tomatku!"

——Sialan!

"Astaga! Maafkan ak—kau?"

Tetangga Idaman (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang