Hinata menutup panggilan secara sepihak saat lawan bicaranya masih terus mengoceh panjang lebar. Pembicaraan yang terjadi sekitar lima belas menit lalu berhasil membuat mood-nya anjlok hingga ke dasar.
Tak ada ekspresi apapun yang tergambar di wajahnya sekarang selain datar. Namun ada sebuah amarah besar yang siap meledak kapan saja yang tersembunyi di sana. Terbukti dari buku-buku jarinya yang memutih akibat remasan kuat pada ponsel yang ada di genggamannya.
"Sasuke brengsek!" Satu umpatan berhasil lolos dari celah bibir tipis berpoles liptint merah muda milik Hinata. Seumur hidupnya, ia sangat jarang mengumpati siapapun. Bahkan ia terkenal oleh orang-orang yang mengenalnya sebagai gadis lemah lembut dengan tatakrama bagus. Tapi karena rasa kesalnya sudah melewati batas, ia memilih untuk bersikap tak peduli. Toh, ini di rumahnya sendiri, tak akan ada orang yang akan mendengar umpatannya itu.
Pembicaraannya dengan Sasuke beberapa menit lalu membuat Hinata menyadari satu hal;perubahan sikap Sasuke. Dan perubahan itu terjadi semenjak Sasuke menceritakan tentang tetangga baru yang menempati bekas rumah paman Sasuke.
Sasuke yang dulu pehatian, selalu mengiriminya pesan setiap waktu kini berubah menjadi seorang lelaki yang seolah kehilangan ingatannya bahwa dia telah memiliki kekasih. Jika Hinata bertanya, maka Sasuke akan menjawab bahwa dia sedang benar-benar sibuk dengan pekerjaannya.
Hinata jadi penasaran, seperti apa rupa gadis aneh yang kata Sasuke memiliki rambut berwarna merah muda itu.
"Aku pasti lebih cantik darinya." Hinata memandangi pantulan dirinya di cermin. " Selama ini tak pernah ada yang meragukan kecantikanku."
Hinata menyeringai, mengambil kembali ponsel yang sempat ia lemparkan ke sembarang arah serta menekan satu nomor yang ada di sana.
"Baiklah, Sasuke. Jika kau ingin bermain-main denganku, aku akan meladimu," ujar Hinata sembari menunggu panggilan telepon tersambung. Perempuan itu segera berdeham setelah mendengar kata halo yang terucap di sebrang sana.
"Naruto, bisakah kau menemaniku keluar?"
.
.
.
Sasuke segera mengganti pakaiannya dengan cepat dan lalu bergegas ke rumah Sakura untuk membantu berbenah. Ia melemparkan ponselnya begitu saja tanpa berniat memungutnya kembali. Jika rusak, ia bisa membelinya kembali.
Jujur, Sasuke merasa sangat kesal pada sang kekasih karena memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak ketika ia masih belum selesai berbicara. Hinata seolah tak mau mendengar penjelasannya.
"Dasar wanita," gerutu Sasuke. Menutup pagar rumahnya dengan kasar seraya berjalan menuju rumah Sakura dengan kaki yang dihentakkan. "Terserahlah, aku tak peduli."
Itachi dan Sakura yang kini berada di ruang tamu mengangkat alisnya secara bersamaan ketika melihat wajah Sasuke yang ditekuk. Ekspresi wajahnya seolah menyiratkan bahwa seluruh masalah yang ada di dunia ini ditanggung oleh Sasuke seorang.
"Kau kenapa?" tanya Itachi. Kedua tangannya terlihat sibuk memotong kabel yang akan lelaki itu sambungkan pada colokan. " Kenapa wajah ditekuk seperti itu?"
Sakura mengangguk menyetujui ucapan Itachi. "Jika urusanmu benar-benar penting, kau bisa menyelesaikannya dulu."
"Aku bisa menyelesaikannya nanti," ucap Sasuke. Punggung lebarnya ia sandarkan pada sandaran sofa yang benar-benar terasa empuk dengan kedua mata terpejam erat. Di sebrang meja, Sakura hanya diam memperhatikan sambil sesekali melirik ke arah Itachi. Bertanya lewat tatapan mata apa yang telah terjadi pada Sasuke sebenarnya.
Namun yang Sakura dapati adalah Itachi yang mengangkat kedua bahunya seolah tak peduli.
"Aku akan memesan makanan untuk kita," kata Sakura mencoba memecah keheningan yang tercipta. "Sebentar lagi waktu makan siang tiba."
Sakura segera berjalan meninggalkan kakak beradik itu menuju kamarnya untuk mengambil ponsel.
"Apa yang terjadi?" Itachi kembali membuka percakapan setelah sosok Sakura benar-benar tak terlihat. "Hari ini kau ada kencan dengan kekasihmu, kan? Kenapa tiba-tiba membatalkannya?"
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi dari sang kakak, akhirnya Sasuke membuka mata. Menatap Itachi dengan sorot tak terbaca lalu mengangguk lesu setelahnya.
"Aku pasti sudah gila karena membatalkan acara kencan yang sudah kurencanakan jauh-jauh hari."
Itachi tertawa mengejek. "Biar kutebak, kekasihmu marah, kan?"
Sasuke menatap Itachi, merasa sangat kesal dengan sikap kakaknya yang kelewat santai "Hinata pasti lebih gila dariku jika dia tidak marah."
Itachi menyetujui ucapan Sasuke. Memang perempuan mana yang tak marah jika acara kencannya dibatalkan secara mendadak?
"Lalu kenapa kau membatalkannya?" tanya Itachi lagi. "Apa karena Sakura? Kau menyukai Sakura, kan?"
Sasuke mengusap wajahnya secara kasar. Merasa sangat frustasi ketika lagi-lagi Itachi memberikan beberapa pertanyaan yang tak bisa ia jawab sama sekali. Mulutnya terbuka dan tertutup beberapa kali, bermaksud mengelak dari tuduhan tak berdasar Itachi, namun Sakura sudah lebih dulu datang dan duduk tepat di sampingnya. Benar-benar di samping tubuhnya—bukan di sebrang meja.
"Lima belas menit lagi makanan akan tiba," jelas Sakura sembari tersenyum ke arah Itachi.
Itachi yang melihat Sakura telah kembali, memutuskan untuk berdiri. Meninggalkan mereka berdua mungkin akan menyenangkan. Diam-diam Itachi menyeringai, ingin bertepuk tangan dengan ide dadakannya yang sangat briliant.
"Sakura, maafkan aku. Tapi kurasa aku harus pulang sekarang." Itachi mengabaikan pelototan Sasuke. "Badanku terasa lengket dan sepertinya aku perlu mandi." Ia memperlihatkan wajah bersalahnya pada Sakura, kembali mengabaikan Sasuke yang pasti sudah merapalkan sumpah serapah serta mengacungkan jari tengah untuknya di dalam hati. Itu terlihat sangat jelas di wajah adik kesayangannya. "Jadi, kalian nikmati saja makan siangnya, oke? "
Sakura hanya bisa menghela napas seraya mengangguk.
"Baiklah."
.
.
.
.
Tbc.
Sasuke gila. Wkwk
Chapter selanjutnya setelah vote tembus 50+,ya. Maksa, eh 🙈🙈🙈