Sasuke dan Sakura, keduanya sudah membahas mengenai bagaimana cara memberitahukan perihal rencana mereka yang akan menikah pada orang tua mereka. Awalnya, baik Sakura mau pun Sasuke akan melakukan hal tersebut sendiri-sendiri. Tapi, keduanya berpikir itu terasa sangat merepotkan jika mengingat sifat ibu mereka.
Sasuke tak ingin menghadapi respon ibunya yang pasti akan selalu heboh sendirian. Begitu juga dengan Sakura. Meski perempuan itu harus merelakan harga dirinya terinjak-injak karena tingkah memalukan ibunya ketika di depan Sasuke, tapi Sakura juga enggan untuk menghadapi itu sendirian. Setidaknya, ada seseorang yang merasakan hal serupa dengan apa yang ia rasakan jika mereka berdua.
Jadi, keduanya sepakat untuk mengumumkan rencana pernikahan mereka secara bersamaan dengan cara mempertemukan kedua keluarga di kediaman Sakura.
Terdengar seperti sebuah lamaran, bukan?
Tidak, tidak. Itu tidak sama.
Tidak ada yang spesial di kediaman Sakura sekarang ini. Tidak ada hidangan istimewa yang berjejer rapi di meja makan— Sakura tidak mau repot-repot menyiapkan hal merepotkan tersebut, tidak ada tamu undangan yang hadir untuk menyaksikan acara tukar cincin— karena memang tidak akan ada hal seperti itu, juga tidak ada lagu romantis yang diputar. Tidak ada!
Hanya ada tujuh orang yang duduk di sofa di ruang tamu. Mengenakan pakaian santai dengan ekspresi berbeda yang tercetak jelas di wajah masing-masing.
Sakura dan Sasuke dengan wajah kakunya, Sasori memperlihatkan wajah malas, sedangkan Itachi tanpa henti menyeringai sambil sesekali menaikturunkan alisnya untuk menggoda adik serta calon adik iparnya. Sakura dan Sasuke sudah lebih dulu memberitahu keduanya, dan jangan tanyakan seperti apa respon dari kedua lelaki itu. Jangan tanya!
Untuk para orang tua, terutama para ibu, keduanya menunjukkan ekspresi serupa. Wajah bersinar dengan binar di mata.
"Jadi, kenapa kalian menyuruh kami berkumpul?" Haruno Kizashi, kepala keluarga Haruno angkat suara. Menatap ke arah dua orang yang duduk bersebelahan di sofa panjang dengan pandangan menilai. Menerka-nerka hal penting apa yang akan putri paling menggemaskannya juga pemuda yang ia ketahui adalah tetangga putrinya itu bahas.
Siang tadi, istrinya yang berisik memang memberitahukan bahwa sang putri menyuruh mereka sekeluarga untuk datang ke kediamannya karena ada hal penting yang harus dibicarakan. Tanpa memberitahu hal penting apa itu. Tapi jika dilihat dari gelagat keduanya yang sangat transparan, Kizashi rasa, ia sudah mengetahuinya.
Sasuke tanpa sadar menelan ludahnya secara paksa. Terasa sulit, hingga ia berpikir ada sesuatu yang sangat besar tersangkut di tenggorokannya. Netranya beralih pada Sakura, meminta pendapat apa yang harus ia katakan. Dan Sakura membalasnya dengan gelengan pelan sebagai jawaban.
Sasuke ingin mengumpati perasaan gugupnya yang hadir secara berlebihan, tapi sayang ia tak bisa melakukan itu sekarang. Sosok berambut merah muda, hanya saja sedikit lebih pucat dari milik Sakura yang duduk bersandar pada sofa tunggal terlihat sangat mengintimidasi, itu yang Sasuke rasakan sekarang ini.
Sasuke berpikir, jika ayahnya masih ada dan berkumpul bersama mereka, ia yakin ia akan mati berdiri karena gugup. Baik ayahnya mau pun ayah Sakura, mereka memiliki aura yang sama. Aura penuh intimidasi yang sangat kuat. Bedanya hanya pada ekspresi wajah. Jika mendiang ayahnya merupakan sosok yang minim ekspresi, maka ayah Sakura adalah kebalikannya. Sebab, raut wajah Haruno Kizashi sekarang ini cenderung santai.
Dan, lagi-lagi Sasuke ingin mengumpat karenanya. Bagaimana bisa orang yang terlihat santai dan juga hangat bisa memiliki aura semenyeramkan ini?
"Sakura?" Suara Haruno Kizashi kembali terdengar, menusuk telinga Sasuke bagai melodi kematian. Padahal bukan namanya yang disebut oleh pria paruh baya itu. "Apa yang ingin kalian bicarakan?" ulang pria tua itu.
Sasuke mendapati Sakura menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya dengan kasar. Sasuke tahu, Sakura juga merasakan hal yang sama seperti dirinya.
"Begini... Ayah, kami—"
"Biar aku saja." Sasuke membawa jemari Sakura ke dalam genggamannya, memberi senyum simpul untuk perempuan itu. Sasuke yang harus melakukannya. Sebab, ia adalah seorang pria sejati. Itachi pasti akan menertawakan pemikiran konyolnya jika mengetahui itu. "Aku yang akan berbicara pada keluarga kita," lanjutnya.
Sasori yang sekarang sedang sibuk mengetikan sesuatu di ponselnya hanya merotasi bola mata. Menurutnya, Sasuke dan Sakura sudah seperti sepasang tersangka pembunuhan yang hendak dieksekusi mati. Dan keduanya bersikeras ingin lebih dulu mendapatkan hukuman tersebut karena tidak mau melihat orang terkasihnya meregang nyawa. Astaga.
"Kami.... aku dan Sakura akan menikah." Pekikan tertahan dari para ibu membuat Sasuke cepat-cepat menambahkan sebelum pekikan itu berubah menjadi teriakkan. "Maksudku, kami berencana menikah. Tapi tidak dalam waktu—"
"Ibu setuju." Mikoto mengangkat sebelah tangannya, memotong ucapan sang putra yang bahkan belum usai. Terkesan terlalu semangat, itu yang Sasuke lihat. "Ibu sangat setuju jika kalian menikah."
"Ibu juga." Kali ini Haruno Mebuki yang berbicara, tak kalah semangat dari ibunya. "Ibu ingin segera menggendong—"
"Sebaiknya ibu hentikan pemikiran konyol ibu sekarang juga." Sakura mengurut pangkal hidungnya sembari memperhatikan ibunya dan juga ibu Sasuke yang kini sama-sama berkekspresi kecewa. Sejak kapan mereka akrab? Astaga, mereka kompak sekali. "Itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat."
"Kenapa?" tanya Mikoto. Mebuki mengangguk setuju. "Bukankah lebih cepat lebih baik?"
"Aku sudah bilang, kami tak akan menikah dalam waktu dekat," jawab Sasuke. Kepalanya mulai berkunang-kunang sekarang. Ibunya adalah sosok tangguh yang pantang menyerah dalam segala hal. Ia tidak akan menyerah sampai mendapatkan hal yang diinginkannya. "Aku dan Sakura masih harus melakukan berbagai hal untuk kami."
"Kalian bisa melakukannya setelah menikah, 'kan?"
Astaga. Kenapa Haruno Kizashi malah mengatakan kalimat yang membuat para ibu menyeringai seperti iblis?
"Tidak, ayah. Tidak seperti itu," jelas Sakura. Berharap para orang tua mengerti dengan kata-katanya. "Ada beberapa hal yang tak bisa kami lakukan setelah kami menikah."
"Dan apa itu?" todong Mebuki.
"Itu—" Mulut Sakura langsung tertutup rapat saat tak tahu harus memberikan jawaban seperti apa atas pertanyaan ibunya.
"Aku tidak keberatan jika Sakura dan Sasuke menikah dalam waktu dekat." Si sulung Uchiha langsung mendapatkan pelototan dari Sasuke satu detik setelah menyelesaikan perkataannya. Dan itu tak berefek apa-apa padanya.
"Aku juga." Sasori berujar santai, tentu saja sembari menyeringai ke arah Sakura yang masih berusaha menahan kekesalannya.
Pekikan girang dari para ibu kembali terdengar, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Merasa puas dengan dukungan dari putra sulung masing-masing.
"Jadi?"
"Jadi?" ulang Mebuki dan Mikoto secara bersamaan.
Kemudian, para orang tua saling melempar senyum yang membuat Sakura serta Sasuke menatap was-was ke arah mereka bertiga.
Pada akhirnya, acara pernikahan akan diselenggarakan satu bulan dari sekarang. Itu sudah menjadi keputusan bersama.
Maksudnya, tanpa perlu repot-repot mendengar pendapat dari ke dua tokoh utama yang sudah terlihat pasrah.
.
.
.
-To Be Continued-