"Jadi, kapan kau akan pindah ke rumah itu? "
Sasori sudah duduk manis dengan pakaian rapi di meja makan ketika melontarkan pertanyaan tersebut. Ada beberapa makanan yang sudah tersaji di sana. Tentu saja itu buatannya sendiri. Selain parasnya yang tampan, Sasori adalah sosok suami idaman bagi ratusan kaum hawa—sayangnya Sakura bukan termasuk golongan tersebut.
Selain tampan dan pandai memasak, Sasori juga memiliki banyak kelebihan lain dalam dirinya. Terkadang, Sakura berpikir kebaikan apa yang pernah Sasori lakukan di masa lalu hingga memiliki banyak kelebihan seperti itu? Apakah penyelamat Negara? Sialan! Ia sedikit iri dengan hal tersebut.
"Kenapa kau masak sebanyak ini?" Sakura memilih bertanya hal lain daripada menjawab pertanyaan yang Sasori lontarkan padanya. Ia ikut mendudukkan diri di sebrang meja. Ada raut geli yang ditampilkan wajahnya ketika menatap Sasori yang tampak sebal. "Kita hanya tinggal berdua saja," tambahnya dengan kekehan.
Sasori mendengus. "Ini untuk merayakan kepergianmu dari rumah ini." Sebisa mungkin menahan tangannya agar tak melemparkan garpu yang tengah ia pegang pada wajah menyebalkan Sakura.
"Sialan!" umpat Sakura. Mulai memasukan satu tempura udang ke dalam mulutnya. Perpaduan gurih dan renyah dari tepung, serta tekstur lembut dari udang yang di masak dengan tingkat kematangan pas langsung memanjakan lidah Sakura. Ia bahkan hampir berdecak kagum atas mahakarya yang Sasori buat.
Masih ada beberapa makanan lain yang rasanya sama sekali tak mengecewakan lidah Sakura. Menurutnya, Sasori lebih pantas menjadi seorang chef berpenampilan panas ketimbang seorang pengusaha. Sakura yakin, Sasori akan sering wara-wiri di berbagai stasiun televisi serta memiliki banyak penggemar jika lelaki itu memutuskan beralih profesi.
Mereka berdua makan dengan tenang, tak ada percakapan yang terjadi selama hampir setengah jam lamanya. Namun sesekali, Sasori mencuri pandang ke arah Sakura yang kini tengah mengelap mulutnya dengan tisu pertanda gadis itu menyudahi acara sarapannya.
"Bagaimana? Apakah masakanku enak?"
"Tidak," jawab Sakura yakin. Namun ekspresi wajahnya menyiratkan hal lain. Dan hal tersebut sudah cukup membuat Sasori menampilkan senyum tipisnya.
"Terimakasih atas pujiannya, Nona. Aku merasa tersanjung."
Sakura memutar bola matanya. "Dasar bajingan gila."
"Hei! Berhenti mengumpatiku, sialan!"
"Kenapa?"
"Kenapa?" ulang Sasori tak percaya. "Kau bilang kenapa?"
Satu seringai menyebalkan terbit di bibir Sakura. "Ya, kenapa," katanya enteng. "Beri aku sebuah alasan kenapa aku tak boleh mengumpat padamu."
Demi Tuhan! Sakura si manusia paling menyebalkan di Alam semesta kembali berulah.
"Alasan? Baiklah, kali ini aku akan memberimu sebuah alasan." Kali ini giliran Sasori yang menyeringai. "Alasan yang tak mungkin bisa kau bantah sedikitpun."
Sakura mengambil sebuah apel dan mulai memakannya, menunggu dengan sabar alasan apa yang akan diberikan Sasori setelah ini. Namun sampai apelnya tersisa setengah, lelaki itu tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Ada hal lain yang membuat Sakura harus memberikan tatapan awasnya pada Sasori sekarang. Tidak mungkin alasan itu, kan?
"Sasori?" panggil Sakura hati-hati.
Sasori tersenyum manis. "Ya, Sakura?"
"Alasan apa yang akan kau berikan padaku? Jangan katakan—"
"Kau bisa menebaknya?"
"Sialan, Kau! "
Sasori tampak puas saat melihat wajah Sakura berubah masam. Perempuan itu bahkan menyimpan apel yang tinggal tersisa setengah ke dalam piring kotor. Sasori sangat yakin jika Sakura kini benar-benar sebal kepadanya. Oh, ia merasa sangat senang sekarang.
" Aku tak akan sudi mengakui hal itu!" Sakura berdiri, menyambar tas yang tergeletak di atas kursi dengan perasaan kesal. "Jadi, jangan harap aku akan memanggilmu dengan sebutan kakak," lanjutnya. Ia lebih memilih pergi meninggalkan Sasori yang kini masih mengeluarkan tawa nistanya dengan kaki di hentakkan.
Namun langkahnya harus kembali terhenti ketika Sasori kembali berbicara.
"Sudahlah, adikku. Sebaiknya kau mengakui hal itu, Oke?" Sakura yakin jika kini Sasori tengah mengejeknya sekarang. "Berhenti mengeluarkan umpatan untukku dan panggil aku dengan sebutan kakak."
Di tempatnya, Sakura benar-benar harus menarik napas dan mengeluarkannya secara berulang Untuk menahan emosinya. Apapun yang terjadi, bahkan jika hujan dan badai tiba-tiba saja merobohkan rumahnya, pokoknya ia tidak boleh emosi atau harinya akan berubah menjadi buruk. Sebelum memutuskan untuk berbalik, Sakura memasang senyuman manis di wajahnya. Bersiap mengeluarkan serangan balik untuk Sasori.
"Sasori."
"Kakak, Sakura." Sasori meralat ucapan Sakura.
"Ah, ya. Terserah kau saja." Sakura menghampiri Sasori yang kini tengah menopang dagu. "Apa kau melupakan satu hal?" Tubuhnya sedikit membungkuk untuk membalas tatapan mata Sasori yang seolah menantangnya.
"Apa?" tanya Sasori membalas senyuman Sakura. "Aku rasa, aku tak melupakan apapun."
"Kau yakin?"
"Tentu saja." Sasori mengangguk mantap. "Aku tak pernah seyakin ini selama hidupku."
"Biar kuberitahu satu hal." Sakura mengelilingi meja makan dan kembali duduk di kursi, tepat di sebrang Sasori. "Kita—"
"Oh, kau tak perlu memberitahuku hal itu." Sasori memotong ucapan Sakura sembari mengibas-ngibaskan sebelah tangannya. "Meskipun kita kembar, tapi itu tak mengubah fakta aku adalah kakakmu."
"Sialan! Kita hanya beda lima menit, Sasori. Li.ma.me.nit." tekan Sakura. Ingin sekali rasanya melempar wajah menyebalkan Sasori dengan piring kosong bekas makan mereka. "Dan sampai kapanpun, aku tak akan pernah memanggilmu dengan sebutan laknat itu, " lanjut Sakura. "Jadi, berhenti mengharapkan sesuatu yang mustahil. Aku pergi! Dan terimakasih, aku bisa berangkat sendiri," tambahnya ketika melihat Sasori hendak membuka mulut.
Untuk kedua kalinya dalam lima belas menit, Haruno Sakura pergi dari area dapur dengan kaki yang di hentakkan. Demi apapun! Kenapa ia tak pernah menang jika beradu mulut dengan setan merah sialan itu. Brengsek!
.
.
.
Tbc.
Jadi, Sasori dan Sakura itu kembar, ya. 🤣🤣🤣