03. Debaran Hati

957 306 182
                                    

Hari yang cukup melelahkan. Sabtu sore, kafe ini memang selalu ramai akan pengunjung, membuat Kylie harus mengeluarkan ekstra tenaga. Namun, senyumannya selalu tampak merekah. Semangat gadis itu seakan tak pernah surut.

Alarm pergantian shift berbunyi, pekerjaannya telah usai. Piring terakhir yang ia bawa, kini telah beralih ke tangan seseorang di hadapannya. Kylie mendongakkan kepala dan mendapati Kris rekan kerjanya.

“Sini biar aku saja, sudah waktunya kau pulang.” Pria ikal itu tersenyum.

“Ah Kris, biar aku saja. Kau baru sampai bukan? Gantilah bajumu terlebih dahulu.”

“Sudahlah, kau pasti lelah,” ucap Kriss, pria itu berjalan ke arah wastafel dan menaruh piring kotor itu di sana.

Kylie terlihat menyunggingkan sebuah senyuman. “Terima kasih, Kris.” Perempuan itu bergegas menuju loker untuk mengambil barangnya tak lupa ia melepas berbagai atribut pekerjaan.

Kylie menyalakan ponselnya dan melihat jam yang tertera di sana, bus yang biasa ia tumpangi baru akan tiba 10 menit lagi. Ia tidak mau menunggu di halte itu sore ini. Kylie takut kejadian kemarin akan terulang kembali.

Kylie memasang earphone di telinganya, menyetel musik dari ponselnya kemudian duduk termenung di samping jendela.

Lagu yang Kylie putar membuatnya larut ke dalam perasaan, hingga ia baru menyadari jika bus yang akan ditumpanginya sudah berada di halte. Dengan panik Kylie berlari. Malangnya, gadis itu terlambat. Bus telah kembali melaju.

“Yah ... .” Kylie membungkuk ia terengah-engah kecapaian. Gadis itu bingung, haruskah ia kembali ke kafe dan menunggu bus selanjutnya 30 menit lagi? Sepertinya itu lebih baik, daripada menunggu di halte remang ini.

Saat Kylie hendak berbalik badan, sebuah mobil Buggati berhenti tepat di depannya. Pintu mobil itu terbuka, menampilkan sosok yang sedari tadi Kylie hindari.

“Nona Caldwell.”

Tidak ada jawaban dari mulut Kylie, gadis itu hanya mampu berdiam diri. Jangankan untuk berbicara, menggerakkan jari saja ia tidak bisa.

“Naiklah, aku akan mengantarkanmu pulang.”

Benarkah dia akan mengantarkannya? Atau mungkin itu hanya sebuah jebakan? Gadis itu masih mematung dengan berbagai pikiran negatif dalam benaknya.

“Jangan banyak berpikiran buruk, ayo cepat ikuti aku!” ucap Fergio dingin. Pria itu menggenggam dan menarik lengan Kylie untuk ikut bersamanya. Namun, Kylie menahan tubuhnya sebagai bentuk penolakan.

“Tidak, Tuan. Aku bisa pulang sendiri.” Akhirnya suara itu lolos dari tenggorokan Kylie.

Genggaman pada lengan Kylie berubah menjadi sebuah cengkeraman. “Aku tidak menerima penolakan!”

Fergio kembali menarik tangan Kylie, dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Ingin rasanya Kylie menangis, bagaimana nasibnya kali ini? Akankah ia seberuntung kemarin?

Kylie hanya bisa diam dan terus memperhatikan jalanan. Ia takut jika Fergio kembali membawanya ke tempat menyeramkan itu. Namun, ia bersyukur saat mengetahui mobil melaju ke arah rumahnya.

Baik Fergio maupun Kylie, keduanya tidak saling bicara. Hanya ada suara bising dari kendaraan yang berlalu lalang di luaran sana. Hingga pada akhirnya, mereka tiba di depan rumah bergaya klasik milik keluarga Caldwell.

Unhappy Queen [ 18+ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang