16. Terbelenggu

178 26 0
                                    

Pagi ini, Kylie kembali terbangun di mansion mewah suaminya. Setelah membersihkan diri, Kylie segera turun untuk sarapan.

Sebenarnya ia agak canggung mengingat kejadian tidak mengenakkan semalam dan berniat untuk diam di kamar saja. Tapi rasa lapar mengalahkan egonya.

Saat sampai di ruang makan, ia tidak melihat siapa pun di sana. Kylie celingukan mencari keberadaan Fergio mau pun Mark. Namun, tidak ada siapa pun di sana kecuali para pelayan.

'Ke mana perginya orang-orang? Aku curiga dengan kesunyian rumah ini. Apa jangan-jangan rumah ini hanya ditempati olehku dan para pelayan? Lalu Mark dan Tuan Osvdo hanya menginap saat malam hari agar aku tidak merasa curiga?

Kylie menggeleng, lagi-lagi pikiran buruk menghantuinya. Gadis itu pun dengan cepat menyantap sarapan yang sudah tersedia di meja.

Setelah selesai sarapan, kini Kylie dan Esther tengah mengobrol di halaman belakang. Banyak hal yang ingin Kylie tahu mengenai keluarga Osvaldo.

"Sebenarnya ke mana orang-orang pergi, Esther?" tanya Kylie sembari memainkan air kolam yang beriak karena percikan air mancur.

"Suamimu dan Tuan muda memang biasa pergi di pagi buta. Mereka itu jarang terlihat di rumah, tapi mereka bisa tahu apa saja yang terjadi di rumah selagi mereka tidak ada." Atas permintaan Kylie, kalimat yang Esther ucapkan kini terdengar lebih santai, tidak sekaku kemarin.

Kylie melirik Esther dengan penasaran. "Mungkin karena rumah ini dilengkapi CCTV?"

"Selain itu mereka punya banyak mata-mata," ucap Esther setengah berbisik.

"Mata-mata?"

"Ya. Pelankan suaramu."

"Di dalam rumah, mereka menyuruh mata-mata?" bisik Kylie tak yakin. Namun, melihat Esther yang kembali mengangguk, Kylie jadi merinding. Pantas saja pria itu tahu apa yang ia lakukan kemarin. "Lalu di mana orang tua mereka? Aku belum melihat anggota keluarga lain dari kemarin."

"Mereka sudah tidak mempunyai orang tua."

Kylie mengangguk samar, pantas saja ia tidak di sambut oleh mertuanya. "Lalu kerabat lainnya?"

Bola mata Esther bergerak ke atas, perempuan itu tengah berusaha mengingat sesuatu. "Yang aku tahu, mereka mempunyai seorang paman, dia tinggal di Jerman. Aku kurang tahu banyak. Mereka terlalu misterius."

Kylie termenung, sebenarnya pria seperti apa yang telah ia nikah? Tidak ada orang yang mengenal keluarga ini lebih jauh.

🍁🍁🍁

Malam kembali menyapa, membawa perasaan gelisah yang selalu hadir kala Kylie beradu tatap dengan suaminya.

Entah cacian apa lagi yang akan Kylie dengar dari mulut tajam pria di hadapannya. Setiap malam, ia seolah berada dalam sebuah persidangan.

"Mengapa kau menatapku seperti itu?" ucap Kylie tak nyaman.

"Kau sudah tahu letak kesalahanmu."

"Aku-"

"Kau telah menyita waktu pekerjaku!" ucap Fergio dalam, nadanya terdengar mengintimidasi. "Dan kau pelayan, aku tidak membayarmu hanya untuk mengobrol!"

Esther terlihat menundukkan kepala dan menggumamkan kata maaf. Kylie melirik perempuan itu, ia benar-benar merasa bersalah telah menahan Esther saat ia ingin kembali bekerja tadi pagi.

"Aku tidak akan memaafkanmu jika kau melakukan hal itu lagi," ucap Fergio kemudian berlalu dari tempat itu.

Kylie menyentuh pundak Esther lembut, membuat perempuan itu menoleh. "Aku minta maaf, karena aku Tuan Osvaldo memarahimu."

Esther terlihat sangat bersedih. Namun, perempuan itu tetap mempertahankan senyumannya. "Tidak masalah, kami sudah terbiasa dimarahi seperti itu."

"Kau masih mau menemaniku kan?"

"Maaf Nyonya, kau memang atasanku. Tapi perintah suamimu jauh di atas segalanya. Aku tidak bisa menemanimu lagi, aku masih membutuhkan pekerjaan ini."

Esther berlalu meninggalkan Kylie sendirian. Kesedihan kembali menyapa hati Kylie, ia baru saja bahagia memiliki seorang teman. Tapi sekarang orang itu bahkan pergi.

🍁🍁🍁

Pagi ini matahari bersinar sangat terang membuat suasana terasa lebih hangat. Fergio berdiri di balkonnya, pandangannya lurus menatap keindahan alam di bawah bukit. Dengan secangkir kopi di tangannya.

Pria itu berdiri di sini sejak setengah jam yang lalu. Sebelum memulai aktivitas, Fergio selalu menyempatkan diri untuk menikmati keindahan sunrise yang datangnya hanya sesaat.

Di daerah pegunungan seperti ini terbitnya mentari pagi terlihat sangat elok.

Suara langkah terdengar dari belakangnya. Tanpa harus melirik, Fergio sudah tahu siapa pemilik dari suara itu, tidak ada orang yang berani masuk tanpa mengetuk pintu selain Mark.

"Kakak, kita harus bicara!" Mark melipat kedua tangan di depan dada.

Fergio masih belum menoleh. Pria itu menyeruput kopinya yang sudah mulai dingin. "Bicaralah! Aku tidak suka basa-basi."

"Apa tujuanmu menikahi Kylie?" Mark sebenarnya mulai curiga setelah beberapa kejadian tidak mengenakkan yang kakaknya lakukan kepada Kylie.

"Apa maksudmu?" Fergio balik bertanya.

"Kau pasti mengerti apa maksudku."

Kali ini Fergio menoleh ke arah Mark dan menyandarkan tubuhnya pada pagar pembatas. "Mengapa aku harus menjelaskannya padamu? Kau tidak perlu ikut campur. Ini adalah kehidupan pernikahan kami."

"Kau tidak terlihat mencintainya, lantas untuk apa kau menikahinya?"

Fergio tersenyum kemudian menenggak habis sisa kopinya. "Kau tidak akan paham, Mark."

"Buat aku paham!" Mark mencoba menahan amarahnya bagaimanapun pria di hadapannya adalah kakaknya sendiri.

"Belum waktunya, dan lebih baik kau acuhkan gadis itu. Jangan pernah pedulikan dia lagi!" kecam Fergio.

Tanpa sepatah kata pun, Mark memutuskan untuk meninggalkan Fergio. Ia tidak ingin menambah masalah lain di samping masalah pekerjaan. Memaksa Fergio hanya akan menimbulkan masalah baru. Ia tahu, kakaknya itu tidak suka didesak oleh siapa pun.

Mark turun ke lantai dasar, matanya menangkap sosok Kylie di halaman belakang. Gadis itu tengah duduk sendirian sembari memperhatikan kolam dengan pandangan kosong. Mark memutuskan untuk menghampirinya.

"Masih bersedih dengan kejadian kemarin?" tanya Mark.

Kylie melirik dan menemui Mark sedang berjalan ke arahnya, gadis itu tersenyum sendu. "Tidak, aku hanya merindukan orang tuaku." Kylie berucap lirih.

Mark mengangguk, ia mengerti perasaan Kylie. "Bagaimana jika sore ini kita pergi jalan-jalan?" ajak Mark. Pria itu mencoba untuk menghiburnya.

Mendengar tawaran itu, mata Kylie seketika berbinar. Namun, beberapa detik kemudian cahayanya kembali meredup. Ia tidak yakin jika suaminya akan mengizinkannya.

Mark yang tengah menatap Kylie melihat perubahan pada raut wajah gadis itu. "Ada apa?"

"Aku ingin sekali pergi. Namun, akankah suamiku mengizinkannya?" Kylie bertanya resah.

"Sepertinya tidak masalah. Apa kau takut? Kalau begitu, aku yang akan meminta izin kepadanya. Bagaimana?"

"Sebaiknya tidak usah, Mark. Sepertinya dia tidak akan memberi izin. Di tempat ini, pergerakanku begitu terbatas." Kylie berucap sedih, ia menopangkan dagunya di lutut dan kembali menatap kolam.

Mark melirik Kylie, betapa malangnya gadis itu. "Baiklah jika begitu, kita tidak usah meminta izin, lalu kita akan pergi setelah kakak pergi bekerja, sebentar lagi dia akan pergi ke markas ada masalah yang harus ia urus."

Kylie melirik ke arah Mark ia melihat pria itu mengedipkan sebelah matanya, membuat senyum Kylie kembali merekah.

🍁🍁Bersambung🍁🍁

Unhappy Queen [ 18+ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang