52. Udara Kebebasan

162 25 0
                                    

"Nak, Ibu sudah siap." Charlotte duduk di samping Kylie yang saat ini tengah termenung di kamarnya.

Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini setelah Kylie menceritakan semua yang ia alami pada ibunya. Awalnya Charlotte sempat marah saat putrinya itu menghilang dan tidak kunjung mengabarinya.

Charlotte pikir jika Kylie lupa kepada kedua orang tuanya setelah ia menikah dengan pria kaya itu. Namun, setelah Kylie menceritakan semuanya, Charlotte seketika menangis. Bagaimana bisa ia tidak mengetahui penderitaan yang dialami putrinya itu.

"Ah baiklah. Ibu, sebelum kita pergi aku mau bertanya sesuatu."

Karena penasaran, Kylie memutuskan untuk bertanya penyebab kematian Albert. Ia benar-benar khawatir jika kematian ayahnya itu adalah ulah dari Fergio. Terlebih lagi, pria itu baru saja pulang dari New York beberapa hari sebelumnya.

"Tidak ada yang mencurigakan dengan kematian ayah, Honey. Ayahmu mungkin sudah tidak kuat menahan penyakit di tubuhnya."

Kylie tersenyum lega mendengar penuturan ibunya, tapi ia masih ragu akan hal itu. "Tapi ayah hanya lumpuh, Ibu. Ayah tidak memiliki riwayat penyakit lain."

"Dia sering sakit-sakitan semenjak kau pergi."

"Ayah pasti memikirkan kondisiku."

Charlotte tersenyum dan mengelus paha Kylie penuh kasih sayang. "Semua orang tua pasti memikirkan kondisi anak-anaknya. Tapi ayah bahagia saat kau menikah dengannya, ia percaya bahwa suamimu akan memperlakukanmu dengan sangat baik."

"Bagaimana ayah bisa berpikir seperti itu, Ibu?" tanya Kylie heran.

Yang ia tahu jika Albert adalah musuh dari Patrick Osvaldo. Lalu bagaimana ayahnya bisa yakin jika pernikahan putrinya dengan putra musuhnya itu akan bahagia?

"Ini, kau bacalah." Charlotte mengeluarkan sepucuk surat dari balik sweater-nya.

"Apa ini, Ibu?" Tangan Kylie terulur meraih kertas berwarna biru yang terlihat lusuh.

"Ini adalah surat yang di tulis oleh Ayah. Surat ini ditujukan untukmu." Charlotte memberikan surat itu kepada Kylie

"Aku akan membacanya nanti. Kita harus cepat sebelum pria itu sampai di sini."

🍁🍁🍁

Waktu menunjukkan pukul 1.20 dini hari. Fergio menginjakkan kakinya di halaman rumah Albert yang saat ini tertutupi salju tipis. Ia memandang ke rumah itu, terlihat gelap dan sepi, seolah tidak ada penghuni di dalamnya.

Ia melangkah mendekati pintu dan mengetuknya. Sesekali pria itu menggesekkan kedua tangannya, berusaha memberi sedikit kehangatan di tengah dinginnya cuaca New York.

"Came on."

Fergio kembali mengetuk pintu di hadapannya dengan tidak sabar. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.

Ingin rasanya ia mendobrak paksa pintu itu, tapi ia takut jika hal itu hanya akan memperumit keadaan. Tujuannya ke sini adalah untuk minta maaf, dan membujuk Kylie agar mau kembali ke rumahnya tanpa adanya kekerasan.

"Baiklah percobaan terakhir." Fergio kembali mengetuk tapi hasilnya sama saja. Pria itu mengangguk, ia berpikir jika mereka mungkin sudah terlelap.

Pria itu mengedarkan pandang dan menemukan dua buah kursi kayu di teras itu. Ia memutuskan untuk duduk dan menunggu mereka terbangun pagi hari nanti.

Udara malam ini mencapai -8°C, cukup dingin untuk dirinya yang biasa berada di iklim subtropis seperti Los Angeles. Tapi itu tidak menyurutkan niatnya menunggu semalaman di sana.

Unhappy Queen [ 18+ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang