"Kirana?"
Kali ini bukan hanya suara panggilan. Tapi ketukan pintu dari Mas Lucas membuatku kembali menelan ludah gugup. Aku selalu seperti ini tiap kali Mas Lucas di rumah. Serba salah sendiri dan sering kali bingung hendak bagaimana. Jika dia di rumah, aku lebih suka mengurung diri di kamar. Ya, sebisa mungkin menghindari untuk berpapasan karena aku gugup.
"Minuman kamu di atas meja," ucapnya lagi memberi tahu. Itu artinya dia akan membawa minumannya ke kamar atau teras depan.
"I ....iya, Mas. Sebentar lagi." Jawabku pada akhirnya.
Karena tak ada jawaban, aku berpikir jika pasti Mas Lucas sudah pergi. Maka, kuputuskan keluar dari kamar karena aku juga butuh menata belanjaan di dapur dan menyimpan stock snack yang kubeli tadi.
Suasana di ruang tamu sepi, aku langsung bernapas lega karena tak menemukan Mas Lucas di ruang tamu. Bisa jadi dia di kamar atau tengah merokok di teras rumah.
Rumah Mas Lucas ini memang cukup minimalis. Hanya ada dua kamar tidur, dapur, ruang tamu dan belakang rumah ada sedikit lahan yang dipakai untuk mencuci baju sekaligus tempat jemuran.
Mas Lucas membeli rumah ini ketika umur pernikahan kami baru satu bulan. Dia juga melibatkan aku saat pemilihan rumah. Tadinya Mami Mas Lucas sempat melarang, tapi entah apa yang dikatakan Mas Lucas sehingga Mami yang tadinya meminta kami tinggal di sana akhirnya luluh juga.
Lagi pula, akan sulit hidup satu atap dengan tiga kepala rumah tangga, begitu kata Mas Lucas. Di sana juga ada Mbak Hani_kakak Mas Lucas_ dan juga Mami dan Papi. Entah itu alibi Mas Lucas atau bukan yang jelas, aku setuju karena di sana sering kali kasihan pada Mas Lucas yang harus tidur di sofa tiap kali pulang. Setidaknya di sini, dia bisa beristirahat dengan baik.
Jantungku rasanya seperti hampir lompat dari tempatnya begitu langkahku sampai di dapur. Ku pikir, Mas Lucas sudah keluar. Tapi begitu aku mengangkat kepala, dia masih di sana sembari memegang mug dan langsung menoleh padaku begitu derap langkahku kian dekat.
Aku tak lagi bisa menghindar, tapi bingung hendak apa supaya terlihat sibuk. Sebab, ketika aku mencari barang belanjaan yang tadi masih di meja, barang itu sudah tidak ada.
"Sudah aku rapikan belanjaan kamu," ucapnya seakan tahu apa yang kucari.
"Duduk, Na. Aku mau bicara." Titahnya lembut.
Ya ampun, ini gimana caranya kabur?
"Kirana," padahal dia masih memanggil santai, tapi aku malah kian gemetaran.
Aku mengangguk. Kemudian dengan kikuk duduk di depan Mas Lucas. Agar mendapat pengalihan, aku sengaja memegang mug dan pura-pura mengyesapnya. Ternyata lumayan, minuman jahe ini membuat gugupku sedikit berkurang.
"Besok pagi kita ke rumah Mami, ya. Shasa ulang tahun. Ada acara makan-makan keluarga."
Aku cuma mengangguk sebagai jawaban tanpa mau mengangkat kepala. Shasa yang di maksud Mas Lucas ini adalah anak Mbak Hani. Anaknya lucu dan pintar, hubungan kami bahkan dekat sekali. Dia juga pernah aku bawa ke sini untuk menginap.
"Mas sudah siapkan kado?" tanyaku pada Mas Lucas. Tapi, karena tak ada jawaban, aku akhirnya mengangkat kepala untuk melihat Mas Lucas.
Salivaku tertelan kasar begitu pandangan kami bertemu. Sebab ternyata, Mas Lucas tengah bersedekap dada sembari menatapku intens.
Mendapat tatapan seperti itu, pegangan jariku pada mug langsung jatuh. Sehingga minuman yang masih penuh berceceran ke meja, sebagian lain berantakan di pangkuanku.
"Astaga, Kirana!" Seru Mas Lucas begitu aku terjengit kaget dan setengah berteriak karena panasnya langsung tembus ke kulit pahaku.
"Kamu kenapa sih ngga bisa hati-hati?" tegur Mas Lucas membantuku membersihkan air yang kini membasahi bagian bawah tunikku. Meski sebisa mungkin menghindar, aku bahkan tak lagi bisa lari begitu Mas Lucas menarik tissue dan mengusap bagian yang basah. Aku kian kelimpungan, bergerak mundur supaya kami tak terlalu dekat.
"Mas, aku nggak apa-apa." Aku memberikan gestur menolak. Kemudian kuberanikan mundur dua langkah dari Mas Lucas.
Mungkin karena aku menolak di bantu, dia akhirnya juga ikut mundur. Kali ini Mas Lucas bergerak mengambil kain untuk membersihkan bagian meja yang basah.
"Berapa kali kamu mesti ganti baju karena ceroboh begini?" Pertanyaan Mas Lucas membuatku seketika diam. Aku kurang suka dibilang ceroboh, aku cuma grogi dia melihatku begitu intens tadi.
"Maaf, Mas." Maka cuma itu yang bisa ku katakan agar masalah tak semakin panjang. “Jadi, Mas sudah beli kado buat Shasa?"
"Belum, besok pagi aja sekalian berangkat.“ Ujarnya kemudian.
Dirasa meja sudah bersih, Mas Lucas kemudian membawa lap itu ke wastafel untuk di cuci.
"Na?" Suara Mas Lucas kembali terdengar dengan posisi dia membelakangiku.
"Besok kalau Mami nanya soal anak. Tolong bilang kalau kamu mau fokus kuliah dulu, ya." Pinta Mas Lucas tanpa menoleh sama sekali.
Entah kenapa, aku sendiri sedih mendengar ini. Karena kupikir sampai kapan kita akan terus berpura-pura sudah saling menerima. Terutama di depan Mami, perempuan yang sangat kuhormati.
Aku takut jika nanti Mami dengar bahwa kami sepakat pura-pura untuk bersama hanya dua tahun saja atau juga kebohongan kami lainnya. Sebab, selama ini aku selalu mengatakan jika hubungan kami sudah selayaknya seperti suami istri
*maaf untuk typo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...