Haii maaf ya part ini nggak panjang. Tapi mudah-mudahan kalian nggak akan keberatan buat kasih vote dan komentar.
Catatan Kirana
Ibarat seseorang yang sudah diajak terbang tinggi, dibuat nyaman melihat pemandangan dari ketinggian, kemudian pada akhirnya dijatuhkan hingga dasar, tentu aku merasa sangat kesakitan.
Mau bilang aku nyaris tak tahan seperti ini tapi hatiku seperti mengingkari. Aku kian takut mendengar kebohongan Mas Lucas, atau jika boleh jujur, lebih baik tak mendengar itu.
"Kenapa?"
Aku menggeleng, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat baik-baik saja. Padahal kenyataannya aku seperti takut melihat Mas Lucas. Takut melihat matanya dan akan menyadari kalau aku sama sekali tak ada di sana.
"Mandi dulu udah malem, biar bisa salat."
Aku mengikuti setiap gerakan Mas Lucas, saat dia mengambil kaos dalamnya kemudian ia lapisi dengan seragam kerjanya. Demi Allah, aku rasanya semakin ingin menangis melihatnya begitu menawan di balik seragam itu. Segala hal yang sempurna itu apa mungkin akan selamanya menjadi milikku. Sedangkan dalam lingkup ruang kerja Mas Lucas selalu dikelilingi dengan perempuan perparas sempurna.
"Kirana?"
"Astaghfirullah Mas Lucas," desisku kaget melihatnya tahu-tahu sudah menunduk di depan wajahku. Posisiku yang masih duduk di tepian ranjang langsung menegakkan badan, sebab Mas Lucas kini membungkuk di depanku dengan jarak wajah hanya sejengkal saja.
"Dari pada bengong, kamu bisa bantu Mas pakai dasinya?"
Aku meneguk ludah susah payah, jantungku di dalam sana tak mau kalem detakannya.
Aku yang payah dalam mengurusi suami, atau memang Mas Lucas suka bikin aku salah tingkah. Tapi gerakannya yang selalu tiba-tiba beberapa hari ini selalu bikin aku was-was.
Tanganku bergerak menarik dasi hitamnya, kemudian merapikan bagian kerah seragamnya dengan sengaja tak mau menatap Mas Lucas. Takut detakanku kian tak beraturan dan membuatku semakin salah tingkah.
"Terima kasih," ucapnya kemudian menarik diri dari hadapanku begitu dasinya sudah rapi.
"Mandi, habis itu kita makan," lanjutnya bertitah. Aku mengangguk, kemudian kembali ke kamarku untuk membersihkan diri.
Tentang perubahan sikap Mas Lucas sejujurnya aku juga masih sering kaget. Dia berbeda sejak kami pulang dari rumah Mami, benar-benar berubah meski belum terlalu banyak bicara. Entah apa yang Mami katakan tapi itu merubah Mas Lucas menjadi lebih ramah denganku. Selain itu dia juga tak lagi menghindari ku seperti biasa. Seperti kali ini dia menungguku di meja makan dan menyiapkan makanan yang tadi pagi dikirim Mbak Rindu. Ada segelas jus jeruk dan sepertinya Mas Lucas sendiri yang membuatnya. Kelihatan dari beberapa alat yang masih di wastafel dan belum dicuci.
"Makan satenya yang banyak kalau kamu suka," ucapnya mendorong sate lilit yang sudah dipanaskan. Padahl harusnya aku yang siapin ini.
"Mas?"
"hm?"
Aku mengigit bibirku, mencoba berpikir kembali apa aku siap mendengar jawabannya nanti. Atau, lebih baik aku tetap diam dan pura-pura tak tahu saja?
"Kenapa?"
Di seberangku, sebelah alisnya terangkat, menungguku menyelesaikan ucapanku.
"Teman Kirana mau datang dari Jakarta, kemungkinan nanti aku mau keluar sama dia. Dia ajak Kirana keliling Jogja, boleh nggak?"
Padahal bukan ini yang mau aku tanyain. Tapi sepertinya aku terlalu pengecut untuk terus terang.
"Hari ini?"
"Bukan, tapi mungkin dalam Minggu ini."
Kini dia yang mengangguk, "Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan, Mas." Jawabku cepat, "masa laki-laki, nggak berani lah Kirana."
Entah apa yang lucu, Mas Lucas malah tertawa dan itu membuatku langsung memandangnya bingung, "kenapa ketawa?"
Masih dengan sisa tawanya dia menggeleng. Kemudian berucap, "Ajak dia nginep di sini biar kamu ada temannya kalau dia perempuan. Mas percaya kamu nggak akan berani jalan sama laki-laki, sama Dhito aja takut."
Ish! Padahal aku lebih takut kalau sama dia dibanding sama Dhito.
"Mas libur lagi kapan?"
"Belum tahu," jawabnya setelah menyelesaikan suapan terakhir dari piringnya. "Nanti dikabarin kalau mau pulang."
Aku mengangguk. Kemudian kembali hening. Mas Lucas sibuk dengan ponselnya dan aku menghabiskan makanku.
Diam-diam aku melirik Mas Lucas, sebab dia berkali-kali tersenyum sembari menggulir layar ponselnya. Kemudian jarinya bergerak lincah seperti tengah menulis pesan dan tersenyum lagi.
Apa kali ini dia tersenyum karena tak sabar bertemu dengan Karin?
Tanpa sadar tanganku terkepal kuat memegang sendok. Membayangkan jika mereka tengah membuat janji berangkat bersama seperti pesan Karin tadi.
"Mas?"
"Hm." Aku berdehem mendengar guggamannya. Rasanya kian resah menyimpan ini di kepala sendirian.
"Mas sama Mbak Karin selalu satu penerbangan ya?"
Mas Lucas sempat mengalihkan pandangan padaku, kemudian menggeleng. "Nggak pasti, dia lebih sering ikut penerbangan domestik. Mas juga sih, tapi nggak selalu ada jadwal bareng. Kenapa?"
Aku menggeleng, bingung juga mau menanggapi apa. Sebab jawaban itu nyatanya tak juga memberiku ketenangan.
"Mas habis ini langsung berangkat atau ke mana dulu?"
Aku bertanya dengan suara gemetar. Terlebih Mas Lucas langsung meletakan ponselnya dan memandangku dengan ke dua alis terangkat.
"Ke mana maksudnya?"
"Ke rumah Mami misalnya, bukannya tadi Mas pingin ke sana?"
Kali ini aku harus berterima kasih dengan isi kepalaku yang bisa merangkai jawaban cepat dan tepat.
"Langsung ke Bandara, jauh lagi kalau mampir ke rumah Mami."
"Nggak jemput teman?"
Terlihat jelas Mas Lucas seperti menatapku dengan raut wajah bingung. Tapi kemudian dia mengangguk, "Iya, sekalian jemput Karin. Mobilnya bermasalah katanya, nggak apa-apa kan?"
Benar kan, lebih baik aku tak mendengar jawabannya tadi.
Maaf untuk typo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...