Menyesali kehamilan rasanya seperti menyesali ketentuan Semesta. Hanya sayangnya kenapa Semesta sebercanda ini denganku sekarang? Aku bukan nggak suka anak kecil atau nggak pengin punya anak dari pernikahan kami. Hanya saja ada beberapa alasan yang bahkan kalau aku paksa rasanya semakin nggak baik. Kuliahku hampir masuk semester akhir, belum lagi kondisi pernikahan kami yang baru aja membaik, atau malah belum. Ada banyak ketidak siapan yang aku rasain, benar-benar banyak tapi aku mengaku bahwa aku turut salah.
Mas Lucas benar, apa yang kami lakukan atas dasar kemauan bersama. Secara sadar aku mengijinkannya memilikiku seutuhnya, padahal tahu betul kalau sebenarnya banyak hal yang kutakutkan.
Kehilangan orang tua, rumah, menikah muda dan menjadi calon Ibu saat usia belum genap 22 tahun bukan menjadi harapanku sama sekali. Tapi aku nggak mau kian buruk dengan menyesali kehadiran baby. Untuk sekarang aku nggak tahu mesti bagaimana selain berusaha terima dan jalani apa yang harus kujalani. Dari banyaknya pilihan hidup, mungkin memang aku belum berkesempatan banyak memilih mana yang menurutku baik.
"Jadi suami kamu belum tahu kalau kamu hamil?"
"Belum."
"Kataku mending kamu ngomong deh. Biar dia pulang,"
"Terus kalau pulang mau ngapain, Sa? dia kan kerja," jawabku setelah melahap bakso yang kupesan.
Sejak tahu kalau aku hamil, entah kenapa aku nggak begitu suka nasi. Dari kemarin aku hanya makan sayur berkuah tanpa nasi sedikit pun."Ya, emang kamu engga ngidam aneh-aneh?"
Aku menyenggol lengan Sabrina, menyuruhnya mengecilkan suara karena kini kami tengah berada di kantin kampus.
"Kamu nggak ngidam yang aneh-aneh, Na?" Ulangnya lagi, hanya saja kali ini lebih pelan.
Aku menggelengkan kepala, entah apa yang Sabrina rasakan tapi wajahnya berubah berbinar menatapku. Dia menangkup tangannya di depan dada setelah menghabiskan nasi goreng pesanannya. "Dedek bayi pinter banget," pujinya terlihat gemas.
Aku hanya tersenyum, kemudian refleks menyentuh perutku yang masih rata. Sejauh ini aku memang belum ngerasain hal-hal yang merepotkan selain nafsu makanku yang sedikit berkurang.
Untuk itu aku juga belum berani cerita ke Mas Lucas. Rencananya hari ini aku mau memastikan kondisiku ke bidan, agak deg-degan juga karena ini jadi pengalamanku pertama kali ke bidan dan sendirian.
"Dedek bayi siapa, woey! Masih kecil jangan ngomongin dedek bayi."
Aku menelan ludah susah payah saat mendengar suara Dhito. Tahu-tahu dia nyusul kami dan duduk di sampingku tanpa canggung.
"Masih pagi udah makan bakso, emang udah makan nasi?" lanjutnya saat melihat mangkuk di depanku yang isinya nyaris habis.
"Kayak emak-emak," cibir Sabrina melirik ke arah Dhito.
"Yo lah. Kata ibukku juga pagi harus sarapan nasi dulu, meski kandungan mie ada karbohidratnya tapi ada bahan pengawet yang nggak bagus buat kesehatan hati."
Aku cuma tersenyum dengar kilahan Dhito. Kalian perlu tahu satu hal, Dhito ini sepertinya tipe anak yang selalu taat dengan nasehat orang tuanya. Dia bahkan enggak pernah malu ke kampus membawa bekal makanan dari rumah. Maksudku dia laki-laki, kadang di usia sebaya kami mending mereka istirahat dengan ngerokok dan minum kopi. Tapi Dhito engga, di tengah teman-temannya, dia nggak malu makan bekal dari rumah.
Orang tuanya pasti sudah mengajarkan banyak hal ke Dhito. Sampai sudah sedewasa ini, pembawaannya sangat baik meski terkadang kelihatan banyak bicara.
Huh, kenapa aku jadi bicarain kelebihan laki-laki lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...