Just Go|6

10.6K 1.1K 46
                                    

Pada akhirnya aku benar-benar berangkat bersama Dhito.
Sepanjang perjalanan, pikiranku berkelana ke mana-mana setelah mendengar ucapan terakhir Mas Lucas. Padahal ini bukan kali pertama dia menegaskan tidak ada perasaan apapun terhadapku, tapi sakitnya tetap sama meski aku sudah mendengarkannya berkali-kali.

Apa yang ada di kepalamu sih, Na? Hanya karena dia memelukmu sepanjang malam, belum tentu dia mencintai kamu.

"Na, udah sampai. Mau turun apa tetap naik di boncenganku?"

Aku mengerjab banyak. Begitu melihat sekeliling, ternyata motor Dhito sudah terparkir di parkiran kampus. Kemudian aku bergegas turun sembari melihat sekitaran kami, ada beberapa mahasiswa lain yang duduk-duduk di parkiran, entah baru sampai atau sudah selesai kelas.

"Nyaman ya, Na, tak bonceng?"

Aku memukul lirih bahu Dhito dan membuatnya tergelak keras. "Tadi aja dijemput nggak mau."

"Besok-besok lagi jangan jemput ya, Dhit. Serius aku," ungkapku jujur. Tapi sepertinya ditanggapi Dhito dengan candaan.

"Kamu takut ya sama Masmu? Dia kayaknya baik, kok bisa sih kamu gemeteran gitu ngomong sama dia? Kalian nggak terlalu deket ya?"

Hah, sekarang aku bingung mau jawab apa selain mengangguk dan kami mulai berjalan ke kelas.

"Lagian kamu aneh, kenapa tiba-tiba jemput sih? Minimal kamu bisa kabarin aku dulu. Aku mau atau enggak."

Ucapanku membuat Dhito mendadak menghentikan langkah. Dia noleh ke arahku dengan kernyitan dahi yang tebal. "Sek, ini jangan bilang selama ini kamu nggak pernah deket sama cowok selain Mas mu itu?" tanyanya menghadap ke arahku dengan sempurna.

Begitu aku ngangguk, senyumnya malah kian lebar. Satu tangannya mengayun dari atas ke bawah berbentuk kepalan. "Ya Allah idamane ibukku banget."

Hah, idaman apa?

"Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. Tapi jawaban yang diberikan Dhito malah berupa cengiran. "Na, kapan-kapan main ke rumahku ya, tak kenalin sama Ibukku." 

"Kirana, Dhito!" Suara panggilan itu seketika membuat kami menoleh. Di sana Sabrina berjalan tergesa ke arah kami. "Ngomongin apa di tengah jalan gini? tumben bareng?" tanyanya beruntun. Aku sempat lihatin Dhito yang berdecak pelan begitu Sabrina sampai di antara kami.

"Emang bener sih, kalau ada dua orang bukan muhrim berduaan. Suka datang setan!"

Sabrina mengumpat pelan, tapi tinjunya ke lengan Dhito sepertinya keras karena mampuh membuat Dhito mengaduh kesakitan.  "Kamu tuh setan, ngapain nempelin Kirana mulu?" 

"Ya mosok nempelin kamu, setan Yo pilih-pilih kalau mau nempelin."

"Aku juga pilih-pilih kalau mau ditempelin setan. Modelan kamu mah ogah!" Seru Sabrina tak mau kalah.

Tak mau mereka semakin bertengkar di tengah koridor, aku segera menarik Sabrina untuk segera berjalan ke kelas, sementara Dhito tak hentinya ngedumel di belakang kami.

"Dia beneran jemput kamu tadi, Na?" tanya Sabrina setengah berbisik dan kujawab dengan anggukan.

"Mana ada Mas Lucas lagi, Sa. Aku takut dia mikir macem-macem." jawabku jujur.

"Eh, Sabrina. Kirana punya Mas Cowok, ini yang waktu itu pernah ke sini inget nggak?" suara Dhito tiba-tiba terdengar dekat. Ternyata begitu aku noleh, dia udah jalan di antara kami.

"Kayaknya Mas nya Kirana pilot, anak e baik tapi kayaknya galak, masa Kirana takut. Dia cocok sama kamu loh, Sa. Biar kamu ngga galak-galak gitu." Ucapan Dhito membuat langkah kami terhenti, atau tepatnya Sabrina yang berhenti lebih dulu hingga aku refleks ikut.

"Kayaknya dari pada cocok sama aku, Masnya Kirana lebih cocok sama kamu deh, Dhit. Biar kalau lagi nerbangin pesawat sekalian bawa kamu di masukin ke plastik dan dijatuhin dari langit!"

Aku belum pernah bilang ini, ya? Sabrina itu tipe perempuan ceplas-ceplos dan sedikit tomboy.
Dia sering sekali berantem sama Dhito dan kayaknya meski kami cuma bertiga, aku nggak akan kesepian.

Dhito sudah siap-siap menjawab, tapi Sabrina sudah melayangkan jari tengahnya ke arah wajah Dhito, "shut up! atau aku pukul dadamu sampai bunyi intro yang terdalamnya Noah."

Aku ikut tergelak begitu Dhito benar-benar diam. Tapi wajahnya sudah memerah tanda dia menyimpan kesal.

***

Pukul dua siang aku sudah selesai kelas. Hari ini aku berniat langsung pulang karena tak mungkin keluar di saat Mas Lucas libur. Tadinya, Dhito mau mengantarku pulang. Tapi aku nolak keras karena tak mau semua orang jadi salah paham terutama tetangga rumah.

Sebelum pulang, aku berhenti sebentar di pasar untuk membeli buah dan jelly. Mumpung Mas Lucas di rumah, aku mau membuat banyak cemilan untuknya.

Aku sempat menghentikan langkah begitu melihat sebuah mobil Brio berwarna merah terparkir di halaman. Mobilnya seperti pernah kujumpai tapi aku lupa di mana Dan, karena tak ingin penasaranku kian besar, kuputuskan untuk menyeret kakiku yang sakit untuk kian cepat.

"Assalamualaikum," sapaku begitu masuk dari ambang pintu. Di ruang tengah hanya ada Mas Lucas sendirian bersama seorang anak laki-laki seusia Shasa.

"Wallaikumsalam," jawab Mas Lucas melihatku sekilas. "Beli apa?" tanyanya mungkin karena tahu aku membawa dua plastik ukuran besar.

"Beli buah sama bahan buat kue, Mas. Sekalian sayuran juga buat masak."

Mas Lucas mengangguk, begitu juga anak kecil yang sedang bermain dengan Mas Lucas itu.

"Deren, kasih salam ke tante Kirana," pinta Mas Lucas kemudian. Si anak kecil yang dipanggil Deren itu mengangguk kemudian bangkit dari duduknya untuk menyalamiku.

"Hallo, hai Kirana." Sapaan itu muncul dari arah dapur. Perempuan dengan rambut panjang sepinggang dan berpakaian dress warna cream itu langsung berjalan ke arahku dengan senyuman manisnya.

"Hai, maaf aku habis dari dapur masukin makanan yang aku bawa. Semua udah siap, jadi ayo makan sama-sama." Ajaknya tanpa rasa canggung. Padahal aku Nggak tahu dia siapa.

"Na, kamu kenapa benggong, jangan-jangan kamu lupa siapa aku?"

Aku ngangguk, karena memang lupa. Saat aku melirik ke Mas Lucas, dia juga diam dengan kedua tangan yang di masukan ke kantong celana.

"Aku Karin loh, sahabat Lucas yang dulu datang juga ke pernikahan kalian. Kita mungkin jarang ketemu, tapi aku sama Lucas sering satu jadwal penerbangan."

Ah, aku ingat dia siapa. Wanita yang sering diceritakan Mbak Rindu.
Aku mengulas senyum tipis, kemudian menggeleng dengan bibir terkatup.

"Kalian aja deh yang makan. Aku udah makan tadi di kampus."

Tanpa menunggu respon mereka, aku segera masuk kamar dengan belanjaan yang sekalian kubawa.

Malas bertemu mereka.


*maaf untuk typo

Love
Rum

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang