Just Go|14

8.9K 1K 53
                                    

Happy reading, Love.

Setibanya di kantin, Mas Lucas menyadari kehadiranku lebih dulu. Dia melambaikan tangannya begitu pandanganku beredar ke area kantin yang cukup ramai.

Saat ini jam makan siang, banyak mahasiswa berkumpul di kantin saat break untuk menunggu kelas selanjutnya atau ada juga yang berkumpul untuk membicarakan kegiatan sembari makan siang.

Dengan napas sedikit terengah, aku menghampiri mas Lucas. Sejujurnya di bawah sana aku masih merasa sedikit tak nyaman untuk berjalan normal, tapi tak mungkin juga aku sengaja menunjukannya di depan banyak orang.

"Kenapa lari-lari?" tanya Mas Lucas, mungkin dia mendengar suara napasku yang masih tersengal.

"Takut mas kelamaan nunggu," jawabku jujur. Sementara respon Mas Lucas hanya menggelengkan kepala pelan dan menyuruhku duduk.

"Mau makan apa?" tanyanya kemudian.

Aku memilih tak langsung jawab, tak begitu nyaman karena beberapa mahasiswa terlihat memperhatikan kami. Hal ini yang membuatku sering tak nyaman tiap kali bersama Mas Lucas di tempat umum. Dia berpostur tubuh tinggi dan memiliki warna kulit putih, membuatnya seperti menonjol diantar orang lain. Kontras sekali dengan aku yang berpostur tubuh kurus dan tak begitu tinggi.

"Kirana?"

"Ya?" jawabku kaget. Aku mengerjab begitu tangan mas Lucas melambai di depan wajahku.

"Malah bengong, mau makan apa?"

Aku melihat beberapa etalase yang berada di kantin. Berusaha mencari yang sepi untuk memilih makanan. Sebab begitu aku datang, Mas Lucas sudah memesan makanan lebih dulu.

"Bentar cari yang agak sepi."

Mendengar bagaimana jawabanku, Mas Lucas malah mendorong piring yang ada di depannya kemudian berdiri.

"Pengin makan apa biar Mas yang pesan."

Aku menggeleng kaku, "Mas lanjutin makannya aja. Aku bisa pesan sendiri."

Bukan langsung duduk, Mas Lucas justru sedikit mendorong kursinya agar mundur.

"Mau apa, nasi goreng juga?" tanyanya tak mau menyerah. Mungkin Mas Lucas tanya begini karena sedari tadi aku melihat nasi goreng yang tersaji di piringnya.

"Apa aja," balasku akhirnya mengalah dan membiarkan Mas Lucas memesan makanan untukku.

Sekarang, aku malah semakin terlihat kaku sebab sepeninggal Mas Lucas, seisi kantin seperti tengah membicarakan kami.

Aku tidak terlalu suka perihal menjadi pusat perhatian. Jadi ketika semua pandangan orang diam-diam melirik kami, atau bisikan mereka terdengar di telingaku, buat menelan ludah saja rasanya susah apa lagi buat makan dan menghabiskan seporsi nasi goreng yang memenuhi piring.
Menghela napas sembari makan, aku tak berani mengangkat kepala apa lagi ngajak Mas Lucas ngobrol.

"Kenapa nggak dihabisin?"

"Kenyang" balasku tanpa mau mengangkat kepala.

"Nanti lapar lagi, habis ini masih ngerjain tugas kan?"

"Nanti makan lagi di rumah."

Tak ada lagi sahutan dari Mas Lucas. Komunikasi kami seperti masih kaku, aku selalu menahan diri untuk nggak banyak bicara, sementara Mas Lucas memang tak begitu terbuka. tapi sepanjang makan, aku seperti merasa pandangan Mas Lucas tak pernah teralih dariku.

***

Kami selesai mengerjakan tugas kelompok sekitar jam empat sore. Mas Lucas benar-benar mengantarku ke rumah Sabrina. Tak hanya itu, dia juga menungguku selesai mengerjakan tugas.

Aku sempat bilang kemungkinan ini bakalan lama. Tapi dia bersikeras menunggu di mobil saja.

Melihat mesin mobil dalam keadaan hidup, aku mengetuk kaca mobil. Di dalam sana, Mas Lucas seperti ketiduran. kepalanya bertumpu tangan dengan sandaran jok penumpang yang seperti dia turunkan. Mungkin karena mendengar ketukanku beberapa kali, kaca mobil kemudian dia turunkan. Matanya masih memerah, dengan wajah yang terlihat masih mengumpulkan kesadaran.

"Mas tidur?"

Dia mengangguk, kemudian membuka pintu bagian kemudi untuk keluar.

"Hallo, Mas. Beneran baik, loh, Mas ini. Kirana ditungguin sampai selesai tugas."

Aku melirik Dhito, dia ikutan menghampiri Mas Lucas di tempat Mas Lucas memarkirkan mobilnya.

Sementara Mas Lucas yang mendapat sapaan begitu dari Dhito hanya mengangguk dan memberi senyuman tipis.

"Mumpung libur, Dhit," jawabnya santai. Kemudian Mas Lucas mengalihkan pandangannya padaku, "sudah selesai?"

Aku ngangguk, tapi ketika ngerasain senggolan di lenganku dari Sabrina, aku langsung ngangkat kepala.

"Iya sih, tapi tiga jam lebih. Emang sabar Mas Lucas ini," puji Dhito lagi.

"Biarin sih, Dhit. Ikut campur aja, kayak es," sungut Sabrina pada Dhito.

"Ya, kan, aku mau buktiin ke kamu, Sa. Ini masnya Kirana baik beneran. Kamu belum kenal pasti," kekeuh Dhito kian ngeyel.

Ini kalau bukan di depan Mas Lucas, mereka pasti sudah adu tenaga buat saling pukul.

"Tapi Mas, jangan mau kenal lah sama Sabrina. Anaknya galak kayak Ibu ku kalau aku hilangin Tupperware. Ibuku sih mending marahnya sesekali, Sabrina ini setiap har__ aduh! Anak setan," sungut Dhito begitu Sabrina menginjak kakinya. Sepertinya cukup kuat, karena Dhito langsung mengeryit sembari mengusap kakinya yang terbungkus sepatu.

"Rasain! Suruh diem susah sih!"

Mas Lucas lagi-lagi cuma tersenyum tipis, "Saya udah kenal, Dhit. Sabrina pernah ke rumah."

Masih dengan wajah kesakitan, Dhito menoleh pada Mas Lucas, seakan tak percaya.
"Kalau gitu jangan naksir, Mas."

Baru kali ini, Mas Lucas tertawa. Cukup keras malah, sementara Sabrina memasang wajah lebih galak.
"Dhit, kali ini mau aku tampol pakai tangan kanan apa kiri?"

Aku menahan lengan Sabrina yang sudah mulai bergerak, kemudian sedikit berbisik supaya dia berhenti.
Namun, sepertinya yang membuat Sabrina berhenti bukan karena cekalanku, melainkan jawaban Mas Lucas.

"Saya udah punya istri, Dhit. Gimana kalau kamu aja yang deketin Sabrina?"

Bukan cuma Sabrina yang melotot tak percaya dengan ide Mas Lucas. Aku pun juga.

"Amit-amit saya pacaran sama tutup pasta gigi, Mas!" hardik Sabrina dan refleks membuat Mas Lucas kian tertawa.

"Amit-amit juga aku pacaran sama ulegkan sambel!" gidig Dhito.
"Kalau sama Kirana sih mau," lanjutnya sehingga membuat jantungku mendadak berpacu keras.
Tawa Mas Lucas juga seketika berhenti, kemudian tatapannya teralih padaku.

"Mumpung ada Mas Lucas nih, boleh nggak saya deketin Kirana?"

Aku menelan ludah susah payah, menunggu jawaban Mas Lucas yang masih tak putus menatap netraku dengan pandangan terlihat tenang seakan-akan pertanyaan Dhito tak membuatnya berpengaruh.

"Coba tanya langsung, Kirana mau apa enggak?"

Di dalam sana, hatiku rasanya seperti mencelos hingga dasar.











*Maaf untuk typo




Love
Rum

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang