Hallo guys, happy reading!
Jika ada beberapa hal yang boleh sekali saja kutawar, aku ingin sekali menukar segalanya agar anak dan istriku lekas membaik. Sudah tiga hari sejak melahirkan, Kirana belum juga sadar, sedangkan anakku masih dirawat di NICU dengan berat badan di bawah rata-rata disertai gangguan pernapasan. Meski sudah dua kali tranfusi darah, kondisi Kirana belum menemukan stabil, hal itu yang akhirnya membuat anak kami harus mendapat ASI pertama kali bukan dari Kirana.
Dari kaca besar ruang NICU, aku melihat anakku sedang bergerak pelan. Selang alat makan dan alat bantu medis lainnya masih tertempel di tubuhnya. Meski berat badannya berangsur naik, tapi belum sampai pada batas normal sehingga sampai saat ini dia masih harus dalam perawatan khusus.
Belum ada nama di sana, aku mau nunggu Kirana bangun untuk diskusi nama yang bagus untuk anak kamu. Meski mungkin nanti aku hanya akan menurutinya apa pun nama yang Kirana pilih, tapi aku ingin tahu kenapa Kirana memilih nama tersebut.
"Anak kita beda cuma berapa hari ya? Nggak sampai sebulan. Jangan aja mereka gedenya jadi berantem terus."
Aku tersenyum kecil tanpa melepas pandangan dari anak laki-lakiku di dalam sana. Dari kemarin Bara selalu datang ke rumah sakit meski kadang tak lama, biasanya datang di jam-jam makan siang sembari membawa makanan untukku.
Bagaimana pun hubungan kami dulu sempat buruk, tapi setidaknya aku cukup yakin Bara adalah orang yang baik dan tulus. Mungkin itu juga yang membuat Rindu susah melupakan Bara meski sudah disakiti dengan amat sangat oleh keluarga Bara.
"Awas aja kalau anak kamu suka mukul orang kayak bapaknya," sindirku pada Bara. Dia kemudian terkekeh di sampingku, lalu bersedekap dada.
"Namanya juga lelaki, mukul dikit orang yang salah itu wajar."
"Kamu mukul orang yang nggak salah kalau kamu lupa, Bar!" Aku sedikit meliriknya dengan wajah kesal. Ingat dia memukulku di tempat umum hingga membuat berita tentang kami masuk infotainment dan aku mendapat teguran dari kerjaan tiga tahun yang lalu.
"Ya kan kamu salah," tuduhnya tanpa dasar.
"Aku yang jagain mereka lima tahun, menurutmu salah kalau aku marah Rindu ketakutan gitu ketemu kamu?"
"Nah kan, bahas jasa. Udah deh kalau bahas jasa gini berasa ngutang gunung sama langit aku sekarang."
Aku menggeleng pelan lalu tersenyum meski rasanya kaku. Di antara kita sebenarnya masih sangat canggung. Meski aku sebenarnya sudah tidak mempermasalahkan tentang Rindu, tapi gimana pun juga pertemuanku dengan Bara diawali dengan cara yang tidak baik.
Meski kadang kita canggung, tapi sekarang jika aku atau Mas Tama harus kerja dan nggak pulang untuk beberapa hari, Bara yang menggantikan kami semisal keluargaku membutuhkan bantuan laki-laki.
Seperti sekarang, sejak di mana Kirana operasi sampai hari ini, dia yang membawa jatah makanku dan ASI untuk anakku yang sudah disiapkan oleh Rindu. Sejujurnya aku sempat menolak ketika Rindu menawarkan ASInya untuk anakku, sebab setelah apa yang terjadi, aku takut Kirana akan tersinggung. Tapi kata Mami tak ada bedanya ASI dari Rindu atau rumah sakit, justru karena Rindu keluarga kami, maka sudah pasti saudara persusuan anakku juga laki-laki dan itu anak Rindu sendiri.
Aku tak tahu lagi ini benar atau salah nantinya, aku hanya tak punya banyak pilihan apa lagi menyadari anakku juga butuh ASI untuk bertahan hidup. Yang kutahu kami benar-benar menjadi keluarga sekarang dan itu sedikit membuatku tenang meninggalkan Mami di rumah untuk bekerja.
"Cas, kadang kita laki-laki itu lebih senang memikirkan semuanya sendiri. Bukan nggak mau ditolong orang lain apa lagi perempuan yang kita cintai. Tapi lebih takut karena kita jadi menambah beban mereka. Aku paham banget itu, dulu aku pikir bisa bicara sama Mama untuk luluhin hati mereka buat terima Rindu. Tanpa Rindu tahu aku mengalami hal-hal menyakitkan. Tapi setelah dia hilang, aku paham kalau kadang lebih baik kita terbuka. Kita selalu bertindak dengan logika untuk mengambil keputusan tapi kita juga butuh perempuan untuk menilai dari segala sisi pakai perasaan mereka."
Napasku terhela keras. Bara benar, aku dari awal salah mengambil keputusan melakukan segala hal di belakang Kirana, sekarang saat seperti ini kita menjadi dua orang yang tak saling memahami karena komunikasi kami buruk. Padahal mungkin jika aku jujur, Kirana dalam bahaya, dia akan turut bisa menjaga dirinya sendiri.
"Aku nggak tahu deh dia pingsan dan jatuh setelah denger kita telepon atau engga. Tapi kalau pun engga, baiknya coba jujur sama dia kalau nanti udah sadar," ujarnya memberikan saran.
"Tapi dia baru lahiran. Aku pasti bilang tapi jangan secepat ini juga, Bar. Dia pasti sedih karena anak kami harus lahir prematur, aku nggak mau bikin dia makin sedih karena tahu kenyataan keluarganya sejahat itu."
"Iya tapi kan dia juga udah tau kalau orang tuanya meninggal nggak wajar. Kamu cuma tinggal jelasin kalau itu benar dan semuanya lagi proses penyelidikan."
Pandanganku masih lurus menatap anakku. Menunggu waktu besuk dari perawat yang biasanya sehari sekali memperbolehkan aku masuk.
"Jangan terlambat, Cas. Dia lebih baik tahu dari kamu dari pada dari orang lain."
Aku mengangguk. Entahlah, sekarang aku belum bisa berpikir jernih. Langkahku menapak mendekat pada jendela itu, memandang anakku dalam jarak yang lebih dekat.
Tanganku bergerak menyentuh kaca, ingin sekali menyentuh wajahnya tapi sayang belum bisa.
"Nak, mungkin Papa belum bisa bujuk Mama untuk bertahan, tapi Papa percaya kamu bisa bujuk mamamu agar tinggal bersama kita."
Aku mengigit bibirku, rasanya seperti ada yang memukul hatiku bertubi-tubi melihat anakku bergerak beberapa kali.
****
Tak jauh berbeda dengan kondisi anakku. Aku hanya diperbolehkan menemui Kirana di ICU sebentar. Kali ini aku lebih banyak diam saat di dalam. Duduk di samping Kirana dengan pandangan tak putus darinya nampak lelap tertidur.
Wajahnya terlihat tenang, berbeda saat dia dalam keadaan sadar kemarin. Saat hamil wajahnya terlihat gelisah bahkan saat tidur. Bahkan saat aku mengambil ponselnya untuk kupakai, dia seperti merasa aku mengambil sesuatu dari sampingnya.
Malam itu secara tak sengaja aku melihat notifikasi ponselnya. Awalnya aku tak mau ikut campur, tapi begitu di layar ponsel aku bisa melihat pesan apa yang masuk, buru-buru aku mengambil ponsel tersebut.
Nomer tak dikenal mengiriminya pesan ancaman. Meneror Kirana agar meninggal bersama dengan keluarganya.Tak tahu apa Kirana sering dapat pesan ini atau tidak tapi setelah aku coba membuka pesan-pesan di ponselnya, tak ada yang mencurigakan selain ini.
Aku mengambil kesimpulan jika ini perbuatan Pak Lik dan Pak De'nya. Hingga kemudian aku mengambil ponselnya dengan alasan ponselku rusak agar bisa kubicarakan dengan Jaya untuk dicari tahu tentang pemilik nomer ponsel itu. Entah dia akan curiga atau engga tapi dia sama sekali tak membahas tentang ponselku. Seperti biasa dia akan nurut tanpa membantah apa pun.
Aku mengusap wajahku yang berantakan. Kepalaku rasanya sudah berdenyut karena aku sedang menahan diri agar tak meledak sekarang.
Sebelum keluar dari ruangannya, terlebih dahulu aku menggenggam tangan Kirana. Beberapa detik aku diam sembari melihat tautan jari kami dengan pandangan kosong.
Na, kamu sudah bertemu Bagas, Bunda dan ayahmu ya? Kalau masih mau kangen-kangenan sama mereka nggak apa-apa. Tapi jangan lama-lama karena aku sama anak kita nunggu kamu di sini.
Besok aku update lagi tapi komen 1K vote 1K dulu. Boleh nggak? Jangan komen next apa lanjut ya!
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...