Don't Go!

3.7K 328 61
                                    

Hallo apa kabar? Baik kan ya?
Makasih ya masih simpen Just Go di reading list. Sayangnya part ini bukan sekuel Just Go, hanya part buat aku yang lagi kangen nulis.

Jujur aku udah lama banget nggak nulis kan, jadi semoga tulisanku di sini nggak aneh.

Happy reading, Love.





Kehidupanku setelah kembali ke Jogja berjalan seperti dulu. Aku sendiri tak begitu banyak aktifitas di luar, sebagian waktu kuhabiskan di rumah bersama Dimas. Sesekali aku mulai ke pabrik Ayah jika ada sesuatu yang perlu persetujuanku, selebihnya yang banyak terlibat adalah salah satu karyawan yang kupercaya. Tentu untuk mempercayakan salah satu karyawan setelah masalah yang keluargaku alami, itu nggak mudah. Mas Lucas dan temannya yang membantuku menyeleksi karyawan didampingi kuasa hukum.

Sejujurnya aku ingin terlibat penuh meneruskan usaha Ayah, tapi Dimas masih terlalu kecil untuk ditinggal apa lagi Mas Lucas jarang pulang, sehingga urusan menjaga Dimas menjadi tugasku sepenuhnya.

Perlahan hubunganku dengan Mbak Hani mulai membaik, meski terkadang aku masih merasa canggung tapi sesekali Mbak Hani mau mampir ke rumah untuk mengantarkan sesuatu terutama makanan untuk kami.
Ia sangat menyayangi Dimas, beberapa kali Dimas dijemput untuk diajak jalan-jalan bersama Shasa dan Tiffany.

Seperti pagi tadi, Mbak Hani mengajak Dimas pergi ke mall karena Shasa meminta membeli buku, sekalian main ke Timezone mumpung Mas Tama libur juga katanya.

Kesempatan ini yang akhirnya kugunakan untuk membersihkan rumah dan menyetrika baju. Aku dan mas Lucas sepakat untuk tidak memakai pembantu rumah tangga mau pun baby sitter karena aku menyanggupi untuk mengurusi semua sendiri. Ya meski tak benar-benar sendiri karena ketika Mas Lucas libur, ia yang mengerjakan kerjaan rumah atau mengajak Dimas main selama aku masak atau mengerjakan kerjaan lain.

Entah, aku merasa lebih penuh sekarang. Meski rasanya belum begitu biasa dengan menjalani kehidupan bersama orang lain, tapi apa yang terjadi padaku belakangan ini membuatku sadar jika aku tidak hidup sendirian.

Aku menjalankan peranku sebagai istri dan Ibu. Dan jujur aku bahagia dengan itu. Terlebih Mas Lucas benar-benar berubah seiring berjalannya waktu, aku diperlakukan dengan baik selayaknya istri dan yang penting ia melibatkanku dalam setiap keputusan dalam hidupnya.

"Na?"

Suara ketukan pintu seketika menarikku dari lamunan. Aku baru sadar jika sedari tadi aku sibuk dengan pikiranku sendiri sampai-sampai tak menyadari seseorang sudah masuk ke dalam rumah.

"Mas pulang? Kok nggak ngabarin?" tanyaku lantas meletakan setrika yang sedang kugunakan. Sebelum bangun dari kursi, aku melepas stop contact agar aliran listrik pada setrika terputus.

"Ponselmu di mana? Mas udah ngabarin dari dua jam yang lalu, bahkan Mas telepon kamu beberapa kali karena pintu depan dikunci. Mas pikir kamu pergi ikut Mbak Hani."

Aku menggeleng, lantas mencium punggung tangan Mas Lucas. "Aku banyak kerjaan, tadi pagi ngurus berkas ke kampus jadi nggak sempat berberes."

Lelaki di depanku ini tersenyum. Senyuman yang membuat jantungku seperti terpacu cepat sekali, karena entah kenapa tingkat ketampanannya naik berkali lipat.

"Pipi kamu merah, capek ya?"

Aku tak bisa menghindar, malah badanku rasanya kaku saat Mas Lucas mengusap sisi wajahku.

"Udah makan?" tanyanya.

Harusnya aku yang nanya begini, tapi aku malah berdiri seperti orang bodoh karena tak tahu caranya menormalkan reaksi badanku.

"Mas beli makan tadi arah pulang. Udah nebak kamu pasti makan masakan untuk Dimas aja kan kalau Mas nggak ada?"

"Ta...tadi makan di kampus kok pagi."

Mas Lucas mengalihkan pandangan ke depan, menatap dinding ruangan khusus untuk menyetrika baju.

"Udah jam tiga sekarang. Makan yuk, mas sengaja nggak makan di sana tadi biar bisa makan bareng."

Ya Tuhan, otakku mengapa jadi lamban tiap kali Mas Lucas semanis ini. Bukannya menyiapkan peralatan makanan, aku malah duduk sembari mengamati Mas Lucas yang tengah mengambil piring dan gelas.

Sampai kemudian piring berisi nasi terhidang di depanku dengan porsi besar aku baru tersadar, "Mas ini nasi buat siapa?"

"Kita berdua," jawabnya membelakangiku. Ia memindahkan sayur ke mangkuk, lantas membuang plastik bekasnya ke tempat sampah samping kulkas.

"Kita makan satu piring berdua? Kan piring banyak, Mas."

Mas Lucas nggak jawab lagi, sampai kemudian ia duduk di sampingku dengan membawa rawon di mangkuk.

"Makan berdua biar habisnya banyak. Kamu makan aja masih kalah susah dari Dimas," gerutunya. "Di rumah kamu nggak harus kerjain semuanya, Na. Kamu bisa tidur kalau Dimas diajak pergi, bukannya sibuk beberes nanti Dimas pulang nggak bisa istirahat."

Aku nggak sadar kalau di piring kami hanya ada satu sendok yang dipegang Mas Lucas, sampai kemudian dia menyuapkan sesendok nasi yang sudah bercampur daging ke mulutku.
"Mas aku makan sendiri aja."

Mas Lucas menggeleng, ia kembali memintaku membuka mulut. "Kemarin waktu bawa Dimas ke posyandu katanya justru kamu yang berat badannya nggak normal kan?"

Mas Lucas kok bisa tahu? Apa mungkin dari Mbak Rindu? Karena kemarin aku berdua sama dia datang ke posyandu.

"Aku memang segini aja Mas," kilahku sembari melilin jari.

"Ya makanya sekarang makan yang banyak. Kamu pengin makan apa beli, kamu masih menyusui, Na. Apa yang kamu makan kalau cuma ngabisin makanan Dimas sama aja kurang memenuhi kebutuhan nutrisi orang dewasa."

Refleks aku tersenyum. Bagaimana ya, aku benar-benar menemukan sosok Mas Bagas dari sosok Mas Lucas.

"Mas nggak capek? Mas baru pulang, malah nyiapin aku makan."

Dia menggeleng, kemudian gantian menyuapkan nasi untuk dirinya sendiri.

"Mas pulang aja rasa capeknya hilang begitu lihat kalian," jawabnya. Kali ini suaranya lirih dan nggak berani buat natap aku. "Nggak tahu kenapa setiap kali mau pulang, Mas selalu cemas. Apa lagi tadi pas Mas hubungi kamu beberapa kali nggak diangkat."

"Maaf, Mas. Kirana nggak dengar Mas telepon. Ponselnya di kamar habis aku antar Dimas ke depan tadi."

"Nggak apa-apa. Mas cuma takut kalau inget rumah ini kosong pas pulang sama kayak waktu kamu ke Jakarta itu," akunya yang refleks membuatku menarik napas.

"Na," panggilnya. Sebelum dia melanjutkan ucapannya, aku buru-buru memotong agar ia sedikit tenang.

“Aku nggak akan balik ke Jakarta atau pergi lagi, Mas. Lagi pula itu udah setahun lalu. Maafin Kirana ya, Mas. Maaf karena Kirana, Mas jadi ngerasain banyak kehilangan."

Mas Lucas tak menjawab apa-apa. Ia hanya menatapku lama kemudian merunduk. Ini yang kadang membuatku terus menyalahkan diri, sejak aku kembali ke Jogja dan hidup bersama lagi, beberapa kali ia mengigau mengatakan agar aku jangan pergi lagi.

Selama ini ternyata aku hanya mengikuti egoku dan telah menyakiti banyak orang karena itu. Termasuk Mas Lucas yang aku pikir bisa lebih bahagia setelah kami berpisah. Tapi justru sebaliknya, kami sama-sama berantakan terutama Mas Lucas yang kehilangan orang tuanya sementara aku tak berada di sisinya.

Kali ini aku beranikan diri untuk meraih tangannya, lalu membawanya dalam pangkuanku.
"Mas?"

Aku menarik napas, lantas menghembuskan ya pelan. Menimbang haruskah aku mengatakan kejujuran ini pada Mas Lucas sekarang.

Tapi mau aku sembunyikan ia juga akan tahu seiring berjalannya waktu.

"Kirana mau jujur," Refleks genggaman tanganku makin erat padanya dan itu membuat Mas Lucas mengerutkan kening.

"Soal?"

"Aku. aku hamil lagi."







Yang udah baikan mah lain deh.

Maaf untuk typo ya.

Love
Rum

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang