Gaiiiisss, kangen dikasih emoticons love.
Kasih di sini boleh?
Thank you, Happy reading, Love.
''Hallo, Na? Assalamualaikum."
"Wa'allaikumsalam, Iya Dhit?"
"Aku ganggu?" Aku noleh ke arah Mas Lucas, menunggu dia memberikan respon. Tapi yang dia lakukan hanya diam membiarkanku menjawab.
"Ng.nggak, Dhit. Kenapa?"
"Besok aku mau ajak kamu ke festival Jogjezz. Udah beli tiket—"
"Hah?"
"Itu loh, Na. Festival musik Jazz tahunan. Kan udah mulai ya, ada Dhito pranomo bintang tamunya. Dia kan penyanyi kesukaan kamu, Na."
Baru saat Dhito mengatakan itu, Mas Lucas melirikku dengan kedua alis terangkat. "Besok aku jemput habis magrib, ya, Na. Nggak boleh nolak loh, aku udah beli tiketnya soalnya."
"Kamu sama Sabrina aja, Dhit."
"Males banget sama dia, Na. Berisik orangnya! mau, ya. Mau, ya, Na?" Pintanya terdengar mengiba. Yang bikin aku kaget itu Mas Lucas mengangguk, memintaku menyetujui permintaan Dhito.
Sampai panggilan tertutup pun sebenarnya aku nggak mengiyakan permintaan Dhito. Aku beralasan meminta ijin ke Mas Lucas meskipun dia sudah memberikan tanda ngijinin aku.
"Mas ijinin aku sama dia pergi nggak salah?"
Mas Lucas menggeleng, tangannya melingkar di pinggangku hingga membuatku tak lagi berkutik. Aku mengajaknya bicara setelah kami sampai rumah dan selesai membersihkan diri. Sementara bukan bicara baik-baik, dia malah mengajakku rebah sembari mengusap perutku tanpa berhenti.
Dia nggak tahu kalau begini aku susah konsentrasi. Tapi nyebelinnya mual dan pusingku seketika hilang tiap kali Mas Lucas menyentuh perutku.
"Kamu sekalian bisa jelasin ke Dhito kalau sudah menikah," jawabnya enteng.
"Nggak mau."
"Kenapa? Malu ketahuan udah nikah."
"Bukan," sanggahku cepat. "Nanti beritanya makin nyebar di area kampus."
"Masalahnya apa? Perut kamu akan semakin besar. Orang-orang akan ngira kamu hamil diluar nikah kalau nggak bilang."
Ucapan Mas Lucas tak sepenuhnya salah, tapi beneran aku belum siap kalau orang lain tahu aku udah nikah.
"Setelah kamu bilang ke Dhito, jangan nolak lagi setiap Mas jemput kamu ke kampus."
Nah, kan. Aku lebih nggak siap lagi sekarang.
"Mas selalu akan jadi pusat perhatian kalau ke kampus. Apa lagi tiap masuk ke kantin."
"Itu, kan cuma sesaat, Na. Lagian kenapa harus selalu dengerin penilaian orang lain sih?"
Aku sekarang nggak tahu mesti jawab apa, kepalaku terus bertarung antara mengiyakan kemauan Mas Lucas atau enggak.
***
Besok malamnya, aku berangkat ke festival musik Jazz dengan diantar Mas Lucas. Dia mengijinkan aku pergi asal dia yang antar dan jemput. Sepanjang perjalanan sebenarnya aku nggak tenang tapi kurasa ada baiknya kalau aku jujur ke Dhito sesuai keinginan Mas Lucas.
Aku memang suka musik Jazz, belakangan ini lagu Dhito Pranomo akrab sekali dengan indera pendengaranku. Tapi kalau ditanya kenapa aku datang malam ini, niatanku bukan karena ingin mendengarkan suara musisi Favorit ku secara langsung, tapi untuk bicara dengan Dhito dan menjelaskan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...