Hallo, yang malam minggunya nunggu Just Go ada?
"Biar aku yang cuci piringnya, kamu istirahat aja."
Mas Lucas tahu-tahu muncul begitu saja di belakangku. Atau karena aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri sehingga langkahnya tak terdengar. "Na, tadi katanya capek. Istirahat atau mandi dulu."
Sejujurnya aku ingin mengatakan banyak hal, tapi rasanya terlalu takut untuk mengungkapkan kecewaku hari ini.
"Kamu nggak dengar atau malas jawab?"
Baru ketika Mas Lucas berkata begitu, aku menoleh padanya dengan tangan kian kuat menggengam piring yang penuh dengan busa. Hatiku semakin kecewa dan kali ini penyebabnya bertambah. "Biarkan aku yang lakuin ini, supaya dosa Mas nggak makin bertambah."
Terlihat sekali Mas Lucas kaget dengan ucapanku, keryitan di dahinya bertambah tebal dengan kedua alis yang terangkat.
Aku menarik napas panjang, kemudian menghelanya secara perlahan. Tapi, yang ada dadaku kian sesak saja sekarang.
"Pertama, Mas mengijinkan laki-laki lain buat jemput dan berangkat bersama dengan istri Mas. Kedua, mas mempersilahkan perempuan lain masuk ke dalam rumah dan menganggap ini rumahnya sendiri bahkan menyiapkan makan untuk mas__""Bukan hanya untuk aku, buat kamu juga tapi kamu yang nolak." Ucapnya memotong kalimatku. "Dan kamu dengan kekanak-kanakannya masuk ke dalam kan?"
Aku diam, karena sisa kewarasanku tak ada lagi untuk menyahut. Baru kali ini aku terlibat perdebatan dengan Mas Lucas dan sepertinya aku terlalu berani menjawabnya. Bukankah dari awal memang kita sepakat untuk tidak ikut campur dengan urusan masing-masing. Karena merasa kalah, aku akhirnya menunduk dan meneruskan pekerjaanku.
"Biarin aku aja, aku nggak suka mas mencuci piring bekas makan orang," cicitku pelan. Kali ini tak peduli Mas Lucas melihatku menangis, karena ucapannya sangat melukai egoku sebagai istri, ya meskipun hanya istri sementara.
Kemudian sebelum dia pergi, aku sempat mendengar helaan napas keras dari Mas Lucas.
Kirana, ini kali pertama dan terakhir kamu mencampuri urusannya. Jangan lakukan lagi!
***
Selepas salat Isya, aku memutuskan untuk ke halaman belakang. Tempat ini sejujurnya sangat nyaman untuk duduk dan menenangkan diri. Hanya ada dua kursi rotan dan satu meja bulat tak terlalu besar di bagian sisi kiri. Selain kamar, aku biasanya menggunakan tempat ini untuk menulis. Sebab, atapnya yang transparan dan bisa di buka setengah membuatku bebas melihat Bintang tanpa harus keluar rumah.
Aku tak tahu Mas Lucas di mana. Terkadang jika pulang, dia juga menyempatkan berkumpul dengan bapak-bapak samping kanan dan kiri rumah. Berbeda denganku yang kurang begitu nyaman berinteraksi dengan tetangga. Mereka sebenarnya baik, hanya saja aku tak begitu biasa berbicara terlalu banyak dengan orang lain.
Mbak Dinar menelponku, kami berbicara sebentar tentang novel yang tengah kutulis. Sedikit diskusi tentang alur sebagai pertimbangan ke depannya. Mbak Dinar jauh lebih dewasa dari pada aku, terkadang dia membantuku untuk lebih membuka pikiran tentang pandangan hidup.
Usianya sudah lebih dari kepala tiga, tapi karena sesuatu hal dia terlihat begitu susah membangun komitmen dengan laki-laki."Terus masalahnya dasarnya bosan?"
"Ya gimana, ya, Mbak. Bukan cuma sekedar bosan. Tapi bayangin, mereka kenal sejak masih remaja, sekolah SMA, kuliah, sampai kerja.
Kemudian hidup di lingkungan berbeda dan tentu pola pikir berubah seiring bertemu dengan orang-orang baru, apa salah kalau mereka di titik lelah dengan hubungan yang tak memiliki arah sama?“Mbak Dinar di seberang sana terdengar tertawa. "Nggak salah, soalnya Manggalanya makin sudah dijangkau. Atau Aretta yang makin toxic?"
Aku diam sejenak, kemudian sadar jika ucapan Mbak Dinar ada benarnya. "Laki-laki itu biasanya kurang suka dibatasi. Apa lagi dia mulai kenal teman baru dan lingkungan baru. Laki-laki nggak suka diatur sama siapa dia harus berteman dan meski insting perempuan bisa melihat lingkungan itu baik atau enggak, mereka nggak akan percaya itu sebelum lihat dan ngerasain sendiri."
"Terus menurut Mbak, Aretta harus apa?"
Kali ini aku menghentikan jariku yang tengah bergerak di atas kursor.
"Kalau dia mau di kasih jarak untuk bernapas, perempuannya harus mundur selangkah. Cukup perhatikan saja dari jauh kemudian mendekat begitu dia hampir jatuh."
Aku mengangguk mengerti, "Seberapa banyak orang yang akan kecewa ya mbak lihat Manggala dan Aretta akhirnya harus pisah? Aku nggak suka bikin novel dengan ending perpisahan, tapi nggak semua cerita yang ditulis di dalam satu buku akhirnya harus sama-sama."
Termasuk ceritaku dengan Mas Lucas barang kali.
"Yang paling penting endingnya realistis. Bertahan dalam hubungan toxic itu nyiksa kalau di dunia nyata. Apa lagi lelakinya modelan Manggala yang nggak peka. Sama kayak suamimu."
"Mbak, kok jadi ke Mas Lucas?" tanyaku kesal.
Bukan berhenti tertawa, Mbak Dinar malah semakin tergelak saja.
"Memang aku nggak tahu, sedari tadi yang kita obrolin itu Manggala. Tapi di kepalamu isinya Lucas Permana."Aku mencibir pelan, tapi tak bisa menyembunyikan senyumku. "Aretta sama Kirana sama bucinnya. Sumpah ya, Na, kisah cintamu ini beneran bikin aku makin males berkomitmen."
"Mbak, dunia ini masih banyak lelaki baik. Lagipula aku juga sadar kekuranganku di mana, egois kalau aku minta laki-laki sempurna. Soalnya, yang nggak siap berumah tangga itu bukan Mas Lucas aja, aku juga."
"Loh, why? Dia laki-laki yang kamu cintai sejak awal. Apa yang bikin kamu nggak siap?"
Kemudian ucapan Mas Lucas sore tadi kembali terbersit dalam ingatan.
"Aku kekanak-kanakan, Mbak. Mungkin ini karena aku terlalu mencintai Mas Lucas sementara dia enggak. Aku mengharap perasaanku terbalas, sementara dia berjalan kian jauh dari jangkauanku. Aku bersikap kekanak-kanakan supaya dia lihat aku, padahal sejak awal aku tahu, dia terpaksa."Kali ini mataku terpejam seiring air mata yang mengalir di sudut mataku, "Mbak, apa aku nyerah aja ya?"
Kenapa? Lelah ya? Padahal masih di hari ke 22. Tidak peduli juga sudah hari ke berapa, nyatanya setiap lelah itu butuh tempatnya.
Tidak harus selalu berkata kamu baik-baik saja. Sesekali boleh juga kamu mengatakan jika sekarang kamu hancur sekali.
Tapi, jauhkan kata menyerah dari setiap lelahmu. Sebab, percuma sudah sejauh ini dan kamu harus berhenti Bahkan berputar arah.
Istirahat, saya temani. Maaf belum bisa meringankan, tapi saya tidak kemana-mana. Saya ada juga untuk lelahmu yang bingung ingin dibagi dengan siapa.
*Maaf untuk typo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...