Hii, hallo! Happy reading.
“kamu udah kasih tahu Kirana kalau besok kalian harus ketemu kuasa hukum, Mas?"
Aku menggelengkan kepala pelan dengan gerakan tangan tak berhenti memijit kaki Mami. Belakangan ini Mami terbatas melakukan kegiatan karena kondisi kesehatannya kian menurun. Sore ini rencananya kami mau membawa Mami ke rumah sakit lagi karena beliau mengeluh sesak napas. Begitu pun Papi, semalam beliau mendadak pingsan dan ternyata itu karena telat makan.
Penyakit lambung kronis yang dialami Papi memang membuat beliau harus menjaga pola makan dan asupan gizinya. Keadaan rumah yang repot benar-benar membuat seisi rumah ikut sibuk belakangan ini. Hingga rasanya rumah seperti membawa banyak energi negatif.
Beberapa kabar bahagia seperti Mbak Hani yang hamil anak ke dua, harus kami simpan karena kondisi kesehatan orang tua yang menurun bersamaan. Beruntung Mas Tama—suami Mbak Hani, tiga hari ini libur, jadilah kita membagi tugas jaga Papi dan Mami.
"Mami mau masalah Kirana cepat selesai. Kasian mungkin dia banyak pikiran belakangan ini, Dimas jadinya rewel terus. Kamu nggak mau cari pengasuh buat bantu Kirana? sama Mbak Tati juga Kirana nggak mau ngasih buat bantu jagain anak kalian, Kirana di kamar terus, mungkin Dimas juga suntuk, Cas."
"Nanti aku tanya dia dulu mau apa enggak, Mi. Kalau nggak mau aku nggak bisa maksa," jawabku hingga membuat Mami mengangguk paham. Sepertinya Mami juga sudah pasrah.
"Kantung mata kamu hitam, Mas susah tidur belakangan ini ya?"
Usapan tangan Mami di sekitar wajahku membuatku tersenyum kaku. Untuk beberapa hal, Mami memang cukup kaku dan keras tapi sejujurnya dia memiliki sisi kelembutan, terutama ketika hanya berdua dengan anak-anaknya.
Sudah sebesar ini saja, kehilangan Mami adalah hal yang paling menyeramkan yang pernah kubayangkan."Dengarkan Mami, ya, Mas!"
Aku mengangguk pelan, lantas menghentikan pijatanku pada kakinya.
"Selain jaga Kirana, kamu harus jaga diri sendiri. Jangan sampai niat baik kamu buat bantu Kirana untuk mendapatkan haknya, bikin kamu dalam keadaan bahaya. Kemarin, kata Hani ada yang kirim teror ke restonya, beberapa hari ini juga ada orang yang tengah malam mondar mandir ke rumah ini, Mami takut kalau mereka diam-diam ada yang ngikutin Mas pas kerja. Kalau Mas kenapa-kenapa Dimas masih kecil, jadi jangan lengah. Lebih cepat proses laporan kalian ke polisi, keadaan kita akan aman."
Napasku seperti tertahan mendengar itu. Aku nggak menyangka kalau mereka sudah bertindak jauh sampai ke resto Mbak Hani.
"Kalau apa yang seharusnya menjadi hak Kirana sudah terpenuhi, jangan sekali pun Mas ikut untuk menguasai miliknya. Mas boleh kasih arahan tapi biarkan Kirana yang memutuskan bagaimana mengelola usaha orang tuanya.""Mi, sebenarnya nggak ada masalah soal kepemilikan usaha Ayah Kirana, Pabrik dan rumah itu sekarang sudah menjadi atas nama Kirana sementara, sampai Kirana punya anak laki-laki berusia 17 tahun. Masalahnya sekarang, hanya kita buktikan bahwa mereka dalang dari kecelakaan orang tua Kirana dan Bagas, Mi."
"Jadi karena itu mereka gangguin Hani? Mereka tahu Hani kenal baik sama rumah makan yang mereka datangi malam itu?" tanya Mami hingga membuatku diam seketika.
Jadi mereka sudah tahu apa yang akan kami lakukan?
"Mami sejujurnya takut mereka akan membuat usaha Hani berantakan. Jadi apa bisa kamu bergerak cepat? Mumpung Mas mu juga di rumah, ajak dia juga buat bantu kalian."
Ah, benar. Ini sudah tidak lagi bisa ditunda terlalu lama. Aku harus bergerak cepat supaya mereka nggak semakin nekat menyentuh banyak orang di sekeliling kami sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...