Hallo, update lagi nih. Happy reading love.
Tidak tahu pada jam berapa Mas Lucas pulang, karena begitu aku masuk ke dalam rumah dia sudah di ruang tengah. Aku tak yakin dengan apa yang dia lakukan karena dari sini aku hanya bisa melihat bagian belakang badannya.
Setelah menaruh laptopku di kamar, aku kembali keluar membuat kopi untuk Mas Lucas. Aku sudah bertekad mengatakan pada Mas Lucas jika aku memilih mundur dari hubungan kami.Aku tak begitu yakin ini akan benar atau salah. Kami belum pernah bertengkar seperti tadi, sejauh ini hubungan kami hanya seperti dua orang asing yang dikumpulkan di satu rumah. Kami jarang komunikasi karena jadwal libur Mas Lucas tak pasti dan biasanya dia di rumah hanya dua atau tiga hari, itu pun banyak dihabiskan di kamar.
Sekarang aku hanya merasa jika mau dipertahankan sampai genap dua tahun, kehidupan kami tak akan berubah. Hal ini hanya akan menambah beban kami, termasuk aku yang sudah mulai sibuk masuk semester enam.
Dengan membawa cangkir berisi kopi kesukaan Mas Lucas, aku akhirnya menyusulnya ke ruang depan. Dia sepertinya menyadari langkahku karena langsung menoleh dan menegakkan badan begitu langkahku sudah dekat.
Tekadku yang tadinya besar, mendadak ciut mendengarnya berdehem. Bagaimana bisa tetap tenang karena begitu aku meletakan kopi di meja depannya, di sana ada selembar kertas perjanjian pranikah kami dulu.
Jadi apa sekarang Mas Lucas juga memiliki pikiran yang sama denganku?
Tanpa sadar aku tersenyum kecil.
Mas Bagas, teman baik Mas mungkin nggak pernah gagal jadi sahabat yang baik. Tapi, dia gagal menjaga hati Nana.
Dari awal aku memang yang salah, terlalu percaya dengan janji anak kecil. Bahkan aku sudah memisahkan dia dengan perempuan yang dia cintai. Mau ku ulangi seribu kali permintaan maafku pada Mbak Rindu, aku tetap tidak akan bisa mengembalikan kebahagiaan Mas Lucas.
"Duduk sebentar Na, aku mau ngomong."
Aku ngangguk dengan kaku, kemudian duduk di sisi kanan sofa yang kosong.
"Itu surat perjanjian pranikah kita ya, Mas?" Aku bertanya lugu. Padahal anak sekecil Shasa pasti sudah bisa membacanya. Begitu Mas Lucas mengangguk dan mengambil surat itu jantungku rasanya kian terpacu hebat. Terlebih begitu tangannya bergerak merobek surat itu di depanku, kepalaku refleks menunduk. Sebab, nyatanya meski aku menginginkan hal yang sama, tapi perpisahan ternyata membuatku lebih sakit juga.
Ternyata berakhirnya ternyata harus secepat ini ya?
"Maaf ya Mas, aku benar-benar mengacaukan semuanya. Semua terlanjur berantakan dan aku nggak tahu dari mana harus memperbaiki keadaan Mas," ucapku penuh sesal. Aku mencoba menguatkan diriku sendiri, karena mau merasa paling tersakiti juga, aku lah pemeran antagonisnya.
"Nggak semua hal yang rusak harus diperbaiki, Na. Beberapa hal yang terlanjur rusak baiknya kita harus mencari pengganti yang baru."
Aku turut mengangguk, sesak sekali napasku terhembusnya mendengar istilah itu. "Sesuatu yang baru itu Mbak Karin ya?"
Begitu sadar pertanyaanku salah aku langsung mengeleng. "Maaf Mas, aku nggak bermaksud ikut campur."
"Kenapa jadi Karin? istriku kamu kan?"
Huh? Maksudnya gimana?
"Mungkin ini terlalu tiba-tiba buat kamu. Tapi jujur, belakangan ini aku coba buat damai dengan diriku sendiri. Aku juga tahu di antara kita banyak kurang komunikasinya, mungkin kita bisa mulai dengan memperbaiki komunikasi dulu?"
Beberapa detik aku hanya diam, mau menebak ucapan Mas Lucas tapi takut salah. "Mas bisa jelasin dengan cara sederhana?" tanyaku pada akhirnya.
Mas Lucas terdengar menghembuskan napas keras, kemudian menggeser duduknya menghadap padaku. "Kita lanjutkan hubungan pernikahan kita dengan cara yang benar. Ngerti maksud Mas?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...