Hallo, apa kabar?
"Mas, minum dulu."
Mas Lucas hanya mengangguk singkat, kemudian mengambil gelas yang kusodorkan. Sedari pulang dari rumah Mami, Mas Lucas lebih banyak diam. Dia tak mengajakku bicara bicara apapun, sekalinya bicara hanya mengajakku pulang.
Padahal biasanya tiap kali kami ke rumah Mami, kami pasti menginap.Ya sudah, mungkin diantara kami juga butuh ruang untuk saling tenang. Sebab, tadi setelah kami bicara bertiga, Mami memanggil Mas Lucas dan begitu keluar dari kamar raut wajahnya terlihat sangat berubah.
Mas Lucas tak mengatakan apapun lagi, dia langsung pergi ke kamarnya dan aku juga pergi ke kamarku.
Cukup lama diam di depan cermin, akhirnya aku membuka hijabku. Memandang cukup lama sisi wajahku melewati cermin. Rasanya sedih setiap kali menyentuh sisi kanan bagian wajah ini, luka bekas kecelakaan itu belum juga bisa samar bahkan terlihat menyeramkan jika di lihat dari dekat. Bagaimana mungkin aku bisa mengambil hati Mas Lucas jika sisi wajahku begini?
Aku tidak secantik Mbak Rindu.
***
Setelah selesai mandi dan salat isya, aku membuka laptop.
aku harus memulai menulis lagi karena bagaimanapun kondisiku tak serta merta bisa membuat ku terus menunda pekerjaan, belum lagi tugas kuliahku yang kian menumpuk.Suara ketukan pintu akhirnya menghentikan jariku bergerak. Aku membenarkan letak hijabku dan membuka pintu. Yang membuatku kaget bukan karena Mas Lucas yang berdiri di hadapanku. Tetapi sesuatu yang ada di dekapannya; bantal dan selimut.
"Aku..aku ikut tidur di sini atau kita tidur di kamarku?"
Beberapa detik aku hanya diam mencoba memahami ucapan Mas Lucas, kemudian begitu paham maksudnya, mataku terpejam.
"Mas, kita bicara di luar dulu gimana?" jawabku meminta pertimbangannya.
"Apa nggak boleh masuk?"
"Bukan?" sangkalku cepat. "Tapi--?" Ah gimana ngomongnya? Mas Lucas sama sekali belum pernah masuk ke kamarku, tapi apa aku sopan nolak ini, sedangkan ini rumahnya? "Oke, masuk, Mas."
Mas Lucas akhirnya masuk dan duduk di ujung ranjangku.
Aku kemudian menarik kursi belajar dan duduk dalam jarak yang lumayan jauh. "Mas, aku rasa kita nggak perlu begini. Maksudku menuruti keinginan Mbak Hani. Kalau Mas nyaman kita begini, kita jalanin aja, Mas."Mas Lucas mengangguk pelan, kemudian senyumnya terukir tipis. "Apa kamu bahagia dengan ini?"
Kini aku yang diam, sebab jika ditanya apa aku bahagia atau enggak aku berada di antara itu. "Tapi kita tidak perlu terlalu dalam masuk dalam situasi ini, Mas. Tunggu sebentar lagi kita akan selesaikan semuanya."
Tak ada sahutan apapun dari Mas Lucas. Melihatnya seperti ini, aku justru kian merasa bersalah. Tapi tak tahu juga mesti melakukan apa.
Sekarang Mas Lucas malah rebah di atas kasurku menggunakan bantal miliknya dan aku bingung hendak bagaimana. "Kamu masih ngerjain tugas? Kalau sudah selesai, tolong matikan lampunya. Aku capek, pengin tidur cepet."
Mendengar itu, kesadaranku akhirnya kembali. Aku menekan tombol trun off pada layar MacBook dan mengambil bantal untuk tidur di karpet samping ranjang.
"Tidur di sini saja," pinta Mas Lucas hingga seketika membuat pergerakanku terhenti. "Maksud, mas?"
"Tidur di atas sama aku sini." Aku menelan ludah susah payah. Berharap aku salah dengar kali ini. "Na, tidur!" pintanya tanpa membuka mata.
Dengan gerakan lamban, aku akhirnya duduk di ujung ranjang. Mengambil napas sebanyak-banyaknya supaya lebih tenang. Merasakan pergerakan dari mas Lucas, akhirnya aku menoleh kesamping dan sedikit bernapas lega ketika dia membalikan badan memunggungiku. Perlahan aku ikut rebah meski dalam posisi membelakanginya juga dan menarik selimutku hingga leher.
***
Satu jam, dua jam, mataku sulit sekali terpejam. Justru kini kian nyalang karena aku kesulitan jika harus tidur dengan keadaan kamar sepenuhnya gelap. Entah kenapa aku selalu mimpi buruk tiap kali tidur dalam kondisi seperti ini. Aku tak tahu ini jam berapa tapi dadaku mendadak kian sesak.
Aku perlahan membuka mata, kemudian bangun dengan sangat hati-hati supaya tidak menganggu Mas Lucas tidur. Tapi bertahan di sini bukan pilihan, aku bisa kehabisan napas dan keringatku terus keluar.
Dengan susah payah aku mengambil gelas yang ada di nakas, tapi karena kecerobohan ku justru pegangannya jatuh hingga ke lantai dan mengenai kakiku.
"Na, ada apa?"
Kemudian begitu lampu menyala, napasku terhembus sedikit lega.
"Astaghfirullah, minum aja kamu nggak bisa?" Sentak Mas Lucas. Mungkin begitu tahu aku sudah memecahkan satu gelasnya.
"Maaf, Mas. Tadi gelap," ucapku sembari menguatkan tenaga untuk memungut pecahan gelasnya.
"Duduk di situ biar aku yang bersihkan. Kakimu berdarah!" titah Mas Lucas kian tegas.
Karena tak ingin membuatnya kian marah, aku mengangguk saja, kemudian duduk di kursi kamarku agar tak kian gemetaran.Beberapa menit kemudian Mas Lucas datang membawa kotak alat P3K dan air bersih. Yang membuatku terkejut, dia langsung berjongkok di depanku dan membersihkan luka di kakiku yang kini kian berdarah.
"Masukin kakimu ke sini, takutnya ada pecahan gelas yang menempel."
Aku mengangguk, kemudian memasukan kakiku ke dalam ember yang dia bawa. Hanya sebentar karena kemudian dia mengangkatnya dan mengeringkan kakiku menggunakan tissue dan kapas.
"Mas ini nggak apa-apa," ucapku hendak menarik kaki yang kini berada di atas pahanya.
"Nggak apa-apa ini berdarah. Kalau mau ambil minum itu jangan langsung bangun, Na."
Aku memilih tak menyahut, soalnya suara Mas Lucas terdengar sangat kesal. Dari sini aku hanya bisa melihat dia mengobati kakiku, sesekali mengernyit tertahan begitu alkoholnya mengenai luka.
Sampai kakiku mendapatkan dua balutan kain kasa. Mas Lucas kemudian menyudahi kegiatannya mengobati lukaku, dia kemudian keluar dengan membawa ember dan kotak obat yang barusan terpakai.
Beberapa menit kemudian, dia kembali membawa alat pembersih lantai dan membersihkan kekacauan yang kubuat tadi tanpa mengatakan apapun.
"Mas, sepertinya aku nggak bisa tidur di sini," ucapku membuka suara.
"Kenapa?"
"Aku nggak bisa tidur gelap. Susah tidur dan selalu mimpi buruk."
Mas Lucas diam, kemudian melewatiku begitu saja sembari membawa bekas pecahan gelas itu. Saat Mas Lucas kembali, kupikir dia akan mengambil bantal dan selimutnya. Tapi dia justru malah rebah ke posisi tadi.
"Aku tidur di luar ya, mas?" tanyaku meminta persetujuan.
"Tidur di sini aja, nggak usah di matikan lampunya."
Cobaan apa lagi ini?
Tak mau membantah, akhirnya aku ikut rebah di posisiku. Kemudian ekor mataku melirik Mas Lucas yang kini menggunakan lengannya untuk menutupi mata.
Kalau selama ini nggak bisa tidur dalam keadaan lampu terang, kenapa nggak bilang, Mas? Selama di rumah Mami dulu, selain kamu tidur di sofa yang sempit, kamu juga nggak nyaman ya tidur dengan lampu terang?
Aku menghela napas panjang begitu menyadari jika perkara tidur saja kita memiliki selera yang beda. Kemudian napasku benar-benar tertahan karena Mas Lucas merubah posisi tidurnya ke arahku. Yang membuatku kehabisan napas, kini tangannya malah melingkar di perutku.
"Tidur, Na. Besok kamu kuliah."
Ya kalau begini, mana bisa?
*Maaf untuk typo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...