Hallooooo, happy reading Love
Karin itu memang sahabat Mas Lucas. Tidak tahu persahabatan seperti apa karena dulu Mbak Rindu tidak pernah secara gamblang menceritakan bagaimana hubungan mereka. Dia hanya memintaku berhati-hati dengan Karin dan tak mudah terpancing. Beberapa kali yang kutahu Mbak Rindu mengatakan jika adik laki-lakinya sering diajari sesuatu yang tak sepantasnya dikatakan anak kecil kepada Shasa.
Dan, keberadaan anak kecil itu langsung membuatku ingat jika yang dimaksud Mbak Rindu adalah Deren.Aku membuka jendela kamar, menghirup udara dari luar agar sesuatu yang sesak di dalam sana perlahan ringan. Instingku sebagai perempuan jelas bisa menebak seperti apa perasaan Karin. Atau, memang selama ini mereka lebih dari sahabat?
Bukan tenang, hatiku rasanya malah kian kacau sekarang.Kirana, tahan sebentar lagi. Batinku memperkuat diri sendiri.
Tidak tahu sudah berapa lama aku hanya diam duduk dengan pandangan menerawang ke luar jendela, tapi kemudian suara ketukan pintu membuatku perlahan sadar dan bangun dari dudukku.
Aku menghembuskan napas keras, berharap kini sedikit tenang untuk menemui siapapun yang mengetuk pintu.
"Kenapa dikunci? Lagi ngapain di dalam?" tanya Mas Lucas begitu aku membuka pintu kamar. Sisi egoku ingin sekali kembali masuk dan menutup pintu kamar agar tak bertemu dengannya. Tapi mana bisa aku melakukan itu pada seseorang yang sudah memberiku tumpangan?
"Istirahat, capek hari ini banyak tugas," jawabku sekenanya.
Mas Lucas masih memandangku tanpa mengatakan apapun lagi. Kedua tangannya ia masukan dalam saku celana sehingga memperlihatkan gesturenya yang santai tapi aura dinginnya kian terlihat.
"Ada apa, Mas?" tanyaku pada akhirnya. Mengalah, sebab beberapa detik dia cuma diam.
"Karin mau pulang, dia mau pamitan."
Mendengar itu aku akhirnya mengangguk dan menutup pintu kamar, meninggalkan Mas Lucas yang masih diam di tempatnya. Kamarku berada di sisi tengah bagian rumah, sehingga begitu aku membuka pintu langsung dihadapkan antara meja makan dan ruang tamu.
Di sofa tengah sana, Karin nampak membereskan bekas mainan Deren. Dia memungut beberapa buku gambar dan pensil warna."Sudah mau pulang, Mbak? Kok buru-buru?" tanyaku berbasa-basi.
Mungkin karena mendengar suaraku, dia langsung menoleh kemudian tersenyum tipis. Yang membuatku menelan ludah susah payah adalah ketika dia mengambil cardigan rajut dan memakainya, terlihat sangat cantik perpaduannya dengan dress selutut tanpa lengan yang dia pakai.
Penampilan Karin jelas beda dariku yang hanya menyukai outfit sederhana dengan jilbab segiempat polos. Sedangkan dia, mungkin karena tuntutan profesi dan lingkungan kerja, rambutnya hitam bergelombang hingga pinggang dan badannya proporsional.
"Hai, Kirana. Aku pulang ya, udah sore. Lagian tadi ke sini cuma niat mau antar makanan. Lucas suka rendang daging bikinan Mama, kebetulan hari ini masak dan mama suruh antar ke sini."
Dari penjelasan Karin, jelas terdengar jika hubungan mereka sangat dekat. Bahkan orang tua Karin sampai hapal makanan kesukaan Mas Lucas.
"Makasih, Mbak. Maaf jadi bikin Mbak Karin repot," ucapku mencoba bijaksana.
"Nggak repot, seneng kok akhirnya aku kesampean ke sini. Biasanya pengin ke sini nggak dibolehin sama Lucas."
Aku sadar jika kini Mas Lucas sudah berdiri di sampingku. Pergerakannya terasa sekali tapi aku enggan menoleh ke arahnya.
"Deren, buku dari Om tadi jangan lupa dibawa." Kali ini aku langsung menoleh ke arah Mas Lucas. Entah kenapa rasanya makin sesak saja melihat Mas Lucas menunjukan perhatian pada anak itu.
"Deren sudah say thank you sama Om Lucas?" tanya Karin seraya membantu Deren menutup tas yang dia bawa. Sementara, tanpa kuduga Deren berjalan ke arahku. Tadinya kupikir dia akan mengajakku bersalaman, tapi dia ternyata menghambur ke pelukan Mas Lucas yang kini berada di sampingku.
"Terima kasih, Om. Bukunya sama seperti punya Shasa. Besok Deren akan tunjukan ke Shasa kalau punya buku gambar yang sama," ucap anak itu polos.
Aku tak berani melihat bagaimana reaksi Mas Lucas, kini malah sibuk mengalihkan pandangan ke arah lain agar mereka tak tahu jika aku tengah menahan air mata sekarang.
"Jangan nakal ya, Shasanya diajak main bareng kalau di sekolah," pesan Mas Lucas yang kudengar kemudian.
"Oke, sudah selesai. Aku pamit ya Cas, Na. Mama udah telepon terus, kami mau berangkat ke Bandung."
"Hati-hati," jawab Mas Lucas, "sampaikan salam ke tante, terima kasih udah mau repot-repot."
Aku langsung ikut menoleh ke Karin, berusaha menampilkan senyum sebisaku. Karena untuk menarik bibir agar sedikit terangkat susahnya bukan main sekarang.
"Nggak repot, sorry meja makan belum sempat aku beresin jadinya," ucap Karin terdengar menyesal, "Na, maaf aku jadi nambahin kerjaan, padahal kamu pasti capek habis kuliah."
Aku masih tersenyum. Kali ini kupaksa lebih lebar lagi supaya dia tahu aku tak masalah dengan kedatangannya dan caranya merusak dapurku.
"Engga apa-apa, nanti aku yang beresin." Bukan aku yang menyahut, barusan tadi suara Mas Lucas yang terdengar tak keberatan sama sekali. "Ayo aku antar ke luar. Deren, tasnya dibawa sendiri dong."
Deren ini sepertinya juga dekat dengan Mas Lucas, sebab dia langsung mengambil alih tas yang dibawa Karin dan menggendongnya.
"Mas aja yang antar, aku mau beresin dapur,"ucapku setengah berbisik. Kemudian tanpa menunggu persetujuan Mas Lucas, aku bergegas menuju ruang makan.
Tak langsung merapikan meja makan, aku memilih mengembuskan napas keras sebab melihat bekas piring mereka masih ada di atas meja. Padahal dalam keluarga Mami sudah terbiasa, sehabis makan semua piring kotor harus ditaruh ke wastafel meski tidak langsung dicuci.
Atau peraturan itu tak lagi dipakai jika Mas Lucas bersama Karin?
Apa lantas karena buru-buru, dia bahkan tak sempat memindah piring kotornya sendiri?Aku menarik napas dengan mata terpejam, sebelum akhirnya memindah lauk yang masih tersisa ke tengah meja dan mengambil piring bekas mereka untuk dibawa ke wastafel dan mulai kucuci dengan rasa marah entah dasarnya apa.
Sebab, untuk cemburu pada suamiku sendiri, rasanya aku tak memiliki hak sama sekali.
*Maaf untuk typo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...