Gaiiissss, kalian keren bangeet part kemarin! karena kalian keren, part ini buat kalian yang selalu support aku dengan cara vote dan kasih komentar (Kecuali yang tukang komentar next). Makasih, ya! I Love you.
Maa Lucas masih ada di kamar saat aku keluar dari kamar mandi. Dia tengah memainkan ponsel dan langsung menurunkannya dari genggaman begitu aku keluar dengan wajah berantakan karena banyak menangis.
"Kita bisa bicara dulu? Aku akan jelasin semuanya dan setelah ini kamu boleh tetap marah atau benci sama aku." Suara Mas Lucas terdengar bergetar saat mengatakannya, itu yang akhirnya bikin aku ngangguk, mencoba berdamai dengan ego.
"Duduk dulu, kamu pasti capek."
Padahal dibandingkan aku, harusnya Mas Lucas yang lebih capek. Wajahnya kelihatan lelah sekarang, lingkaran matanya juga menghitam.
Untuk menuruti keinginannya, aku akhirnya duduk di ranjang meski kondisi hatiku sangat kacau sekarang. Posisi Mas Lucas kini berada di samping kaki ku, salah satu kakinya menjuntai ke lantai dan satu lagi dia lipat di atas ranjang dengan posisi menghadapku sepenuhnya. Herannya nggak ada rasa canggung seperti biasa yang aku rasain, karena sekarang amarahku lebih menguasai hati dari pada isi logika. Aku mau dia tahu kalau aku sangat kecewa dengan apa yang dia lakukan.
"Aku minta maaf karena kamu harus dengar kata-kata nggak pantes dari Karin. Aku nggak akan ngasih pembelaan apa pun karena aku tahu kamu udah terlanjur sakit hati."
Aku membiarkan tangan Mas Lucas menyentuh tanganku dan menggenggamnya. Toh, aku nggak punya kekuatan lagi buat lawan. "Na, aku benar-benar nggak tahu dia tahu dari mana masalah kita. Tapi sejauh yang aku ingat, hanya Jaya tahu masalah ini kemarin. Sebelum terbang kemarin aku sempat telepon dia di kantor, mungkin tanpa aku sadari Karin dengar apa yang aku omongin ke Jaya."
Mas Jaya? aku tahu dan kenal dia sebagai teman baik Mas Lucas dan Mas Bagas dulu. Aku nggak tahu seberapa dekat mereka sampai hal seperti ini harus diceritakan orang lain.
"Termasuk bilang ke Mas Jaya kalau aku cacat wajah?" tanyaku lirih. Tenggorokanku sakit saat mengatakannya, karena tiba-tiba ingat makian yang Karin lontarkan kemarin.
"Demi Allah, kalau itu enggak, Kirana. Aku beneran dalam keadaan nggak tahu lagi mau cerita sama siapa. Hubungan kita semakin berantakan dan kamu harus dengar kalimat itu saat hubungan kita mulai membaik. Aku hanya butuh teman buat pertimbangan harus seperti apa ke depannya."
Rasanya aneh dengar Mas Lucas menyebut dirinya 'Aku' bukan 'Mas' lagi. Ini sama seperti ketika hubungan kami masih canggung di awal-awal pernikahan dulu. Dan anehnya, aku nggak suka dengar itu lagi.
"Aku juga nggak tahu gimana dia bisa lihat luka di wajah kamu. Tapi yang jelas aku nggak pernah masalahin itu," tuturnya yakin. Entah ini bisa kupercaya apa enggak nanti. "Kirana, kali ini aja, boleh nggak jaga emosimu biar stabil. Kata Jaya kondisi emosi kamu ngaruh ke anak kita di dalam sini. Maaf kalau ini jadi terkesan egois lagi, tapi kesehatan dia juga mempengaruhi kesehatan kamu, Na."
"Mas emang selalu peduli tentang anak ini tapi mengabaikan gimana perasaanku. Kalau mas pikir apa yang kulalui ini mudah, nggak sama sekali, Mas. Egoku udah kalah dengan keadaan. Nikah muda, ambil jurusan kuliah yang bukan minatku, hamil saat semester akhir dan harus cuti saat sidang udah di depan mata. Belum lagi keadaan rumah tangga kita yang ternyata nggak seindah apa yang aku bayangin, padahal harusnya aku dapat perhatian banyak saat-saat begini."
Raut wajah Mas Lucas terlihat langsung berubah merah, sorot matanya juga menatapku berbeda. "Sebentar. Ini ada yang salah apa enggak?" tanya Mas Lucas.
"Na, dari awal bahkan aku nggak pernah minta kamu buat kuliah di mana dan ambil jurusan apa, karena aku mau kamu milih apa yang kamu mau. Dan apa kehadiran anak kita sekarang kamu sesali? Dari awal aku juga selalu nanya apa yang kamu mau dan apa yang kamu rasain, tapi saat itu juga kamu selalu bilang nggak mau apa-apa. Kirana, aku ini suami kamu tapi bukan berarti aku selalu bisa baca pikiran kamu. Dan maaf kalau kamu nggak bahagia selama ini, kayaknya emang aku udah gagal jadi imam yang baik buat kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...