Doubel update!
Entah kenapa, aku hanya merasa pertanyaan Mas Lucas seperti menjebakku. Minimal dia bisa ngomong ke Dhito kalau aku istrinya atau nggak ijinkan Dhito mendekatiku lebih berani. Bukan malah melempar pertanyaan itu padaku dan menungguku menjawab. Aku nggak mungkin membuat Dhito malu dengan nolak dia di depan orang lain, tapi mengijinkan dia terus bersikap seperti itu juga salah.
Lantas jawaban apa yang paling bisa kusampaikan kecuali menghindari ini dengan cara pamit dan ngajak Mas Lucas pulang.
Tadinya Mas Lucas berencana ke rumah Mami, tapi kemudian karena malam ini harus kembali kerja, akhirnya dia mengajak langsung pulang.
Aku kecewa tentu iya, tapi lagi-lagi aku seperti harus memaklumi ini karena hubungan kami baru saja dimulai. Mungkin Mas Lucas belum mau banyak orang tahu tentang hubungan kami. Atau ada sesuatu yang dia ingin tutupi? Entahlah, yang jelas sepanjang jalan, mulutku seperti rapat terkunci dan aku memilih mengalihkan pandangan ke arah lain.
Nggak ada yang salah, barang kali sesuatu yang kuanggap bisa kita mulai dengan mengatakan ke semua orang jika kami sudah menikah, menjadi sesuatu yang belum siap Mas Lucas akui. Sebab, sampai saat ini, tak pernah sekalipun aku melihat Mas Lucas memakai cincin pernikahan kami. Sejalan dengannya, aku juga menyembunyikan cincin itu di kalungku, sehingga sering kali tak terlihat kecuali aku melepas hijab.
Napasku terhela keras, berusaha membujuk hatiku agar sedikit lagi lebih sabar. Jatuh cinta membutuhkan proses. Sedangkan aku yang sudah memiliki itu dari awal malah kian terperosok oleh cinta dan ego yang kian dalam setelah semua pada Mas Lucas sudah kuserahkan.
Sisi cemburuku pada Karin dan Mbak Rindu semakin kuat. Ini seperti sesuatu yang sulit kukendalikan karena ketakutanku Mas Lucas nantinya akan gagal mencintaiku atau parahnya meninggalkanku.
Ini entah pengaruh murni karena cinta saja atau memang ketika seseorang sudah menyerahkan dirinya, ketakutan ditinggalkan itu kian besar karena merasa sia-sia?
Aku belum tahu jawaban pastinya. Karena kepalaku malah kerap membuat pengandaian jika bisa saja Mas Lucas meniduriku tanpa cinta.
"Nggak mau turun?" Ucapan Mas Lucas seketika membuatku tersadar jika mobilnya sudah berhenti di depan gerbang rumah. Dia sudah keluar lebih dulu untuk membuka pagar rumah.
Aku yang masih sibuk meredam kecewa, hanya bisa menunduk kemudian menghembuskan napas sekeras-kerasnya agar sesakku hilang.
Tanpa menunggu Mas Lucas kembali masuk ke mobil, aku memilih untuk keluar dan segera masuk ke dalam rumah melewati Mas Lucas begitu saja. Sulit menekan egoku dalam-dalam meski berulang kali aku mencoba untuk nggak terlalu memaksakan keadaan akan berubah secepat ini.
"Air minum, Mas," ucapku sembari meletakan gelas yang sudah ku isi air mineral ke atas meja makan begitu Mas Lucas menyusulku ke dapur. Aku sengaja mengambil jeda agar hatiku lebih tenang dengan cara meninggalkannya dan masuk ke kamar.
Aku memiliki kebiasaan tak langsung duduk atau tidur di atas ranjang setelah bepergian. Apa lagi semisal perginya seharian dan mengeluarkan banyak keringat. Meski rasanya badanku ingin direbahkan sebentar, aku memilih langsung mandi dan siap-siap salat ashar.
Ketukan pintu ketika aku selesai melipat mukena, membuatku langsung bergerak membukanya. Mas Lucas sudah berganti pakaian, kaos oblong warna hitam dan celana pendek rumahan saja sudah bikin aku nyaris tak berkedip melihatnya.
"Ganggu nggak?" tanyanya begitu aku membukakan pintu.
Aku menggeleng dengan pelan, "kenapa, mas?"
"Mas berangkat jam tujuh, bisa minta tolong siapkan baju?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...