Just Go|48

8.4K 1.5K 146
                                    

Doubel update! Aku nggak minta apa-apa dari kalian untuk cerita ini. Kalian bisa berhenti di sini kalau ngerasa makin nggak paham dengan jalan pikiran Kirana, karena menjelang part ending, hanya akan kalian temui Kirana dengan sikap toxicnya.

Part ini cukup pendek karena harusnya gabung jadi satu dengan part 47. Maaf yaa, sekali lagi maaf.


🔥🔥🔥

Sekarang aku malah bertanya apa itu bahagia? Aku bertanya karena sampai sekarang hatiku seperti mati rasa.

Untuk hal yang membuatku hangat, aku tak lagi merasa senang. Untuk hal sedih aku juga nggak mau nangis lagi.

Hubungan kami jalan di tempat, tapi meski begitu, Mas Lucas lebih rutin menghubungiku jika sedang menunggu jadwal penerbangan. Atau kadang aku merasa dia menjagaku lewat Mbak Hani sejak Mami sakit.

Tengah malam, Mbak Hani selalu masuk kamarku, membenarkan letak selimutku sembari menelpon Mas Lucas. Mbak Hani juga banyak ngajak aku ngobrol hal-hal santai, karena sejak Mami sakit, Mbak Hani lebih banyak di rumah karena Papi juga ikut sakit.

Dua hari lalu Mbak Rindu melahirkan anak laki-laki. Sore ini aku berencana menengok dengan Mbak Hani karena katanya Mbak Rindu sudah diperbolehkan pulang.

Sebelum berangkat, kami sengaja masak banyak. Beberapa makanan di siapkan untuk Mbak Rindu, termasuk obat-obatan tradisional resep Mami. Sebenarnya perlakuan mereka pada Mbak Rindu atau aku tak ada bedanya, meski dalam keadaan sakit, Mami selalu mengkhawatirkan Mbak Rindu saat dikabari jika sedang melahirkan.

"Mami sama Papi kalau sakit barengan gitu, Mbak?"

"Iya, Papi itu bucin akut, kalau mami sakit, dia yang nggak doyan makan. Kadang lebih susah ngasih tahu Papi,"
jawab Mbak Hani.

Aku tersenyum. Memang melihat Mami dan Papi seperti pasangan yang nggak pernah bertengkar. Papi cukup pendiam, tapi sama Mami, beliau jadi murah senyum dan banyak bicara.

Kalau Bunda masih hidup, mungkin aku akan kasih tahu Bunda untuk mencontoh Mami. Perempuan nggak harus sibuk kerja sampai mengabaikan anak, karena kerja keras mereka juga sekarang tak jelas arahnya.

Manusia kan bisa buta karena harta? Kadang tak melihat itu harta orang lain, tapi bertindak ingin memiliki. Keadaanku yang belum siap menerima semua bikin aku pasrah gitu aja semua kerja keras Bunda dan Ayah dimiliki saudaranya. Dan pikiranku yang pendek ini justru membuat keputusan salah dengan menuruti kemauan hati menikah dengan Mas Lucas.

Kalau saja dari awal kami saling mencintai seperti Mbak Hani dan Mas Tama, atau Mbak Rindu dan suaminya, lebih-lebih seperti Mami dan Papi. Mungkin saja aku tak akan semenyesal ini.

"Mbak tahu masalahku sama Mas Lucas?"

Sambil mengemudi Mbak Hani mengangguk.

"Mbak yang ke rumah Karin?"

"Iya, soalnya dia udah kurang ajar. Aku udah kesel dari dia dulu sering banget ajarin adiknya buat ngajarin Shasa nakal dan jail. Perempuan sinting itu emang gila sama Lucas, kalau aja aku tau dari dulu dia juga jahat sama Rindu, udah aku datengin ke rumahnya dari dulu," ujar Mbak Hani terlihat geregetan.

"Dia udah nggak gangguin kamu kan?"

Aku menggeleng, entah iya atau enggak sebenarnya aku nggak tahu karena nomer ponselku masih dibawa Mas Lucas. Sedangkan pesan ke nomer Mas Lucas hanya pesan group dari rekan penerbangannya. Itu pun nggak ada yang aneh.

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang