Hallo, happy reading love
Apa-apa yang aku rasa, sudah biasa kupendam sendirian. Barangkali sangking seringnya aku termasuk orang yang susah menunjukan ekspreksiku secara tiba-tiba. Aku ini tipe pemendam yang begitu handal, bahkan saat paling jatuhnya hidupku beberapa tahun lalu, yang bisa kulakukan hanya menangis diam-diam.
Entah kepalaku yang terlalu lamban mencerna sesuatu yang terjadi atau aku merasa hatiku sudah mati. Tapi melihat seseorang yang tak seharusnya memegang ponsel suamiku, yang kulakukan justru kemudian diam. Sampai malam ketika Mbak Dinar sedang mandi, aku hanya diam di dapur dengan kepala ramai memikirkan segalanya.
Tidak ada balasan apapun lagi dari Mas Lucas. Bahkan sekarang sudah nyaris jam tujuh, dia belum juga menghubungiku. Berkali-kali aku coba cek ponsel, tak ada notifikasi apapun. Hingga sudah di titik lelah, aku memilih menonaktifkan ponsel saja.
"Bukan makan duluan," tegur Mbak Dinar begitu dia menyusulku ke meja makan. Malam ini kami sebenarnya berencana keluar, tapi sedari sore cuaca kurang bagus. Hingga akhirnya kami sepakat di rumah sembari mengerjakan naskah novelku setelah ini.
"Nunggu mbak, biar makannya enak," candaku untuk menutupi suasana hatiku yang sedikit kacau.
"Nggak ada hubungannya Kirana Bagista."
Aku suka tiap kali Mbak Dinar memanggil nama lengkapku. Ini sering mengingatkan ku pada Mas Bagas jika sedang kesal.
"Ayo makan, habis ini kita ngerjain naskah. Nggak mau tahu malam ini harus setor lima ribu word!"
"Mbak, aku bisa ngerjain seribu dalam semalam aja bersyukur loh."
Mendengar ucapanku Mbak Dinar mencibir, "Jangan macem-macem. Dari kemarin juga Mbak udah kasih kelonggaran waktu, malesnya jangan digedein."
Aku tersenyum kecil melihat bagaimana Mbak Dinar ngedumel, dia ini baik sebenarnya, hanya ketika dia bertugas jadi editor, tingkahnya berubah seperti singa.
"Jangan lihatin, aku masih normal ya!"
Aku tak bisa menahan gelakanku, terlebih Mbak Dinar langsung bergidig ngeri.
"Aku juga, Mbak."
"Kamu mah emang bucin tolol," hardik Mbak Dinar. Dua kata yang membuatku seketika diam, sebab sadar jika itu benar dan aku sudah terlalu lama hanyut di dalamnya.
Kurasa seikhlas-ikhlasnya seseorang perihal mencintai, mustahil jika tak mengharap balas. Sesederhana apa perasaanku, ada masa di mana aku bermimpi akan dicintai kembali oleh Mas Lucas.
Aku berusaha menekan itu dalam-dalam. Tapi apa yang terjadi dengan kami beberapa hari ini, turut menggagalkan niatan itu. Aku merasa mempunyai harapan akan menjalin hubungan yang jauh lebih baik, sebelum kembali dipatahkan oleh Karin. Dari awal mungkin aku yang salah, menikah dengan Mas Lucas sama sekali tak menolongku. Alih-alih mendapat keluarga baru, kian hari hatiku malah kian dibuat semakin kesepian.
Tak tahu aku mesti jujur pada Mbak Dinar atau enggak tentang ini. Terkadang isi kepalaku butuh sekali untuk dibagi, tapi kadang aku merasa bisa mengatasinya sendiri.
"Na, kenapa?"
Aku mengangkat kepala. Acara makan kami sudah selesai sekitar satu jam yang lalu. Kini kami duduk di ruang tengah, aku sedang berusaha fokus untuk menulis tapi berkali-kali gagal karena terus memikirkan Mas Lucas.
"Dari sore kamu ngelamun terus. Ada masalah? Mbak bercanda soal yang tadi, kalau kamu emang belum bisa nulis sekarang enggak apa-apa. Atau kesinggung soal yang tadi?" tanya Mbak Dinar menatapku, "maaf ya."
Aku menggeleng pelan, kemudian meletakan laptopku yang sedari tadi hanya kuletakan di pangkuan. Aku menulis beberapa paragraf, kemudian kuhapus dan begini terus menerus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...