Just Go| 36

8.7K 1.5K 142
                                    

Hallo guys, please tanpa kalian komentar next aku pasti akan update Just go, kok. Aku sering bilang ini, lebih baik aku di kasih komentar emoticon LOVE dari pada satu kalimat 'next'.

Happy satnight and happy reading sayaaang!!





💐💐💐

Rasanya aku pantas bersyukur pada Semesta, karena kali ini kupikir akan kehilangan satu lagi seseorang yang paling dekat denganku. Hampir aku ingin melabeli diri dengan perempuan pembawa sial, karena di mulai dari Kak Bagas, Bunda dan Ayah mereka sama-sama meninggalkanku ke surga lebih dulu.

Aku hampir tidak percaya jika selama ini sudah hidup begitu kuat. Seluruh harta dan pabrik milik Ayah habis dikuasai saudara Ayah dan aku dibuang sendiri di sini. Jangankan menengok, atau bertanya tentang kabarku, tanya aku di mana saja Pak Lik nggak pernah melakukannya. Padahal aku yakin kalau rumah dan pabrik milik Ayah masih atas namaku.

Jangan dikira aku nggak memperjuangkan itu, tapi aku benar-benar takut menghadapi ancaman dari keluarga Pak Lik, sehingga aku memutuskan untuk pergi saja dan nggak meributkan perihal harta warisan.

Menyedihkannya lagi, sekarang aku harus hidup menumpang dengan keluarga yang baru. Meski hubungan Bunda dan Mami baik, tentu nggak semudah itu juga aku bisa menyesuaikan diri. Semalam, Mas Lucas mengatakan jika dia masih ingat dengan Mas Bagas, itu artinya dia ingat siapa aku dan keluargaku. Sayangnya, aku nggak berani untuk memulai bertanya lebih banyak. Sebab, dengan siapa pun aku tak pernah lagi mau membahas tentang kepergian mereka. Itu karena sekalinya aku bicara, pasti lebih banyak menangisnya.

***
Pagi ini saat aku membuka mata, Mas Lucas sudah lebih dulu bangun. Dia masih duduk bersandar pada hardboard tapi pakaiannya sudah ganti dengan kemeja Koko dan nampak segar—sepertinya dia habis mandi.

Alat pengukur waktu menunjukkan pukul lima pagi saat mataku menoleh pada jam dinding yang tercantel di tembok. Aku segera bangkit dari tidur dan mencari hijab menutup kepalaku.

"Pagi," sapanya melihatku sebentar, lalu tangannya bergerak mengusap kepalaku, meski pandangannya fokus pada layar ponsel.

"Mas nggak tidur?"

"Tidur sebentar. Terus bangun cari kabar pesawatnya udah ditemuin belum," jawabnya.

"Mas belum cerita, kok bisa Mas pindah penerbangan? Apa mereka udah ditemukan?"

Baru saat itu, Mas Lucas meletakan ponsel yang digenggam. Lalu pandangannya teralih padaku.

Bayangin aja, Mas Lucas udah dalam keadaan segar dan wangi, sementara aku masih muka bantal karena hanya tidur tiga jam.

"Dia ngajak tukar penerbangan, karena keluarganya lagi liburan di sana. Mas mau karena Mas pikir Solo lebih Deket buat pulang ke Jogja."

Aku mengangguk, entah kenapa tiba-tiba aku merasa sangat sesak begitu kami beradu tetap. Tiba-tiba aku sangat takut kehilangan Mas Lucas.

"Kasihan dia, Mas. Keluarga korban pasti sedih banget."

Mas Lucas mengangguk tanda setuju.
"Kalau Mas kerja di luar kamu berdoa terus biar Mas selalu dilindungi."

Saat tangan Mas Lucas yang tadi dia letakan di kepalaku bergerak turun, aku semakin kesusahan menelan Saliva. Sebab tanpa permisi, dia mengusap perutku berkali-kali.
"Selamat pagi, anaknya Ayah. Hari ini kita mau ketemu, Ayah nggak sabar," ujarnya lirih tapi aku sangat bisa mendengarkannya.

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang