Just Go| 50

9K 1.5K 126
                                    

Tak hentinya aku meremas kedua tanganku sendiri sepanjang perjalanan. Rasanya aku seperti ingin segera sampai Jogja dan melihat kondisi anakku untuk pertama kalinya hadir di dunia, memperbaiki hubungan rumah tangga kami, belajar menjadi seorang ayah yang baik dan membesarkan anak kami sama-sama.

Aku sangat menyadari jika selama ini belum bisa membahagikan Kirana, sebab selama kami bersama, aku nyaris tak pernah melihat dia tersenyum senang padaku. Atau lebih banyaknya dia hanya menunduk dan menghindari tatapanku. Aku sering kali menganggap belum bisa memahaminya karena dia seperti membangun tembok besar di antara kami, padahal jika melihat bagaimana dia menulis namaku dengan rentetan kalimat itu, semua terasa sangat indah dan manis.

Lantas pada bagian mana yang harus mulai kurapikan jika banyak hal di antara kami yang sudah terlanjur berantakan? 

Pikiranku sudah berlarian ke sana ke sini. Tak sekali pun tanganku melepas ponsel dari genggaman, berharap aku akan mendapat kabar baik dari Mbak Hani atau Bara tentang kondisi Kirana.

Lututku rasanya sudah sangat gemetar setibanya di rumah sakit, aku berlari mencari ruang operasi di mana Kirana sedang menjalani operasi Caesar. Anehnya langkahku terasa seperti tak bisa berlari terlalu cepat, meski semua tenaga sudah ku kerahkan untuk sampai lebih cepat.

Di depan ruangan operasi itu ada Mbak Hani, Mami yang ngeyel ke rumah sakit padahal kondisinya masih belum stabil, dan juga Bara ikut menunggu. Bara bercerita bagaimana dia tahu-tahu mendengar suara orang teriak dan saat mencari sumber suara itu, Kirana tak sadarkan diri dengan posisi tengkurap. Yang membuat kondisinya bahaya adalah disusulnya pendarahan hebat sehingga anak kami harus di keluarkan bagaimana pun kondisinya.

Aku mengusap wajah gusar, terlebih ketika Mami berhasil menarikku untuk duduk pada kursi besi panjang di depan ruang operasi. Tangan kananya mengusap bahu hingga punggungku secara pelan. Usapan tangan Mami barang kali memang ada mantranya, sebab diiringi usapan lembut itu, hatiku mendadak sedikit tenang. 

"Berdoa sama Allah, Mas. Kirana pasti baik-baik juga. Begitu juga dengan anak kalian. Allah mau Mas minta dan berserah hanya pada Allah saja sekarang."

Aku mengangguk, rasa cemas itu tak juga bisa hilang meski berkali-kali aku meyakinkan diri semuanya akan baik-baik saja.

“Dia selamat dari kerusakan mobil tapi kenapa jadi jatuh begini sih, Mi?"
keluhku sembari memijit pelipisku yang berdenyut.

"Mami nggak tahu kenapa dunia begitu kejam pada Kirana, tapi Mami percaya manusia tidak akan berjalan di tapakan yang rumit terus menerus. Semua ini pasti ada rencana lain, kita yang belum tahu apa rencananya," ujar Mami bijaksana. "Mami peluk biar kamu tenang."

Saat mami mengatakan begitu, aku lantas menghambur pada pelukan beliau. Entah kenapa belakangan ini aku juga merasa lelah, segala hal terasa sulit.

Aku sulit dengan keadaanku, sulit memahami Kirana dan gagal merasa menjadi suami.

Aku lelah karena hal-hal berat, seperti memperjuangkan hak Kirana dari keluarganya sendiri dan harus selalu was-was dengan apa yang terjadi padanya saat aku nggak ada di sampingnya. Pekerjaanku yang belum pasti memiliki waktu libur tertentu juga menghambat proses menyelidiki masalah itu.

"Mas jangan lelah, sedikit lagi kita bisa ambil hak Kirana. Mungkin dia merasa tak begitu membutuhkan uang sekarang, kita sudah sangat bisa menghidupi dia tanpa kurang. Tapi di sana, usaha itu, rumah itu, semua dibangun dengan keringat dan waktu oleh almarhum mertua kamu. Setidaknya biarkan Kirana mendapatkan haknya sebagai anak sehingga orang tuanya tenang."

"Tapi gimana kalau itu membahayakan Kirana, Mi? Gimana kalau anakku yang jadi incaran mereka?"

"Mami tahu kekhawatiran kamu, tapi tentu kita nggak bisa membiarkan penjahat terus berkeliaran bebas, sementara dia sudah menghancurkan keluarga istrimu," ujar Mami.

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang