Hi, yang nunggu Just Go update mana? minta emoticon love boleh?
Happy reading, Love!
Bagaimana ya caranya mengubah sikap kaku terhadap suami sendiri? Terkadang aku ngerasa hidup sama Mas Lucas banyak sekali penyesuaian yang harus dipaksa lebih cepat. Usia kami yang terpaut jauh, sikap kami yang jauh berbeda terkadang bikin aku ngerasa kesulitan.
Aku terbiasa melakukan semuanya sendirian sejak kecil, ngerasa salah ketika Mas Lucas selalu tanya, "Kok nggak ngomong?" Sama sesuatu yang ku putuskan sendiri.
Seperti ketika aku pergi ke dokter untuk memeriksa kandungan, tanpa memberitahu Mas Lucas, atau belanja bulanan sendirian.Maksudku, sejak hamil Dimas pun, aku selalu melakukannya sendiri. Jujur aku nggak enak begitu raut wajahnya kelihatan kecewa saat menjemputmu ke rumah sakit.
"Aku ngerasa kram beberapa kali, sejak dua hari lalu. Terus belum tahu kapan Mas libur kan," jawabku lirih. Aku nyaris nggak pernah lihat pandangan Mas Lucas yang seperti ini sejak hubungan kami membaik, jadi jujur aja aku takut sekarang."Terus kata dokter apa"
Tanganku meremas tali tas, dengan perasan berdebar.
"Eeemmm kata dokter harus istirahat. Cuman bingung, aku kan lagi selesaiin skripsi Mas."
Mas Lucas nggak kunjung jawab, ia hanya menoleh padaku sebentar, lantas pandangannya teralih ke jalanan. Tadi setelah sampai rumah dan tak menjumpai aku di rumah, ia langsung menelpon untuk menanyakan keberadaan ku di mana. Setelah aku mengatakan sedang kontrol kandungan, ia bergegas ke rumah sakit menggunakan ojek online.
"Mas mau aku cuti lagi?" Tanyaku, begitu Mas Lucas tak kunjung jawab.
"Tapi—""Kalau kamu ngerasa masih sanggup buat lanjutin, lanjutin aja. Besok Mas akan cari orang buat bantu-bantu kerjaan rumah sama jagain Dimas, selama Mas kerja. Kamu cukup kerjain skripsi biar cepet selesai tanpa mengabaikan kesehatan."
"Kirana—"
"Jangan ngebantah, Kirana. Kali ini aja jangan bersikap bisa ngerjain semuanya sendiri," ujarnya memotong ucapanku.
Benar kan dia marah.
Kalau engga, nggak mungkin dia hanya diam saja bahkan saat kami sudah sampai rumah.
Malam tadi sebelum ke rumah sakit, aku menitipkan Dimas ke Mbak Hani. Selama kuliah memang Mbak Hani menawarkan untuk menjaga Dimas, karena di rumah sana juga ada Mbak Tati yang dulu mengasuh Shasa kemudian Tifani—anak Mbak Hani.
Tadi sempat aku mengajak Mas Lucas sekalian jemput Dimas, tapi ia menolak. Katanya Mbak Hani minta ijin Dimas tidur di rumahnya saja. Kalau sudah begini, aku harus siap menjadi canggung hanya berdua dengan Mas Lucas di rumah. Sebab, selama ini yang mencairkan suasana antara kami adalah Dimas.
Selesai mandi, seperti biasa aku hendak memilih baju kotor bekas Mas Lucas kerja, namun koper kecil miliknya sudah kosong, bahkan sudah berada di atas lemari pakaian.
Begitu aku keluar kamar, suara mesin cuci tengah menggiling pakaian seperti berbunyi, sepertinya Mas Lucas sudah mencucinya saat aku mandi tadi.Benar saja, begitu aku melewati dapur untuk ke ruang mencuci pakaian di belakang, ia berada di sana tengah mempersiapkan gantungan baju untuk menjemur.
"Kirana lanjutkan aja, Mas."
"Nggak usah tinggal nunggu bilas," sahut Mas Lucas dan membuatku menoleh ke angka digital mesin cuci.
"Tolong tunggu di ruang tamu aja, tadi Mas pesan makanan online. Dompetnya di lemari, ambil dua puluh buat tips drivernya. Makanannya udah Mas bayar tadi pakai e-walletnya."
Aku yang memang nggak suka membantah, akhirnya mengangguk saja, mengambil uang dua lembar sepuluh ribuan sembari menunggu makanan datang.
Mas Lucas pasti masih marah, sampai nggak mau aku siapin makan dan mencuci bajunya.
Aku cuma bisa menghela napas, mencoba untuk mengenyahkan perasaan nggak enakku.Tanganku bergerak mengusap perut, karena sejujurnya rasa nyeri nggak juga berkurang sedari tadi.
"Adek, maafin Mama ya, adek harus ikut Mama kuliah sama kayak Mas dulu." Aku kembali mengusap perut, "Mama pengin cepet selesai, kasian Papa harus bayar kuliah Mama yang ketunda terus."
Mataku kembali terpejam, begitu rasa sakit itu perlahan menghilang, seakan anak yang ada di kandunganku ini mengerti apa yang dirasakan Mamanya.
"Kenapa?"
Suara itu seketika membuatku terperanjat, kaget lihat Mas Lucas sudah ada di sampingku.
"Tadi sakit," cicitku sembari mendongak padanya.
Aku mengerjap begitu Mas Lucas bersimpuh menggunakan kedua lututnya di hadapanku. Tangannya kemudian bergerak mengusap perutku yang belum terlalu menonjol.
"Hi, anak Papa, kenapa, Dek? Sabar dulu ya, kita ketemunya masih lama. Kalau kamu nggak nyaman di dalam, ajak Mama tidur dan istirahat lebih cepet, sabar Nak, ya."
Tangan Mas Lucas terus mengusap perutku. Lembut menggunakan ibu jarinya, tapi seperti ampuh membuat benteng tinggi di hatiku roboh.
"Dulu waktu Dimas begini juga nggak?" Tanyanya mendongak padaku.
Aku seketika menelan saliva, salah fokus dengan wajah Mas Lucas yang begitu sempurna di tiap lekukannya.
"Na?"
"I...iya, tapi nggak sesering ini. Dulu padahal aku juga kuliah," jawabku jujur.
Mas Lucas tak menjawab apa pun, ia justru bangkit menegakan tubuh, namun seketika menarikku ke dalam pelukannya.
Aku nggak tahu kenapa dia bertingkah seperti ini. Tapi mendengar napasnya tergelak berat beberapa kali, membuat naluriku tergerak untuk mengusap punggungnya.
"Maaf ya, kalau aja Mas bisa menyalurkan rindu Mas ke kamu dengan hal lain, atau Mas lebih hati-hati, kamu nggak akan ngerasain ini lagi, anak kita juga nggak akan kesakitan di dalam perut kamu."
Aku mengigit bibir, bingung mau menanggapi ucapannya seperti apa, "Mas takut emosimu nggak stabil lagi kayak dulu. Mulai sekarang boleh nggak kalau Mas minta kamu cerita apa pun tentang apa yang kamu rasain dan jangan menghadapi semua sendirian?"
Aku mengangguk di pelukannya. Lantas kurasakan, dekapan di tubuhku kian erat.
Mas Lucas pas nanya Kirana, kira-kira posisinya begini.
Gimana Kirana nggak salfok?
Sebenernya kemarin aku berencana buat terbitin Just Go secara self publishing. Tapi ternyata keadaan real life belum siap buat revisi semuanya. Jadi aku pending dulu dan nggak tahu bisa lanjutin.
Aku bakalan cetak kok, tapi belum tahu kapan bisa kasih kepastian.
Sabar, ya.
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...