.... Wajah Mas Lucas nampak masih terkejut saat aku membawa Dimas turun dari lift kantor dan berjalan ke arahnya. Sepasang netranya kini beralih pada Dimas yang berada di gendonganku.
Wajah itu seperti tak bisa berbohong, matanya yang berkantung tebal makin terlihat terkejut saat Dimas juga menoleh padanya, kemudian tersenyum begitu aku mengusap pipinya menggunakan ibu jari agar pandangan Dimas teralih pada Mas Lucas.
Mungkin Dimas juga merindukan ayahnya, sama sepertiku yang sejujurnya juga rindu dengan Mas Lucas.
Tenggorokanku seperti tercekat melihat Mas Lucas hanya diam sampai kami berdiri di hadapannya.
"Dimas, ada ayah, Nak," ucapku saat kami berdiri berhadapan. Aku memberikan kode pada Mas Lucas agar ia juga ikut menyapa Dimas.
"Hai, hallo Dimas, anak ayah," ucap Mas Lucas membalas sapaanku. Ia lantas sedikit membungkuk untuk menyamankan tinggi dengan Dimas yang sedang kugendong dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku membawa tas yang berisi perlengkapan Dimas selama di daycare dan juga tas kerjaku.
"Mas mau gendong Dimas?"
Mas Lucas lantas mengangguk kaku, namun tetap merentangkan tangannya untuk membawa Dimas ke pelukannya.
Begitu Dimas sudah beralih ke gendongan Mas Lucas, aku membiarkan mereka melepas rindu lebih dulu. Mas Lucas beberapa kali menciumi wajah Dimas sembari memeluknya erat.
Melihat itu aku lantas menggeser badan dan memilih beralih ke tempat di mana mobil yang dibawa Mas Lucas tadi terparkir. Sesekali mengecek ponsel untuk menunggu balasan pesan dari Pak Rahman karena aku harus ijin pulang lebih awal.
***
Kami sampai di Apartemen lima belas menit kemudian. Ukuran apartemen ini cukup kecil sehingga aku takut Mas Lucas nggak nyaman karena hanya ada ranjang yang tak begitu besar, satu sofa di ruang tamu dan dapur kecil.
Sesampainya di unit, aku membiarkan Mas Lucas teh hangat dan cemilan karena cuaca di sana sedang hujan.
"Dimas di mana kalau kamu kerja?" Tanya Mas Lucas saat aku membawa minuman itu ke sofa pojok ruangan dekat balkon. Ia menggendong Dimas yang entah sejak kapan sudah tertidur.
"Di kantor ada daycare, Mas. Jadi kalau istirahat aku bisa jengguk dan temani dia tidur siang sebentar."
Mas Lucas mengangguk singkat, ia lantas mencium pipi Dimas lagi.
"Aku tidurin dia dulu, Mas minum teh hangat biar enakan perutnya. Apa Mas juga kehilangan napsu makan sampai kurusan begini?"
Mas Lucas hanya tersenyum. Lantas tanpa melepaskan Dimas, ia malah beranjak mendekat ke arahku—— kian dekat.
"Mas nggak hanya kehilangan napsu makan, tapi juga jam tidur," ucapnya setengah berbisik karena jarak kami yang terlalu dekat.
"Maaf ya, Mas. Kirana justru meninggalkan Mas saat Mas lagi dalam keadaan sulit," balasku dengan mendongakkan kepala. Entah kekuatan dari mana, aku mau melihat setiap lekuk wajah Mas Lucas sekarang. Aku ingin membaca setiap kesedihan yang terpancar, agar membuatku sadar jika aku memang sudah amat keterlaluan.
Ia yang memungutku ketika aku kehilangan orang tua, tapi aku yang meninggalkannya saat ia kehilangan orang tuanya.
“Kirana, maaf kalau ini terkesan egois. Tapi untuk semua kehilangan yang mas rasakan belakangan ini, apa kamu nggak bisa tetap tinggal sama aku aja?"
Bibirku mendadak kelu mendengar permintaan Mas Lucas barusan.
"Aku udah nggak tahu lagu gimana cara yang baik buat memohon ke kamu, Na."
Tanpa menunggu lagi, aku merentangkan tangan dan memeluk Mas Lucas dengan air mata yang langsung berderai. Terlebih sentuhan tangan Mas Lucas di punggungku rasanya kian mematik emosi yang tertahan.
Aku masih mencintai Mas Lucas, tapi selama ini kami justru hidup dan sibuk dengan isi kepala masing-masing. Menikahi seseorang yang ia tak cintai membuat diriku merasa selalu kurang di depan Mas Lucas, hingga tanpa sadar itu juga lah yang membuatku membangun benteng tinggi agar aku tak semakin mencintainya.
Tapi aku ternyata salah, sikap anti patiku justru membuat banyak masalah baru, bukan hanya untukku tapi juga keluarga Mas Lucas.
"Maafin aku, Mas. Maaf karena aku egois dan hanya memusatkan dunia dengan apa yang ada di kepalaku. Mas kehilangan Mami dan Papi karena aku—"
Tangisanku tak terasa kian terisak, hingga tanpa sadar membuat Dimas yang berada dalam gendongan Mas Lucas bergerak bangun dan ikut menangis karena kaget.
"Aku marah ke diriku sendiri, marah karena bodoh banget udah bawa kesialan buat orang lain,"
Aku masih terus saja berbicara sembari menangis, mengeluarkan apa yang ada di kepala dengan susah payah.
"Kirana, mas juga salah. Mas nggak bisa memahami keadaan kamu. Mas terlalu banyak ikut campur, kalian jangan nangis," ia memintaku dan Dimas berhenti tapi ia sendiri malah ikut menangis.
Aku tahu rasanya kehilangan, itu bukan hal mudah. Dan dengan bodohnya aku makin membuat Mas Lucas kehilangan dengan cara menjauhkannya dengan Dimas.
"Kita mulai semua dari awal lagi ya, Na? Mas janji akan banyak berubah, apa pun asal kalian jangan tinggalkan aku."
.....
Kalian apa kabar? Iya pasti udah mulai lupa sama alurnya. Part ini cuma sedikit buat flashback tipis-tipis karena aku sedang Hiatus nulis.
Semoga kalian selalu dalam keadaan baik ya. Bahagianya dijaga.
Maaf untuk typo.
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...