Hallo, happy reading, love.
Aku merasa kali ini mas Lucas pulang lebih lama dari biasanya. Entahlah mungkin dia harus mengganti hari liburnya yang kemarin sempat dipakai buat jagain aku, atau memang dia juga mulai menghindariku. Entah lah. Aku hanya merasa jika keadaanku terlalu sulit sekarang. Mau pura-pura biasa saja di depan keluarga mami juga kadang melelahkan terus bersembunyi di balik topeng begini. Terlebih kurasa makin ke sini, mami semakin mengekangku.
Supir di rumah ini sekarang beralih menjadi supir pribadiku karena mami nggak mengijinkan aku keluar tanpa didampingi siapa pun. Seperti sekarang, meski aku sudah bilang mau ketemuan sama Mbak Dinar--seseorang yang lama kukenal, Mami tetap menentukan tempat pertemuannya di resto milik Mbak Hani. Atau Mbak Dinar yang harus ke rumah. Aku tentu juga nggak mungkin berdebat untuk hal sepertu ini dan ya akhirnya aku ngalah.
"Mereka nggak mau kamu kenapa-kenapa kali, Na. Gimana pun juga usia kehamilan kamu kan udah tua. Jadi minimalisir keadaan yang nggak-nggak di luar," ujar Mbak Dinar saat aku bercerita ke dia tentang masalahku di rumah Mami.
"Tapi aku bukan anak-anak, Mbak. Udah ada ponsel juga, aku bisa ke mana aja pakai kendaraan umum, nggak perlu ditungguin gitu," keluhku kesal sembari melihat arah Pak Ari yang sedang duduk di salah satu bangku resto dan menikmati makan siangnya dari Mbak Hani.
"Mereka terlalu ikut campur, ya? sampai urusan anak aja mereka yang rencanain. Padahal yang hamil kamu, yang akan jadi orang tua juga kamu."
"Aku rasa sih sejak tahu aku hamil gini, Mbak. Mami selalu bujukin aku tinggal di sana dan ya gitu, aku punya jam-jam khusus buat lakuin dan apa yang aku makan. Maklum lah, mereka kan pengin banget anakku."
Mbak Dinar menghela napas, kemudian dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi tanpa melepas pandangan dariku. "Ini yang bikin aku males sama komitmen pernikahan. Menikahi keluarga itu bukan hal mudah, apa lagi kalau suami aja masih digerakin sama orang tua. Aku nggak tahu deh Na mau kasih saran gimana, yang jelas perpisahan bukan pilihan yang baik sekarang, seenggaknya kamu mikir gimana kondisi anakmu nanti. Hidup besar tanpa sosok Ayah itu menyedihkan."
"Tapi bertahan makin ke sini bikin aku makin sakit, Mbak. Sayangnya aku juga nggak ada pilihan, sih. Di sana aku cuma numpang, aku nggak mungkin banyak bantah," ujarku pasrah.
"Kamu bisa hubungi Aku kalau misal kondisimu lagi ga baik-baik aja. Misal aku nggak bisa bantu, minimal aku bisa dengar apa yang kamu rasain. Jangan dulu minta pisah, ya. Kasihan anak kamu juga nanti."
Benar, mungkin sekarang anakku yang jadi satu-satunya alasan kenapa aku masih mau di sini. Kupikir hidup di luar dengan cara kerja sendiri harusnya lebih baik dari awal. Seenggaknya aku nggak perlu merasa hutang budi. "Kita bahas tujuan kita ketemu aja deh, Mbak. Aku sebelum magrib udah harus pulang," ujarku mengingat Mami sempat berpesan agar aku pulang sebelum magrib. "Jadi apa yang harus aku kerjain?"
"Sebenernya ini cukup penting. Tapi lihat kondisi kamu sekarang kayaknya ini cukup sulit deh."
"Aku tahu, Mbak. Tapi aku juga butuh kesibukan, biar tetap bisa waras."
Mbak Dinar menatapku geli, "Jadi gini, kemarin kan Mas Rudi udah bilang ya kalau Manggala itu mau diadaptasi jadi film. Dan kamu juga setuju."
Aku ngangguk. "Ini kesempatan dan aku butuh uang, Mbak."
"Nah itu dia, jadi pengerjaan naskahnya juga harus kamu yang kerjain biar nggak keluar dari alur. Tapi bukan hanya itu, kita rencana mau keliling Bioskop pas premier nanti. Tapi lihat kamu sekarang begini kayaknya akan jadi mustahil kamu bisa ikut, soalnya pasar kita Jabodetabek, Bandung, Jogja, surabaya dan Bali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...