Just Go|22

9.3K 1K 62
                                    

Halloooo!! Nggak ada pembelaan apa pun untuk terlambatnya update part ini, selain karena aku masih harus nulis work lain untuk sekuel Jay I Love you. Jadi maaf yaa baru bisa update sekarang.

Dear untuk kamu yang sudah beli novel Abang, silahkan DM ke Instagram @Siirum131 atau kalau nggak punya IG bisa DM ke sini untuk kirim bukti pembelian dan alamat email atau nomor ponsel. Supaya aku bisa kirim sekuelnya Jay I love you ke kamu.

Okay, happy reading and I Miss u, Love....

🌷🌷🌷

"Dia senekat itu, Mbak?"

"Dia itu bermuka dua. Baik dan sopan di depan keluarga Mas Lucas tapi bertingkah seperti ular di depanku. Sama seperti kamu, aku dulu juga enggak pernah mau jujur ke mas Lucas dan Mami atau Mbak Hani. Aku menghargai mereka lebih tepatnya, tapi begitu dia juga mulai berani mengganggu Shasa, aku nggak bisa diam lagi. Aku temui dia dan ajak dia bicara."

Aku kaget bukan main dengar ucapan Mbak Rindu. Dia menceritakan bagaimana sikap Karin selama ini. Pantas saja, dia pernah memperingatkanku supaya nggak dekat-dekat dengan Karin.

"Puncaknya waktu dia tahu kalau Mas Lucas lamar aku pas makan malam sama keluarga. Di sana ada salah satu saudara Karin, mungkin dia tahu dari situ. Dia makin nyebelin karena ajari adiknya buat panggil Shasa anak haram. Itu karena dia udah tahu gimana masalaluku."

Remasan di tanganku kian kuat mendengar Mbak Rindu cerita panjang lebar, cemas di hatiku juga kian bertambah sekarang.

"Mbak tahu dari mana Karin ajarin itu ke adiknya?"

"Waktu itu instingku bicara begitu. Sampai kemudian aku ke TPA, di sana aku ajak Deren sama Shasa makan ice cream bareng. Kamu tahu, Na? Deren aja nggak nggak tahu apa itu anak haram, katanya karena Shasa orang tuanya banyak."

Napasku langsung tertahan. Bagaimana mungkin dia melakukan ini ke anak kecil?

"Dia bahaya, maksudku dia sering bertindak bodoh. Bukan nggak mungkin dia akan ngelakuin ini juga ke kamu, tapi satu hal yang perlu kamu ingat. Mas Lucas itu suamimu, dia nggak akan lakuin hal aneh-aneh, itu yang lebih aku yakini dari pada ulah bodohnya Karin."

Aku mengangguk meski belum sepenuhnya tenang. Tapi Mbak Rindu benar, Mas Lucas suamiku. Dia milikku. Setidaknya aku lebih unggul itu dari pada Karin.

"Mbak, dulu Mas Lucas tahu tentang itu. Maksud ku dia jahatin Mbak, jahatin Shasa itu karena dia suka sama Mas Lucas. Apa Mas Lucas tahu?"

Katupan bibir Mbak Rindu membuatku mendadak jadi cemas lagi. Kedua matanya menatapku sendu, kemudian jarinya mengusap tanganku yang saling bertaut.

"Sama seperti kamu, aku lebih suka memendam segalanya sendirian dulu. Nggak mungkin semua hal aku ceritain. Terlebih ya itu tadi, hubungan keluarganya lumayan dekat. Aku ngomong sama Mas Lucas pas Karin mulai sentuh Shasa, tapi Mas Lucas bukan orang yang sulit diajak diskusi. Dia sempet bicara sama Karin juga waktu itu."

Kemudian hening, aku sekarang justru bingung akan melangkah seperti apa. Sebab kalau dipikir-pikir lagi, aku juga belum dengar ini dari Mas Lucas secara utuh. Kemarin aku justru sibuk menghindar, alih-alih menyelamatkan hatiku sendiri.

"Kirana, kalau kamu tanya apa aku menyerah dengan hubungan kami dulu, itu bukan karena Karin. Dia nggak ada apa-apanya, kamu tentu tahu kalau Mas Lucas adalah pria yang mudah dicintai. Bukan juga sepenuhnya karena kamu, karena meski Mas Lucas sebaik itu, hatiku nggak bisa sepenuhnya milih dia. Aku terbiasa sama Mas Lucas, tapi perasaan itu ternyata beda saat aku sama Ayahnya Shasa."

Mbak Rindu kemudian tersenyum, "Kadang dalam jatuh cinta, seseorang akan sekeras kepala ini. Akalku juga berpikir sehat, sejak hamil Shasa aku udah memutuskan untuk enggak menikah, terlebih itu sama orang seperti Mas Lucas. Aku senang karena akhirnya Mas Lucas dapetnya perempuan seperti kamu, meski usia kalian beda agak jauh tapi aku percaya, dia selalu bisa berperan menjadi semua orang yang kamu inginkan."

Kali ini aku yang tersenyum. Mas Lucas ternyata sebegini hebatnya buat Mbak Rindu. Sayangnya, bagiku Mas Lucas tetap lelaki dingin dan asing. Jangankan menjadi suami, dianggap ada aja aku bersyukur.

"Kamu punya aku, Kirana. Kalau kamu nggak nyaman cerita sama orang lain, kamu bisa hubungi aku kapanpun. Aku nggak akan diam kalau Karin berani sentuh kamu sedikitpun."

Aku ngangguk saja, sebab nyatanya memang tak mudah untuk terbuka dengan orang lain sedari kecil. Aku hanya ingin dapat jawaban dari Mbak Rindu, supaya engga gegabah menyikapi masalah kami setelah ini.

Rasanya perasaanku kian hari kian sensitif. Kalau kalian pernah merasa kebingungan dalam menilai perasaan pasangan, itu yang aku rasakan. Jujur Mas Lucas di mataku belum sehebat Mas Lucas di mata Mbak Rindu. Aku mungkin benar sudah mencintainya dengan segenap perasaan. Tapi, menjadikan dia figur sehebat Mas Bagas apa lagi Ayah tentu belum bisa. Dia bahkan lupa, seseorang yang dia nikahi adalah orang yang pernah dia janjikan mau dia jaga selayaknya adiknya sendiri.

Aku tersenyum, padahal di dalam sana hatiku sedang retak tak karuan.
Begini rasanya mencintai sendirian, begini ternyata rasanya nggak diperjuangkan.

Sampai malam mataku enggan terpejam. Hatiku resah tanpa alasan, terlebih setelah pertengkaran kami waktu itu, kami tak saling memberi kabar.

Pukul satu dini hari, setelah selesai menulis halaman dua puluh tiga di ceritaku, akhirnya aku menutup PCku dengan hati yang kian resah.

Mungkin karena terlalu menghayati kisah Mandala dan Aretta, aku justru ingin menangis sekarang setelah menulis kalimat pisah yang diucapkan oleh Aretta secara kasar.

Manusia dan egonya, adalah sesuatu yang tak terpisahkan. Terlebih keinginan untuk diakui dan diperlakukan selayaknya tuan putri untuk tokoh laki-laki utamanya.

Saat adzan subuh berkumandang, mataku perlahan terbuka pelan. Indera penciumanku seperti merasakan wangi khas seseorang yang sebenarnya aku rindukan.
Tapi tak mungkin dia pulang, biasanya dia akan kembali saat seminggu atau lebih jadwal penerbangan.

Tapi dengkuran halus di atas kepalaku serta beban berat yang ada di pinggangku membuatku sadar jika aku nggak lagi bermimpi.

Kepalaku sedikit mendongak, untuk memastikan jika ini memang nyata. Seseorang yang kini memelukku ini adalah suamiku.

Kesal yang kusimpan dari kemarin seperti langsung hilang. Entah kemana perginya ego tinggi yang kupertahankan sejak kemarin.

"Mas kamu pulang?"









Dear, pernah nggak kamu sadar tentang sesuatu. Sadar kalau ternyata selama ini yang bikin dirimu sendiri lelah adalah karena kamu terlalu fokus pada penilaian orang lain terhadapmu?

Kamu sibuk memenuhi ekspektasi yang sebenarnya itu bukan keinginanmu sendiri.

Takut tidak diterima, takut dihindari, takut nggak bisa memenuhi kepuasan orang lain terhadapmu. Alih-alih begitu, kamu lupa dengan tujuanmu sendiri?

Iya, sadar nggak sih? Kalau begitu kamu kian menyakiti dirimu sendiri. Sebab, aslinya kamu nggak bisa tapi dipaksa bisa hanya karena orang lain juga bisa.

Lupa kalau sesuatu yang dimulai bersama-sama belum tentu memiliki titik akhir yang sama juga. Lagi pula, bahagiamu ya di kendali tanganmu sendiri, jadi kalau bukan kamu yang ciptakan siapa lagi?

*Maaf untuk typo


Love
Rum

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang