Just Go| 42

8.2K 1.7K 203
                                    

Haiii Love, Happy reading ❤️

🌻🌻🌻



"Jadi?"

Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskanya perlahan. Lega karena kini sudah sampai di tempat aman.

"Jadi ya benar apa yang diomongin  sama Karin, Mbak. Sebelum Mas Lucas berangkat beberapa hari yang lalu, aku dengar Mas Lucas ngomong gitu ke Mami. Dia berdalih biar Mami nggak paksa aku tinggal di rumah. Tapi lihat Karin yang bahkan tahu semua  masalah kami, bikin aku sadar kalau semua ucapan Mas Lucas kemarin emang benar," ungkapku jujur.

Tadi aku berhasil narik Mbak Rindu  untuk keluar dari kedai roti agar tak terjadi keributan lebih dari itu. Aku kemudian melangkahkan kaki menuju lobby mall untuk mengajak Mbak Rindu pulang.

Sepanjang jalan yang kulakukan hanya merunduk agar orang lain tak tahu aku sedang menangis. Mau ditahan seperti apa juga sakit, sebagian dari diriku seperti sudah hilang sekarang, Mas Lucas dan Karin berhasil sekali mengambilnya hingga benar-benar tak tersisa.

"Kapan Mas Lucas bilang gitu?"

"Sebelum dia berangkat, Mbak." Aku mengadahkan kepala begitu dadaku mulai sesak, hingga Mbak Rindu kemudian bergerak menarikku ke pelukannya dan mengusap punggungku berkali-kali.

Seperti api yang terpantik, tangisku kian tumpah. Aku sedih dan butuh peluk.

"Kirana, maaf kalau masalalu antara aku dan Mas Lucas nyakitin kamu. Kalau saja waktu bisa terulang dan aku tau malah jadiin perempuan lain seperti ini, mungkin aku akan lebih memilih untuk nggak ikut Mbak Hani ke Jogja delapan tahun yang lalu.
Tapi karena masalalu nggak bisa lagi diubah, maka satu yang harus kamu percayai, Na. Sekarang, bahkan sejak di mana aku mengembalikan cincin Mas Lucas, aku juga sudah turut mengikhlaskan masalalu kami. Bukan cuma aku tapi Mas Lucas juga, dia benar-benar merubah dirinya sejak sama kamu. Kami udah nggak pernah komunikasi lagi selain urusan Shasa, jadi tolong keluarin aku dari bayang-bayang rumah tangga kalian," tutur Mbak Rindu sembari terus mengusap punggungku.

"Aku nggak marah sama Mbak Rindu. Meski mungkin dulu alasan Mas Lucas mau menikahi aku karena Mami dan bujukan Mbak, tapi aku yang salah karena berharap Mas Lucas bisa cinta sama aku seiring berjalannya waktu. Nggak tahunya anak ini juga jadi alat dia buat memenuhi kebahagiaan Mami."

Saat aku kian terisak, Mbak Rindu semakin membuat gerakan mengusap punggungku kian cepat tanpa memberikan jawaban apa pun, tapi jujur itu yang aku butuhkan sekarang. Di kepalaku ini nggak sedang butuh pembelaan dari siapa pun karena apa yang terjadi belakangan ini udah cukup menghancurkanku.

"Aku nggak bisa kasih pembelaan apa-apa tapi satu hal, Kirana. Mas Lucas bukan orang jahat, aku tahu kamu lagi marah banget sekarang. Tapi kalau kamu nggak keberatan, aku bakalan bantu buat selidiki ada apa sama Karin."

Baru setelah itu aku mengurai pelukan kami dan bersandar pada jok mobil dengan perasaan yang sulit kujelaskan.

"Kirana, aku ngerti gimana perasaan kamu. Aku ngerti gimana nggak nyamannya kamu di rumah yang isinya orang asing. Tapi sebagai orang yang pernah hidup di sana juga, rumah Mami adalah rumah yang paling aman. Apa pun alasannya, mami nggak mungkin ada niat buruk sama kamu."

Aku mengusap pipiku yang basah, kemudian kembali menunduk. Entahlah aku merasa marah, kalah, terluka dan yang jelas nggak suka diperlakukan seperti ini. Untung saja Mbak Rindu mau bantuin aku, sesampainya di rumah Mami atau Papi nggak ada di ruang tengah. Hingga aku bebas langsung masuk ke kamar dan Mbak Rindu yang jelasin ke Mami kalau aku butuh istirahat.
Sampa malam harinya, hanya sekali mbak Rindu masuk ke dalam kamar bawain aku makan malam dan banyak mengajakku bicara hal random.

Tapi luka adalah luka. Mau seberapa besar aku memaksanya ringan, kalau hatiku masih ngerasain sakitnya, semua nggak akan mudah. Sebab saat Mbak Rindu keluar dari kamar, aku bergegas masuk dalam kamar mandi dan menyalakan kran air dengan deras. Setidaknya suara gemericik itu bisa menyembunyikan tangisku.

Dadaku sesak begitu melihat wajahku di cermin. Luka itu memang sudah kering, tapi bekas seperti selulitnya nggak pernah hilang. Perlahan, kuraba bekas lukaku, luka ini yang biasa Mas Lucas ciumi ketika kami hendak dan selesai melakukan hubungan suami istri. Sebuah kebiasaan yang kupikir Mas Lucas nggak masalah sama bekas luka ini.

Bibirku tertarik ke atas. Mataku sayu tanpa riasan. Hanya bulu mata lentik yang memang kumiliki sejak kecil.
Wajahku benar-benar polos tanpa riasan apa pun lagi karena sejak hamil aku malas berdandan. Berbanding terbalik dengan Karin yang punya segalanya. Profesinya sebagai pramugari jelas mendukung. Tubuhnya tinggi, rambutnya tergerai lurus dan riasan wajah itu membuatnya terlihat cantik seperti perempuan di luaran sana. Sementara aku?

Ini terlalu pahit, tapi bekas luka menyebalkan ini memang susah sekali sembuh.

Aku benar-benar lelah menangis, tapi aku juga nggak tahu mesti apa supaya perasaanku ringan. Saat seperti ini aku sering kepikiran gimana kalau aku nyusul Bunda, Ayah dan Mas Bagas? Di sana aku nggak akan menumpang dengan orang lain.

Rasanya aku ingin menghancurkan apa pun. Tapi sadar jika ini bukan rumahku. Hingga pasrahku pada akhirnya membuatku terduduk di lantai kamar mandi dengan tangisan kian payah.

Besok biarkan apa pun yang harusnya terjadi akan terjadi. Mungkin cecaran kenapa aku bangun pagi dengan mata bengkak akan ku dapatkan dari Mami. Aku benar-benar nggak peduli lagi sekarang.

***

Nyaris sepanjang malam aku belum bisa tidur. Alat pengukur waktu sudah menunjukan pukul satu pagi, tapi tak juga kutemukan rasa ngantuk.

Mas Lucas berkali-kali coba meneleponku dan mengirimi pesan. Tapi sengaja kuabaikan karena egoku masih terlalu tinggi untuk mendengar cecarannya.

Sampai kemudian suara pesan kembali terdengar masuk. Aku mengetuk  lock screen pada ponsel dan menemukan pesan dari seseorang. Terlalu kaget jujur aja mendapat pesan itu. Sebab satu-satunya orang yang katanya adalah keluargaku, justru nggak pernah hubungi aku sama sekali sejak Ayah dan Bunda dikebumikan.
Tapi lihat apa yang terjadi sekarang! entah angin dari mana yang menggerakkan hati adik ipar Ayah ini, karena begitu aku membuka pesan, dia bertanya di mana keberadaanku sekarang.

Bulik Harni
Kirana, ini Bulik. Kamu sekarang di mana, Nak? Apa nggak mau pulang ke rumah Bulik?

Aku tersenyum sinis, dibandingkan pulang ke sana, lebih baik aku hidup sendiri.

Tanpa membalas pesan beliau, aku mematikan ponsel dan menarik selimutku hingga ujung kepala. Malam ini dan mungkin malam-malam selanjutnya, aku cuma hanya akan ditemani air mata.

Perlahan aku mengusap perut. Merasakan gerakan aktif anakku di dalam sana.
"Nak, bahkan jika nanti kita harus hidup berdua. Mama akan berusaha memberikan kehidupan yang layak. Supaya nggak ada yang meremehkan kita."







Dear my beloved readers. Apa kabar hari ini? Semoga selalu baik dan senang. Tapi jika kamu menemukan hari-hari yang sedikit menyebalkan. Di mana hari itu kamu nggak siap buat menghadapi kesulitan, ingat yaa! Hidup itu nggak akan menempatkan kita pada posisi yang sama terus menerus.

Akan ada saatnya kamu akan keluar dari lubang gelap itu jika kamu berani merangkak naik dan berusaha keluar.

Nggak mudah memang, lebih mudah berkata-kata seperti ini dari pada menghadapi kenyataan. Tapi kalian percaya kan? Tuhan tak akan pernah telat memberikan pertolongan.

Maaf untuk typo



Love
Rum

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang