Happy reading, Love.
Aku berlebihan ya? Atau memang benar, ketika perempuan sudah menyerahkan segalanya pada lelaki, dia akan menuntut balasan. Bukan balasan berupa uang atau lainnya, tapi merasa ingin dicintai, diprioritaskan dan dimengerti.
Itu saja, hal yang bagi orang lain sederhana menjadi sesuatu yang kian sulit kurasakan. Aku harus apa supaya Mas Lucas melihatku?
Aku harus apa supaya dia tahu jika tak suka lihat dia berdekatan dengan Karin?
Menjadi bayang-bayang Mbak Rindu saja sudah mengikiskan kepercayaan diriku. Apa lagi sekarang aku harus bersaing dengan perempuan lain yang justru lebih dekat dengan Mas Lucas?
Aku merasa kalah, padahal tak sedang bersaing. Aku merasa berhak cemburu padahal sudah tahu jika Mas Lucas saja masih belajar perihal mencintaiku.
Dua malam ini rasanya terlalu panjang sejak keberangkatan Mas Lucas. Kepalaku sibuk menduga-duga apa yang terjadi dengannya, sementara cara kami berkomunikasi belum banyak perkembangan. Mas Lucas hanya sesekali memberi kabar tengah berada di mana tapi tak pernah bertanya apa yang kulakukan seharian.
Aku benci ini, ketika aku merasa tengah sendiri dan diam, kepalaku malah berisik menebak sesuatu yang tak jelas. Seperti sekarang, aku tengah menjemput Mbak Dinar di Stasiun Lempuyangan. Di sini lumayan ramai, tapi sepertinya kepalaku lebih ramai memikirkan Mas Lucas.
"Kirana Bagista!"
Aku menoleh kaget mendengar namaku dipanggil. Dari pintu keluar stasiun, seseorang berkemeja lengan panjang yang digulung hingga siku dan bawahan jeans biru itu menghampiriku dengan senyum merekah begitu aku melembai padanya.
"Ya Tuhan, adik kecilku kapan besarnya ini?"
Aku tersenyum, membalas pelukan satu-satunya orang yang sudah kuanggap seperti kakak ku sendiri ini.
"Ini udah gede. Gedean juga Kirana sekarang dari pada Mbak Dinar. Kirana udah berani punya suami," cibirku bermaksud bercanda.
"Nana, kok mulutmu nyebelin sekarang!" jawab Mbak Dinar kesal. "Udah bisa sombong, ya?"
"Mbak Dinar yang mulai, aku cuma ngikutin aja."
"Tapi biasanya kamu nggak pernah bales. Diajarin siapa kamu begini? Lucas ya?"
Aku menggeleng dengan senyum yang lebar, "Mas Lucas itu pendiam, Mbak,“ candaku. "Sebenarnya ini kekesalanku ke Mbak Dinar yang udah aku pendam sejak lama."
"Oh, no! Makin berani kamu sekarang. Bahkan why? Wajahmu jadi kayak buah ceri yang lagi jatuh cinta."
Entah Mbak Dinar hanya bercanda tau dia serius. Tapi kata Sabrina aku memang berbeda belakangan ini. Wajahku seperti lebih cerah dan bahagia.
Mereka tak tahu saja apa yang kurasakan belakangan, seperti kian dipermainkan perasaan sendiri.
"Baru denger ini buah ceri bisa jatuh cinta," aku mencibir karena geli. "Yang ada merona kayak buah ceri."
"Oke, jadi kenapa senyumnya beda gadis muda? Habis ciuman sama Lucas ya?"
Aku melotot tak percaya, rasanya ingin membungkam Mbak Dinar agar tak makin menyebalkan.
"Mukamu kayak salah tingkah, Na. Jangan-jangan benar ya?" Cecar Mbak Dinar lagi. "Tapi mana mungkin kamu tetep bisa hidup setelah dicium Lucas."
"Mbak Dinar, diam!" sungutku mencubit lengannya.
Kami sama-sama tertawa, meninggalkan area stasiun kereta menggunakan motor. Sepanjang jalan kami saling bercerita. Banyak hal yang Mbak Dinar ketahui, bahkan sedari orang tuaku masih ada, aku lebih nyaman bercerita dengan Mbak Dinar. Mungkin karena kesibukan orang tuaku, kehadiran Mbak Dinar seperti sosok kakak perempuan untukku.
"Ini beneran nggak apa-apa aku nginep di rumah kamu, Na?"
"Nggak apa-apa, Mbak. Mas Lucas udah ijinin, Kok. Dari pada Mbak sewa hotel."
Aku mempersilahkan Mbak Dinar masuk ke dalam. Ini kali pertama Mbak Dinar tahu rumah Mas Lucas, dulu saat aku masih punya orang tua, malah kami belum pernah ketemu di rumah. Kami biasanya janjian di luar dan sejauh yang aku ingat baru dua kali kami bertemu secara nyata.
"Hotel di Jogja masih murah, Na. Tapi ya nggak apa-apa aku suka malah kalau kita bisa ngobrol lebih banyak. Ayo, aku tongkrongin kamu nulis sekalian."
Aku mendengus, sudah kuduga Mbak Dinar ke sini salah satu tujuannya mengajakku kerja rodi.
"Mbak bisa istirahat di kamar ini. Udah aku beresin, kok."
Setelah membuka pintu kamar ke dua, aku mempersilahkan Mbak Dinar masuk. Dia meletakkan koper kecil miliknya kemudian duduk di meja belajarku.
"Kamu tidurnya di sini?" Tanya Mbak Dinar sembari melihat sekeliling isi kamar. Sekarang aku malah bingung mau jawab apa. Sebab Mbak Dinar belum tahu kalau aku dan Mas Lucas sudah tidur satu ranjang.
"Jendelanya ini kalau di buka menghadap taman samping rumah. Keren banget ini buat views nulis."
Aku mengangguk setuju, kemudian membantu Mbak Dinar membuka tirai jendela.
"Salah satu spot favorit ku selain di halaman belakang deket mesin cuci. Kalau malam di sana kita bisa lihat bintang," ujarku bercerita.
"Temanya outdoor?"
Aku menggelengkan kepala, hingga membuat Mbak Dinar menatapku dengan alis saling terangkat. Penasaran.
"Di sana indoor, masih menyatu sama bangunan rumah. Tapi atapnya memang transparan jadi kita bisa lihat langit," lanjutku berterus terang. Tapi malah ditanggapi candaan oleh Mbak Dinar.
"Langit jauh buat digapai ya, Na?" Tanya Mbak Dinar.
Aku terkekeh geli mendengar itu, karena wajah Mbak Dinar terlihat dramatis."Tapi lebih jauh Lucas kelihatannya."
Kan, menyebalkan!
Tak bisa menahan gemas, aku menepuk pelan lutut Mbak Dinar yang kini badannya bertumpu pada meja belajarku.
"Mbak, jangan mulai. Aku lagi butuh positif vibes biar bisa lanjutin cerita Manggala. Jangan dipatahin terus hatiku."
Mbak Dinar tak hentinya tertawa, kini kian keras sebab wajahku benar-benar terlihat tak ramah.
“Justru aku komporin biar kamu kesel. Toh ending di perjalanan Manggala dan Aretta itu pisah kan? Penulisnya harus ngerasain patah hati dulu, biar tahu bagaimana perasaan seseorang pas lagi putus."
Mengalami patah hati, barang kali Mbak Dinar benar. Sebab ketika hati tak lagi dalam keadaan baik-baik saja, yang kudapatkan justru sesuatu yang bikin hatiku kian patah.
Yang awalnya resah, kini berubah seperti sumbu minyak bertemu apinya. Hatiku seperti terbakar begitu membuka pesan dari nomor Mas Lucas. Bagai mana tidak, seharian aku menunggu balasannya tapi justru bukan dia yang membalas pesanku.
Marah, kesal dan kecewa.
Bagian ini apa aku masih tak boleh cemburu?
Aku kan istrinya.
*Maaf untuk typo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...