Just Go| 53

8.1K 1.2K 46
                                    

Part ini harusnya udah di-update kemarin, tapi baru selesai hari ini.

Happy reading!

"Apa lagi yang nggak aku tahu?"

"Mas!"

Aku menoleh pada Kirana sebentar sebelum akhirnya mengusap pipi Dimas yang sudah berada di gendonganku. Namanya Abizar Dimas Permana, Kirana memilih nama itu untuk anank kami dan aku setuju saja begitu tahu artinya anak laki-laki berilmu dan berharga. Benar kan? Kirana sangat tahu nama yang baik untuk anak kami lebih dari aku. Dimas adalah sesuatu yang berharga untuk kami, setidaknya aku ingin kami semakin dekat karena kehadiran Dimas. 

"Kan ngelamun! Mas!"

Begitu yang terasa ada tarikan di lenganku, akhirnya  aku menoleh pada Kirana. Terlalu hanyut dalam lamunan membuatku tak sadar bahwa kini Kirana sudah merubah posisinya dengan duduk tegak.

"Perut kamu sakit nanti, tiduran aja," titahku sembari menggeser dudukku lebih ke tepian ranjang agar Kirana bisa rebah. Luka bekas jahitan di perut Kirana belum kering. Dia mengeluh sakit kalau duduk tegak hingga aku memintanya untuk rebah kecuali saat memberikan Asi pada Dimas. 

"Aku nanya loh, Mas. Ngalihin pembicaraan terus," keluhnya cemberut. "Mas!"

Pada akhirnya aku meletakan Dimas di dalam baby box sembari menunggu administrasi selesai, karena mereka sudah  bisa pulang bersama hari ini. "Mau tahu apa? kan kemarin Mas udah cerita," tanyaku saat kembali menyusulnya duduk di brankar. 

"Belum, Mas cuma bilang ke aku kalau benar kamungkinan Pak de sama Pak Lik orang yang berada di belakang masalah ini. Tapi Mas belum cerita semuanya, apa lagi yang Mas ketahui?" ujarnya mencecarku.

"Semua bukti lagi kita kumpulin, Na. Sedikit sulit karena kejadian Bagas udah terlalu lama. Jadi fokus Pengacara kita sekarang ke kecelakaan Ayah sama Bunda kamu, tentang hal-hal lain kita lagi kumpulkan semuanya sembari berjalan."

Dia menatapku dengan guratan wajah kaku, tapi sorot matanya redup menatapku. "Mas bisa berhenti nggak? aku takut mereka jadi jahil sama Mas juga."

Ketika Kirana sudah mulai mencicit, aku akhirnya menariknya dalam pelukan. Terdiam sebentar sembari mengusap bahunya secara perlahan. Kubiarkan Kirana menyender di pundakku sementara tanganku tak berhenti mengusapnya agar tenang.

"Mas nggak akan kenapa-kenapa, sayang. Harus berapa kali Mas bilang ini dari kemarin? Sabar sedikit lagi, ini bukan hanya tentang warisan kamu tapi juga karena kita nggak bisa biarin penjahat yang udah bikin kamu hancur seperti ini masih bisa bebas di hidupnya. Ini terlalu nggak adil buat kamu apa lagi Bagas dan orangtua kamu, kan?" 

"Ya terus gimana kalau mereka jadi ngincer Mas?" ungkap Kirana pada akhirnya.

"Aku akan jaga diri. Kamu bisa bantu Mas dengan jaga diri dan Dimas juga kalau kamu mau. Karena jujur, Mas lebih khawatir sama kalian. Nggak apa-apa kan kalau kamu di rumah Mami dulu sementara waktu sampai urusan kita selesai?"

Aku kemudian memutar badan, menghadap pada Kirana sepenuhnya, laliu menangkup wajahnya menggunakan talapak tanganku, membuat pandangan kami saling sejajar agar aku bisa menatap matanya. "Dengar ya, mas akan baik-baik saja kalau kamu berdoa masalah ini cepet selesai. Mas nggak akan kenapa-kenapa kalau kamu dan Dimas baik-baik saja."

Mata kami saling beradu pandang, aku mencoba meyakinkan padanya jika kali ini semua tidak akan seburuk yang dia pikirkan dan dia cukup percaya dengan itu. Sementara sorot matanya terlihat mencari kejujuranku.

"Nana ngerepotin kamu ya, Mas? aku nggak bisa ngapa-ngapain. Buat jaga anak kita aja nggak bisa, kasih ASI nggak bisa, gimana nanti dia bisa dekat sama aku kalau aku cuma bikin dia sakit aja?"

Ibu jariku berusaha mengusap pipinya yang basah, secapat tetesan itu turun lagi dan lagi. "Kamu udah melakukan semuanya, Kirana. Kamu udah berani ambil keputusan cuti di akhir semester kuliahmu untuk kesehatan Dimas itu keputusan paling berani sebagai seorang Ibu."

"Tapi aku udah nyakitin Dimas, Mas. Dia pasti nggak nyaman di perutku."

Aku lantas menggeleng lalu menariknya dalam pelukan, memberikan rasa nyaman karena memang sejak Kirana sadar, ASInya belum keluar. Segala upaya sudah kami lakukan, termasuk terapi pemijatan dari rumah sakit, tapi semua belum membuahkan hasil. Meski dokter sudah menjelaskan bahwa memang tidak semua Ibu langsung bisa memberikan ASI saat melahirkan tapi Kirana masih terus menyalahkan dirinya. 

"Melahirkan atau nggak, normal atau Caesar, atau bisa kasih ASI paska melahirkan atau belum, itu nggak akan mengurangi kodratmu sebagai perempuan. Jangan sedih, kamu tetap perempuanku dan Ibu untuk anak kita, ya," ucapku menghiburnya agar tenang. 

***

Belakangan ini aku belajar banyak tentang baby blues. Perilaku Kirana sejak keluar dari rumah sakit justru terlihat kian emosional. Apa lagi setelah di rumah, Dimas justru lebih banyak rewelnya. Sebentar-sebentar dia menangis dan susah didiamkan, terlebih tengah malam. Yang membuatku sedih ini terjadi saat aku harus mulai bekerja karena jatah libur dan cutiku habis.

Aku menelpon Jaya berulang kali, hanya untuk cari tahu penanganan untuk ibu yang  sedang mengalami ini. Ternyata susah diatasi terlebih aku yang harusnya  mendampingi Kirana sudah harus bekerja dan tak tentu liburnya.

Napasku tertarik panjang saat dalam layar ponsel Kirana nampak berusaha untuk membuka mata sembari mengayunkan Dimas dalam gendongan. Waktu sudah menunjukan pukul satu malam dan aku sengaja menelponnya karena ingin memastikan apa Dimas tidur? Dan ternyata dia terbangun karena lapar.

"Aku mau ganti susu Dimas pakai susu formula aja, Mas. Nggak enak banget tiap hari Mas Bara harus ke sini cuma buat antar ASI mbak Rindu. Padahal dia sendiri masih harus kerja. Belum lagi aku harus nungguin dulu ASInya."

"Iya udah, mau beli susu formula apa? Minta tolong Mbak Tati aja."

"Belum tahu nanti coba aku lihat beberapa merk di Internet," sahutnya kemudian.

"Senyaman kamu aja gimana. Jangan keluar sendiri yang penting ya?" Pesanku pada Kirana.

"Iya iya, kenapa sih harus diulang terus?" Cecarnya. "Aku bukan anak kecil lagi apa-apa harus dikasih tahu berulang kali."

Napasku tertahan, berusaha tenang meski dari nadanya bicaranya sangat terdengar marah. Setidaknya ini sering kurasakan dan aku mulai harus terbiasa. Selain itu Mbak Hani juga cerita emosi Kirana nampak kurang stabil setelah melahirkan.

"Dimas belum tidur? Besok Mas mau ketemu sama pengacara yang di Jakarta, janjian juga sama Jaya."

"Belum. Kalau libur kenapa nggak pulang aja sih, Mas?"

"Cuma istirahat nunggu terbang lagi, jatah cuti Mas kan udah habis."

Dia tak menyahut lagi. Kemudian berjalan entah ke mana lagi karena tak terlihat dari kamera. Sekitar lima belas menit kemudian dia kembali masih dengan menggendong Dimas yang tengah menangis. Lalu tanpa bicara apa pun dia mematikan panggilan kami.







*Maaf untuk typo


Love
Rum


Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang