Hallo, kangen Mas Lucas dan Nana nggak?
Nggak ada pembela apa pun untuk telatnya update cerita ini selain karena kesibukan real life yang benar-benar padat. Sejujurnya aku hanya nulis kalau pas lagi ada waktu dan ide yang ada di kepala. Selebihnya, aku juga sama seperti kamu yang harus kerja dan yang lainnya. Maaf yaa. 2 part lagi Just Go tamat, sudah siap pisah sama mereka?
Happy reading!
Aku lupa sudah bicara tentang ini atau belum. Jaya itu berprofesi sebagai dokter kandungan. Dia paham tentang emosional Ibu pasca melahirkan sehingga belakangan ini aku banyak masukan darinya untuk menghadapi emosi Kirana pasca melahirkan.
Aku selalu menyempatkan diri untuk menelpon Kirana jika sedang menunggu flight dan menemaninya begadang setiap malam. Hanya saja sikapnya nggak banyak berubah, dia terlihat seperti tak begitu suka kami bicara. Hal ini menjadi sedikit berat karena aku sama sekali nggak memahami apa keinginan Kirana yang sebenarnya, sedangkan emosinya kian labil sehingga itu bikin aku nggak tenang.
"Kalau itu benar-benar ngerubah Kirana, mungkin baiknya kamu bawa dia buat ke psikolog. Soalnya baby blues itu bisa bahaya kalau tanpa dampingan orang yang tepat."
"Apa Kirana ngalamin ini karena aku kurang memahami dia ya, Jay?"
Di hadapanku Jaya hanya diam. Dia menyesap kopi pesanan kami, tapi pandangannya tak lepas menatapku.
"Memperburuk sih mungkin. Tapi aku rasa karena tekanan yang dia alami. Harus melepas mimpinya selesai kuliah, hamil di usia muda belum lagi rasa kehilangan dan takut dari keluarganya belum juga hilang," tuturnya. "Kekhawatiran dia sebagai ibu muda yang belum sepenuhnya siap disertai dengan ketakutan dia nggak bisa kasih yang terbaik buat anak kalian itu juga pengaruh ke kondisi mental istrimu, Cas."
Aku masih diam, selama Jaya bicara, aku hanya berpikir bagaimana caranya tahu hal terbaik apa yang bisa kulakukan buat meringankan Kirana. Kami berada di salah satu Kedai Kopi terkenal di Jakarta, menunggu datangnya pengacara yang akan membantuku mengurus tentang masalah keluarga Kirana. Sembari menunggu, kami berbicara tentang kondisi Kirana yang semakin berubah pasca melahirkan Dimas.
"Aku rasa keputusan dia ganti ASI dari Rindu itu adalah reaksi kekecewaan dia. Rasa nggak percaya diri itu bisa jadi dari sana. Aku nggak begitu paham soal ini ya, karena aku bukan ahlinya. Tapi saranku kalau dia nggak lagi bisa diajak ngomong baik-baik atau kalian mulai memperbaiki komunikasi, dia bakalan terus gini."
"Tapi ajak dia langsung ke psikolog nggak semudah itu, Jay. Dia pasti akan kesinggung," jawabku.
Jaya mengangguk, dia kembali menyesap cangkirnya dan kemudian kembali bicara "Gini aja, kamu kenal temennya yang deket banget sama dia. Kasih dia waktu keluar sama temennya, biarin dia have fun sama temannya keluar. Atau kamu ajak dia keluar, ngomongin hal-hal sederhana. Anak kalian dititip dulu ke Mami atau Mbak Hani, ajak dia ke mana, tempat yang dia suka. Ibu sering sengaja kok ajak Damar dan suruh aku sama Alana keluar sebentar, meski hanya makan. Temenin dia belanja, ke salon. Ya meski Alana nggak suka ke salon, tapi selalu bilang enakan badannya kalau habis dari sana. Kirana sama Alana itu kan kisah hidupnya hampir mirip, dia kehilangan Ibunya, Ayahnya di penjara. Paling sudah ngeyakinin dia kalau dia pantas dapat apa pun yang terbaik dari dunia, aku yakin Kirana juga ngerasa hal yang sama. Gimana pun juga kumpul sama keluarga yang bukan keluarganya itu susah, kan, Cas. Kita yang lebih dekat sama dia harus banyak tuntun dia."
Penuturan Jaya membuatku akhirnya menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Jujur aku lelah, aku lelah memahami perasaan Kirana. Andai saja Kiran mau bicara tentang apa yang membuat dia suka atau hal yang membuat dia nggak suka. Dia terlalu diam dan aku kurang bisa membaca pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...