Just Go|34

9K 1.4K 83
                                    

"Kirana?"

Aku mendengar panggilan itu tapi kepalaku masih terlalu pusing untuk langsung mencerna apa yang terjadi. Begitu perlahan kesadaranku kembali, mataku terpejam lagi karena rasanya menyeramkan begitu aku membuka mata harus menghadapi kenyataan ini.

Aku berharap jika apa yang terjadi padaku bukan kenyataan, tapi mendengar isakan dari Mami menyadarkanku jika aku harus mengalami sakit yang sama seperti yang sudah-sudah.

Sentuhan di bahuku masih enggan kutanggapi. Aku menangis tanpa suara, hanya air mataku yang bicara betapa hancurnya hatiku sekarang.

"Na, kabar terakhir dari Papi, Lucas nggak di pesawat itu. Pilot dan co pilot yang bertugas di sana bukan Lucas. Papi sekarang lagi di Bandara buat mastiin, jadi tenang ya, pikirin kandungan kamu juga." Barusan seperti suara Mbak Hani.

Aku tak tahu mau menjawab seperti apa karena nyatanya menghilangkan ketakutan nggak semudah itu. Bayangan decitan mobil, teriakan Ayah dan Bunda masih terngiang jelas di kepalaku. Atau, ketika aku nggak diperkenankan melihat jenazah Kak Bagas terakhir kali karena kondisi tubuhnya sudah rusak terutama bagian kepalanya dulu.

Aku takut sekali, takut mengalami kehilangan seperti yang sudah-sudah. Bagaimana pun juga aku adalah manusia biasa, ketika Tuhan mengambil satu persatu orang yang kusayangi dengan cara yang sama, tak semudah itu aku mencerna semuanya dengan bijaksana.

"Mami udah nggak usah nangis lagi, kita tunggu kabar dari Papi gimana."

Aku perlahan membuka mata, mengusap pipiku meski rasanya percuma karena air mataku terus mengalir. "Mbak, aku mau nyusulin Papi ke Bandara, ya."

"Mami ikut," sahut Mami yang ternyata duduk di sofa ujung kakiku.

"Mi, tadi kan Papi udah pesan kita tunggu di rumah," cegah Mbak Hani.

"Mami nggak bisa tenang, Han. Adikmu itu dari dulu kalau disuruh gantiin temannya selalu aja nurut. Mami kan udah bilang, kalau jatahnya pulang ya pulang. Nggak enak-nggak enak terus kalau dikasih tahu orang tua!" Sahut Mami terdengar kesal.

Aku kemudian beranjak turun dari sofa dan mencari di mana ponselku. Setelah gagal menghubungi Mas Lucas tadi, aku langsung lemas dan nggak ingat lagi apa yang terjadi.

"Ya udah, kita tunggu Bara sama Rindu, dia udah perjalanan ke sini. Pak Ari kan nganter Papi," putus Mbak Hani pada akhirnya mangalah.

Setelah menemukan ponsel, aku kembali membuka pesan terakhir Mas Lucas di gawai. Pesan yang tadi kukirim terakhir masih belum juga terbaca, hanya centang satu dan itu bikin aku frustasi diliputi rasa takut.

Aku benar-benar menyesal perihal ini, tak menyimpan salah satu nomor teman kerja Mas Lucas ternyata cukup buruk. Aku jadi nggak tahu meski menghubungi ke mana selain Karin.

Tanganku bergerak gemetar, menimbang haruskah aku tanya ke Karin tentang Mas Lucas.

Kemudian setelah bertarung dengan isi kepala, egoku akhirnya runtuh juga. Aku memberanikan diri untuk menelponnya meski rasanya sedikit takut.

"Hallo?"

"Assalamualaikum, Mbak. Ini Kirana."
Aku sendiri sampai kaget dengar suaraku yang seperti tercekik. Padahal sepertinya aku udah berusaha menormalkan suaraku.

"Ada apa?"

"Mbak, maaf aku mau tanya. Barang kali Mbak tahu Mas Lucas sekarang penerbangan ke mana nggak? Tadi-"

"Kok kamu aneh, kamu kan istrinya, masa tanya ke aku sih?" Ketus Karin memotong ucapanku.

Mendengar suaranya yang sinis membuatku seketika menelan ludah. "Maaf Mbak, soalnya terakhir dia bilang naik pesawat yang sekarang kabarnya hilang contacts. Aku hubungi dia nggak bisa, jadi-"

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang