Hai, aku datang lagi. Untuk yang baru nemuin lapak ini dan tanya endingnya gimana? Kalau saat kamu baca ini tapi nggak Nemu endingnya, berarti beberapa part sebelum ending, part ending, dan epiloge sudah diunpublish ya.
Sejujurnya aku nggak akan kasih extra part tapi karena dari kemarin aku diteror minta extra part, aku nulis sedikit ya.
Karena aku kangen banget sama kalian, boleh nggak aku minta komen yang seru di part ini?
Happy reading 💌
Menjalani kehidupan baru sebagai karyawan di salah satu studio foto sedikit bisa mengalihkan pikiran-pikiran negatif ku belakangan ini. Nyaris satu bulan ini aku membagi waktu antara pekerjaan dan mengasuh Dimas. Selama jam kerja aku menitipkan Dimas di daycare yang berada di lantai dasar gedung tempatku kerja, tapi ketika jam istirahat atau saat kerjaan senggang, aku sempatkan untuk mengunjunginya ke bawah.
Benar kata psikolog yang mendampingiku, ketika kita memiliki aktifitas padat, pikiran-pikiran negatif itu akan hilang secara perlahan. Meski masih memiliki kesulitan pulih dari luka batin yang aku alami, tapi emosiku sudah mulai stabil. Terlebih Dimas sekarang sedang lucu-lucunya, dia banyak mengoceh dan itu sangat menghiburku.
Di Jakarta aku bekerja sebagai customor service, selain itu juga merangkap untuk mengatur jadwal photo shoot para tim photographer.
Setidaknya ada enam tim kameramen di sini dan masing-masing profesional pada bagiannya.
Seperti tim foto catalog, foto wedding, bahkan ada tim yang bekerja sama dengan salah satu majalah fashion dunia. Hal baru ini yang kupelajari meski harus keluar dari jalur hobiku sendiri sebagai seorang penulis. Bersyukur rekan kerja di sini baik dan pengertian, kadang kalau mereka ada waktu luang di kantor aku malah di suruh ke bawah buat nengokin Dimas.Seperti photographer perempuan satu ini, di awal aku masuk ke kantor ini, kupikir dia perempuan yang galak, tapi ternyata dia luar biasa baik dan tidak pelit ilmu buat ngajarin aku kerja sebagai fresh graduate, padahal jobdesk kita beda.
Namanya Mbak Alana, dunia terlalu sempit barang kali karena di sini aku justru satu tempat kerja dengan istri sahabat Mas Lucas—Mas Jaya. Mbak Alana benar-benar baik dan sama sekali tak canggung menceritakan hal-hal tentang Mas Jaya dan Damar—putra mereka. Entah itu caranya memancing agar aku berbicara tentang Mas Lucas juga, atau memang Mbak Alana tipe orang yang terbuka, aku belum begitu paham.
Bicara tentang Mas Lucas sepertinya dia masih sangat marah. Terakhir kali dia antar aku ke Bandara satu bulan yang lalu saat kami bertemu tanpa sengaja di makam keluargaku, tapi setelah itu dia tidak lagi ada kabar apa pun. Dia sama sekali tidak pernah menghubungiku, sementara aku terlalu takut buat mulai menghubunginya lebih dulu.
"Udah, tengokin Dimas aja sebentar. Nanti kalau ada yang telepon aku yang angkat," suara Mbak Alana membuatku terhentak kaget. Aku lantas mengangkat kepala dan tersenyum melihat siapa yang datang ke mejaku sembari membawa piring berisi makanan tersebut.
"Mau setoran ASI kan? ASI kamu udah lancar sekarang, Na?"
"Udah, Mbak. Dua Minggu ini aku bener-bener lepas susu formula karena ASIku udah lancar," jawabku kemudian menarik kursi di sampingku agar Mbak Alana duduk.
"Ya udah ke bawah dulu aja, biar aku jagain bangkunya sebentar," titah Mbak Al padaku.
Aku ngangguk dengan senyuman kecil pada Mbak Alana, kemudian mengambil ponsel dan stock ASI yang aku simpan di tas. "Nanti kalau ada yang penting, minta tolong telepon aku, ya, Mbak. Aku sebentar aja nengokin Dimasnya. Ngasih stock ASI ini aja, takut habis di sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...