Just Go| 5

11.5K 1.1K 57
                                    

Pagi harinya, aku bangun lebih dulu. Selesai melakukan salat subuh, aku membuat sarapan, bersih-bersih rumah dan mencuci baju sebelum berangkat kuliah. Aku kuliah mengambil jurusan managemen bisnis, ini benar-benar di luar kemauanku karena kupikir dengan pendidikan managemen akan lebih mudah mencari pekerjaan nantinya dan tak lagi merepotkan Mas Lucas.

Yang paling menyedihkan dari kehidupanku adalah setelah kehilangan orang tua, seluruh aset pabrik kain milik Ayah dipindah alih menjadi milik Pak De, kakak laki-laki Ayah. Aku yang tak tahu menahu perihal pabrik dan usaha keluarga juga tak bisa berbuat banyak, meski hatiku masih berkata jika kecelakaan yang kami alami dulu erat kaitannya dengan ini. Aku sendiri yang meminta proses penyelidikan dihentikan, sebab tanpa di ketahui siapapun, aku sering mendapat teror ancaman pembunuhan dan membawa nama Mami juga.

Hal ini yang akhirnya membuatku tak punya pilihan selain hidup menumpang pada Mas Lucas termasuk biaya kuliah. Secara materi aku sangat dicukupi, uang bulanan dan biaya tiap semesterku dibayar oleh Mas Lucas, hanya kebutuhan dadakan setiap hari untuk penunjang tugas kuliah yang kubayar menggunakan uangku sendiri dari hasil menulis dan menjual karya komikku. Kemudian sebagian lainnya kutabung karena Mas Lucas pasti akan tanya kalau aku tak menggunakan uangnya untuk biaya kuliah.

"Kalau sudah selesai nyucinya biar aku yang jemur, kamu kuliah jam berapa?"

Aku terjengit kaget mendengar suara dari belakang. Begitu menoleh, Mas Lucas sudah berdiri di ujung pintu halaman belakang yang didesain sebagai tempat mencuci baju sekaligus tempat menjemur. Wajahnya terlihat segar seperti habis mandi, dia juga sudah ganti pakaiannya dengan setelan kaos hitam dan celana pendek rumahan.

"Jam setengah sepuluh, masih lama kok, Mas. Biar sekalian aja."

"Siap-siap sana," titah Mas Lucas. Begitu pandangannya teralih ke kakiku, hingga aku refleks turut menunduk. "Udah nggak sakit, makanya perbannya Nana lepas."

Mas Lucas masih diam di depan pintu. Pandangannya tak teralih dariku yang masih memindahkan baju yang siap jemur dari mesin cuci.

"Nana udah bikinkan kopi di meja dapur" U”ucapku tanpa berani melihat Mas Lucas. "Ada kue yang semalem dibawa dari rumah mami juga."

Begitu yang kudengar hanyalah hembusan napas keras dari Mas Lucas, aku akhirnya mengangkat kepala dan ternyata dia sudah beranjak dari tempatnya berdiri tadi.

Sampai punggung Mas Lucas tak lagi terlihat, aku akhirnya turut menghela napas keras.

Kenapa kalau Mas Lucas di rumah aku justru nggak merasa nyaman?

***

Jarak antara kampus dan rumah tidak begitu jauh. Kalau berangkat menggunakan motor biasanya tak sampai tiga puluh menit.
Pukul sembilan pagi aku sudah selesai siap-siap. Kakiku sebenarnya masih lumayan perih tapi sebisa mungkin aku berjalan normal di depan Mas Lucas. Sebab, rasanya aku terlalu banyak merepotkan.

Saat keluar dari kamar, aku mendengar suara seseorang tengah mengobrol di ruang depan. Suaranya tawanya sepertinya aku sangat kenal, tapi apa mungkin dia ke sini tanpa kabar lebih dulu?

"Oallah, Mas pilot? Keren dong kerjanya jalan-jalan terus."

Aku meremas kunci motorku begitu suaranya terdengar jelas. Untuk membuktikan firasatku benar, aku kemudian menyeret kakiku kian cepat ke ruang tamu.

Benar saja di sana ada Dhito, salah satu teman sekelasku di kampus. Dia sedang ngobrol dengan Mas Lucas, bahkan di depannya sudah tersaji banyak kue dan kopi juga. Artinya, sejak tadi dia di sini.

"Dhito, kok di sini?" tanyaku langsung. "Ada apa?"

Dhito langsung berdiri begitu sadar dengan kehadiranku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dhito langsung berdiri begitu sadar dengan kehadiranku. Tapi yang membuatku khawatir, Mas Lucas hanya diam sembari melihatku dan Dhito secara bergantian.

"Mau ngajak kamu bareng berangkat kuliahnya, Na. Udah ijin juga sama Mas mu kok. Ya kan, Mas?"

Aku langsung menoleh ke Mas Lucas yang kini malah ikut ngangguk. Pernikahanku dan Mas Lucas memang menjadi rahasiaku di kampus. Kecuali sahabat dekatku, Sabrina. Dia tahu sejak kami masih mendaftar kuliah pertama kali, karena waktu itu aku diantar Mas Lucas dan kami dalam rencana pernikahan. Sedang di rumah ini tak ada satupun foto pernikahan kami, kecuali di kamarku.

"Tapi kita kan nggak janjian, Dhit. Aku juga bawa motor" tolakku secara halus. Bagaimanapun keadaan rumah tanggaku, aku tak mau sembarangan keluar dengan laki-laki lain.

"Nanti pulang e tak anter, wis."

Aku menahan napas. Bingung sekarang mesti gimana karena Mas Lucas malah sekarang nampak santai bermain ponsel.

"Yuk, Na! Keburu kita telat kelasnya Pak Kumis loh ini."

Aku masih diam tak merespon. Sampai Mas Lucas tiba-tiba bersuara. "Udah sana bareng aja, kasihan dia udah jauh ke sini. Sayang bensinnya kebuang."

Wajah Dhito tiba-tiba berubah sumringah, "Tuh, kan. Masmu baik loh, Na. Katanya boleh, nanti tak jajanin juga kok."

Aku menggeleng tak percaya karena melihat Mas Lucas makin terlihat tak berpengaruh.

Ah iya, memang aku mengharap apa? Mas Lucas akan cemburu begitu? Tentu tidak.

"Kamu pakai motor, Dhit?" tanyaku begitu sadar kendaraan yang biasa dibawa Dhito ke kampus. Anggukan Dhito jelas membuatku kian merasa ingin menolak ajakannya. "Iya, emang kenapa? nggak mau to?"

Bukan nggak mau, tapi apa pantas aku berboncengan dengan laki-laki yang bukan suamiku?

Mas Lucas bergerak bangun, ponsel yang tadi dalam genggamannya kini dia simpan ke dalam saku celana.

"Berangkat keburu telat!" ucapnya melewatiku begitu saja. Melihat Mas Lucas berjalan ke arah dapur, aku akhirnya mencoba menyusulnya untuk berbicara sebentar.

"Mas?" Tangannya yang tengah membuka kulkas kini berhenti. Meski tak menoleh, dia terlihat menungguku menyelesaikan kalimatku.

"Dhito itu teman satu falkutasku, dia dua kali ke sini sama Sabrina buat ngerjain tugas. Jadi__"

"Aku udah tahu, dia tadi cerita," ucapnya memotong ucapanku. "Lagipula aku juga nggak akan tanya kalian ada hubungan apa."

Aku menelan ludah susah payah mendengar ucapannya. Meski pelan tapi sedikit mengusik egoku. "Nana tahu Mas nggak akan peduli. Hanya aja, Nana nggak enak kalau mesti keluar dengan laki-laki lain."

Baru ketika aku bicara begitu, dia akhirnya memutar badan dan menatapku lekat. "Apa itu artinya kamu berharap aku yang antar kuliah?"

Aku menggeleng cepat dengan bibir terkatup rapat. "Mas kan capek, lebih baik istirahat."

"Ya, dan aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu khawatirkan."

Bibirku refleks tertarik lurus, kemudian mencoba sekuat tenaga kutarik agar membentuk senyum padahal hatiku rasanya sakit tak karuan.

"I..iya," ucapku terbata. Aku kemudian menghampirinya untuk berpamitan. "Nana, berangkat," lanjutku setelah mencium punggung tangannya dengan sekuat tenaga menekan rasa sakit di hati. "Assalamualaikum."

Pelan, aku mendengarnya membalas salam berbarengan dengan setetes air mata yang lolos dari pelupuk mataku.

Mencintai sendirian itu sakit ya?

Mas Lucas

Mas Lucas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Love
Rum

Just Go [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang