Gais, aku tahu ini pendek dan maaf ya. Besok aku update lagi tanpa minta syarat apa pun kok. Ini buat absen malam Minggu aja ya.
Happy reading
Semakin hari kondisi Kirana mulai stabil. Pukul sebelas malam perawat mengabarkan Kirana sudah sadar namun masih harus diperiksa lagi untuk memastikan jika kondisinya benar-benar stabil.
Tapi tidak masalah, tak ada yang lebih melegakan dari kabar itu sekarang. Terlebih kondisi anakku mulai membaik jika beberapa hari ini. Tapi meski pun begitu Kirana tak langsung bisa dikunjungi, baru nyaris jam sembilan pagi saat sudah dipindah ke ruang rawat, aku boleh menemuinya.
Pandangan kami pertama bertemu saat aku membuka ruang rawat inap dan dia langsung menoleh ke arahku. Ibaratnya rasa rindu yang kutahan beberapa hari ini seperti terbayar dengan dia yang sudah membuka mata seperti saat ini.
Aku menarik kursi untuk duduk tepat di samping brankar tempatnya berbaring sekarang, memberikan Kirana senyum begitu dia juga tersenyum tipis ke arahku saat aku sudah duduk di sampingnya. Entah kenapa melihat dia sekarang, aku malah canggung. Ada banyak hal yang ingin kusampaikan padanya tapi bingung mau mulai dari mana.
"Ada yang sakit?" Suaraku terdengar gemetar, padahal aku sudah berusaha untuk tenang. "Bekas operasinya?" tanyaku lagi karena dia hanya menggelengkan kepala.
"Sedikit tadi, tapi udah disuntik pereda rasa sakitnya sama suster."
Aku mengangguk, nggak bisa konsentrasi sama sekali melihat Kirana. Dia cantik dan aku pengin peluk dia sebenarnya agar cemas yang ada di hatiku berkurang sedikit. Tapi takut buat minta itu sekarang.
"Mas aku lama ya nggak sadarnya? Anak kita gimana? Aku gagal banget jadi Ibu ya, Mas?" tanyanya beruntun dengan sorot mata cemas. Tak tahan melihat Kirana seperti ini, aku lantas mengenggam tangannya erat sekali agar dia tenang.
"Sayang tenang, anak kita nggak apa-apa. Memang harus di inkubator dulu sekarang tapi keadaannya baik-baik aja. Dia laki-laki dan sehat."
Raut tegang pada wajah Kirana perlahan mengendur meski matanya bergerak gelisah menatapku, seakan mencari kebohongan dari ucapanku barusan.
"Dia lahir sebelum waktunya, pasti ada salah satu fungsi organ tubuhnya yang belum kuat. Aku gagal ya, Mas. Maafin aku."Perlahan isakan Kirana semakin kuat. Wajahnya yang tadi menghadap padaku, kini mencoba menghindar dengan memalingkan wajahnya ke sisi kiri badannya. Tapi melihat bahunya yang bergetar, aku jelas sadar dia sedang menangis terisak.
Sejujurnya aku tak pernah menyangka ini akan terjadi pada kami. Ketidak siapan Kirana menghadapi apa yang sedang terjadi pada kita adalah ujian besar dalam rumah tangga kami. Bukan hanya itu, aku juga salah karena selama ini nggak bisa jujur ke Kirana agar dia tak salah paham.
"Na, dengarin Mas dulu." Aku menurunkan badan, condong padanya agar dia mau mendengarkan sekarang. "Nggak ada yang mau seperti ini. Kamu jatuh itu musibah, kita nggak mau seperti ini, tapi harus kita hadapi. Yang penting sekarang anak kita udah sehat, kalau masih harus di inkubator itu biar pertumbuhannya bagus sebelum dibawa pulang, Kirana," ujarku mencoba menjelaskan secara pelan.
Tapi Kirana makin terisak, badannya kian bergetar hingga membuatku bangkit dan bergerak merangkul badannya. "Sayang, kamu nggak salah. Yang terpenting kalian sekarang nggak apa-apa. Anak kita sudah sehat, kamu berhasil melahirkan dia dengan baik dan makasih untuk itu. Semua ini nggak akan mengurangi kehebatanmu sebagai perempuan dan istriku."
"Baik apanya? Anakku lahir belum waktunya. Jaga diri sendiri aja aku nggak bisa, pantas Mami nggak pernah percaya aku," keluhannya dengan suara kecil sembari terisak.
Aku merunduk, menjatuhkan dahi kami karena aku ingin dia diam dan tidak lagi membuat prasangka sendiri. Aku baru akan mulai memperbaiki semuanya dan kupikir Kirana akan berubah sedikit lunak, tapi malah justru dia makin keras bergeming menghindariku.
"Mami nggak pernah raguin kamu bisa jaga diri sendiri. Semua ini musibah, Na. Tapi itu nggak penting lagi, yang penting sekarang kamu udah di sini lagi. Mas takut, mas takut kehilangan kamu. Maaf—" aku menarik napas panjang saat setetes air mataku seperti tak bisa kutahan sekarang. "Mas belum bisa bikin kamu bahagia, maafin Mas, ya."
Dalam jarak sedekat ini terdengar sekali Kirana semakin terisak. Sepertinya ada perasaan yang Kirana tahan dan seperti pecah sekarang. Bukan— itu bukan hanya pecah untuk Kirana tapi juga aku. Sebab Kirana justru mengatakan kalimat yang tak ingin ku dengar sama sekali setelah itu.
"Mas udah cukup banyak bikin Kirana senang. Mas susah terlalu banyak melakukan segalanya buat jagain aku kan? Mas kenapa nggak bilang kalau keluarga Pak de sama Pak Lik ku udah ancam keluarga Mas, kenapa?" tanyanya dengan suara tinggi disertai dengan tangisan.
Kujauhkan wajahku dari jangkauan tubuh Kirana karena kaget mendengar dia tahu tentang ini.
"Kenapa? Kenapa nggak bilang dari awal kalau selama ini Mas tahu tentang motif pembunuhan Mas Bagas dan orang tuaku? Kenapa Mas sembunyikan ini?"Saat tangannya kuat mencengkram pakaian depanku, aku berusaha tak melawannya. Air mata Kirana seketika membuatku diam tak bisa bicara apa pun. Sebab reaksi dia ternyata semarah ini ketika tahu.
"Mas berhenti aku mohon," pintanya kian memelas. "Mas berhenti karena aku nggak mau terjadi apa-apa sama orang lain lagi karena kesialan aku. Tolong, Kirana mohon berhenti karena aku nggak mau kehilangan seseorang yang aku sayang lagi, Mas."
Tepat saat itu Kirana melepas cengkraman tangannya pada bagian depan badanku kemudian menangis keras tanpa bisa kuhentikan.
Kamu tidak akan kehilangan siapa pun lagi, Kirana. Mas janji.
*Maaf untuk tipo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...