Aku udah lama engga minta emoticon love, mau ngasih nggak?
....
"Mas kemarin jalan sama Mbak Karin?"
“Iya," jawab Mas Lucas. Kemudian aku mendengar seperti suara pintu tertutup. "Kok kamu tahu?"
"Mbak Karin yang bilang."
"Karin?" Suara Mas Lucas terdengar lirih, "Dia tahu nomor kamu dari mana?"
Napasku terhela keras. Tanpa sadar aku hanya diam beberapa detik dengan hati bergemuruh__ kesal.
Kalau orang terdekat Mas Lucas bisa tahu nomer ponselku, artinya jelas kan kalau itu dari Mas Lucas.Entah dia mengambil tanpa ijin atau Mas Lucas yang memang memberinya.
"Mungkin dia sering pegang ponsel Mas," jawabku mencoba tenang. Sayangnya semua tak semudah keinginanku. Keingintahuanku tentang siapa Mbak Karin dan kenapa dia menganggap lebih tahu Mas Lucas, berteriak ingin dikeluarkan.
"Enggak kok. Kemarin keluar sebentar, tapi ramai-ramai."
"Karena Mas suntuk?"
Lama Mas Lucas tak menjawab. Sayangnya, egoku masih tinggi untuk mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
"Yang ngajak Ricko, Mas ikut aja. Karin ngomong apa memangnya?"
Ditanya begini, aku kemudian memilih diam sembari berpikir, apa kali ini saatnya aku jujur dan mengakui semuanya?
Lalu bagaimana jika nanti jawabannya nggak bikin aku tenang malah kian was-was?
"Kirana?"
"Iya, Mas?"
"Karin nggak ngomong yang aneh-aneh kan?"
Sekarang saat aku mendengar nada bicara Mas Lucas yang terdengar penasaran, aku memilih mengulas senyum. Meski tahu Mas Lucas tak melihatnya. Sebab senyum yang ini, bukan senyum karena hatiku senang.
Justru sebaliknya.
"Nggak tahu aneh apa enggak. Sesuatu yang menurutku aneh belum tentu buat Mas sama kan? jadi aku males juga inget-inget apa yang Karin katakan."
"Kamu ngomong apa sih? Mas kan cuma tanya dia bilang apa."
Aku kemudian mengirim pesan Karin kemarin sore. Supaya Mas Lucas tahu aku nggak menambahi atau mengurangi apa yang Karin katakan.
"Aku udah kirim pesan dia. Mas bisa lihat sendiri apa yang dia katakan. Menurutku dia nggak pantas ngomong gitu sama istri temannya. Tapi aku nggak tahu kalau mungkin buat Mas Lucas ini biasa aja."
Cukup lama aku menunggu jawaban Mas Lucas, entah karena dia masih belum selesai membaca atau kaget melihat bagaimana ucapan Karin padaku.
"Aku ngerasa Mbak Karin semakin aneh belakangan ini. Dari sering ke sini sampai berani pinjam ponsel dan buka pesan pribadi Mas. Atau, aku terlalu kaku ya, Mas? Soalnya aku nggak pernah punya temen laki-laki sampai berani buka ponselku. Bahkan pinjam pun enggak."
"Mas sama Karin berteman sudah lama, Kirana. Kita sudah dewasa buat ributin masalah kayak gini. Lagi pula bukankah hubungan itu harus didasari kepercayaan?"
Aku tersenyum. Sebab merasa Mas Lucas seperti menembak dua busur panah sekaligus ke hatiku.
"Sekarang aku tahu, nggak ada yang salah dari ucapan Mbak Karin."
"Maksudnya?"
"Benar aku nggak dewasa. Sama seperti ucapan Mbak Karin dan Mas barusan. Jadi pantas kalau Mas lebih nyaman cerita sama orang lain, maksudku Mbak Karin, dari pada sama Kirana."
Entah keberanian dari mana aku bisa mengatakan kalimat ini pada Mas Lucas. Padahal sebelumnya aku nggak mau bahas hal-hal seperti ini karena takut jika segala respon Mas Lucas masih seperti bertepuk di aku saja.
Aku menahan diri karena kebiasaan menyimpan apa-apa sendirian tentang Mas Lucas. Tapi kali ini egoku kian tersentil tiap membaca ulang pesan Mbak Karin.
"Na, tadi kita nggak bahas masalah beginian loh. Lagi pula aku cerita apa sama Karin? Dia orang lain, Na. Terserah kamu percaya atau enggak."
Iya, nyatanya berbicara perihal kepercayaan itu bukan sesuatu yang mudah. Lebih sulit karena mungkin bagi Mas Lucas perasaannya padaku belum terlalu kuat. Sehingga hal-hal sesentimentil ini dia belum peka. Tapi gimana sama aku?
Aku takut ada perempuan lain yang jauh bisa membuat Mas Lucas nyaman dan perempuan itu bukan aku.
"Iya sudah. Mas istirahat, Kirana minta maaf ya kalau belum bisa jadi istri yang baik, yang bisa menjadi tempat nyaman buat pulang. Maaf kalau ucapanku yang tadi bikin Mas tersinggung.
"Kirana?"
Mas Lucas sepertinya masih enggan mengakhiri telepon kami. Tapi takut kalau egoku makin memuncak dan bicara di luar kendali, aku kemudian memilih untuk mencari alasan lain.
"Kirana capek banget, Mas. Besok juga mesti bangun pagi buat antar Mbak Dinar ke stasiun."
"Na? Bicara sebentar, ya?" Bujuk mas Lucas tak kunjung menyerah.
"Kirana capek, Mas. Kali ini aja, kasih aku waktu buat tenang sebentar. Aku butuh belajar lebih dewasa, sama seperti apa yang Mas impikan."
"Mas terima kamu apa adanya, Na."
Hatiku yang memang sudah bebal, justru isi kepalaku malah kian berat memikirkan banyak hal sekarang.
Apa adanya yang seperti apa maksudnya? Bukankah Mas Lucas menikahiku hanya untuk kesenangan Mami dan permintaan Mbak Rindu?
*Maaf untuk typo
Love
Rum
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Go [selesai]
General FictionNote: Beberapa part sudah diunpublish. TRIGGER STORIES!! "Tidak apa-apa, kamu baik-baik saja." Kalimat itu seperti nyanyian merdu tiap kali dunia menjatuhkan Kirana pada rasa kehilangan. Umurnya masih lima tahun waktu itu. Gadis kecil dengan bando m...