• 0.31

1.5K 114 9
                                    

Disinilah mereka semua berada saat ini, bersama temannya.

Ruang bawah tanah.

Mereka bahkan sudah berkeringat dingin, tapi tidak untuk Veux. Ia masih memeluk Faux dengan erat.

Kepalanya berdenyut nyeri, ditambah pernapasannya yang juga sudah mulai berat, tangannya meremas kaos bagian belakang Faux.

"Akkhhh, sshhhhh... S-sakit kak.. eugghh"

Mereka yang sebelumnya mengintrogasi teman Veux kini beralih ke Veux yang merintih kesakitan.

Faux sampai kalang kabut melihat adiknya yang begitu lemas, bahkan Veux seperti bertekuk lutut di depannya.

"Boy, kamu kenapa?"

Mereka panik sendiri, bahkan Jeux berlari ke arah telepon rumah untuk menelfon Arnold.

Peux yang sudah dilanda kepanikan pun menarik tangan kiri Veux dan membawanya ke gendongannya, menuju rumah sakit.

+.+.+

Sudah lebih dari dua jam Veux di periksa di dalam ruangan yang penuh dengan bau obat yang menyengat bersama Arnold.

Ceklek

Mereka langsung berdiri mendengar suara gagang pintu yang di tarik ke bawah.

"Bagaimana keadaan Veux?" Tanya Peux

Arnold terlihat ketar-ketir saat melihat reaksi keluarga Veux yang sudah khawatir, di tambah juga kabar yang harus ia sampaikan ini.

"Paru-parunya bermasalah tuan"

Deg!

"Apa maksudmu!?"

Arnold mengangguk, "Saya tidak berbohong tuan, memang paru-paru tuan muda bermasalah. Di bagian bekas tembakan peluru kemarin menimbulkan lubang di sana, dan kemungkinan itu merupakan Penyebabnya" jelas Arnold

Hening

Mereka nampak terkejut dengan apa yang terjadi, di saat mereka sudah menemukan Veux kembali, itu bukan membuat keadaan baik, namun sebaliknya.

"Maaf tuan, untuk sementara waktu, lebih baik rawat inap"

Ceux memijit pelipisnya, "tapi Veux tidak suka di rumah sakit"

Arnold baru mengingat hal itu, dan apa yang harus ia lakukan sekarang ini?

"Untuk beberapa hari saja tuan, kalian harus bisa membujuknya"

Mereka menimbang-nimbang ucapan Arnold, lalu mengangguk setuju.

+.+.+

Dua hari ini, Veux marah besar dan mogok bicara dengan mereka semua yang merupakan keluarganya.

Dan saat ini, ruangan yang biasanya ramai walaupun hening, kini menjadi sepi dan sunyi.

Tak ada orang sama sekali.

Sheett

Veux masih melamun tanpa tersadar jika ada yang datang menjenguk dirinya.

Rion.

Dia datang menjenguk Veux, namun ia juga dibuat membeku melihat Veux menatap kosong dinding depan.

"Tuan"

Bungkam

"Tuan!"

Bungkam

"Tuan muda!"

Veux terperanjat mendengar suara bentakan dari sampingnya. Tatapannya menatap tajam Rion.

"Maaf tuan, saya kesini untuk menjenguk anda, bagaimana kabar anda saat ini?"

Veux masih menatap Rion, sebelum membuang pandangannya.

"Baik"

Rion menghela nafasnya pasrah, "Tuan, sebelumnya saya berterimakasih telah membebaskan saya, saya berhutang Budi terhadap anda"

Veux menoleh, "apa maksudmu?

"Saya ingin menjadi tangan kanan anda, apa boleh?"

Rion tau itu tidak mungkin, tapi apa salahnya mencobanya.

"Tidak"

"Saya berjanji tuan, saya tidak akan berkhianat, tapi tolong angkat saya sebagai tangan kanan anda" ujarnya memohon

Veux menatap Rion lekat, sebelum ia mengendikan bahunya acuh. Rion harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan profesi itu, karena ia sudah terlanjur nyaman bersama Veux.

"Tuan-"

"Silahkan keluar, aku akan memanggilmu jika aku menginginkan informasi"

Mata Rion berbinar, sudut bibirnya terangkat menjadi sebuah senyuman lebar. Tanpa sadar, ia memeluk Veux dari samping

"Lepas! Saya tidak suka di sentuh oleh orang"

Rion terkejut mendengar itu namun ia tetap menurut, lalu melenggang pergi dari sana.

"Tidak masalah menjadi tangan kanan, asalkan aku selalu bisa bersama mu Veux" -?

𝖆𝖙𝖙𝖆𝖑𝖎 '𝖛' 𝖋𝖆𝖇𝖗𝖊𝖌𝖆𝖘𝖈𝖍𝖆 [𝖊𝖓𝖉]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang