familia-visit

681 121 12
                                    

Jangan lupa, dipencet tombol bintang dan komen banyak banyak biar aku semangat nulisnya hihi!


Jemi memarkirkan mobil milik Niki di rumah sakit tempat Noah bekerja. Benar, tadi Noah mengirimkan pesan bahwa dia kelelahan dan beruntung tadi Jemi masih diluar, jadi Noah menitip dua bungkus makanan untuknya serta untuk sang papa yang kelaparan karena sejak siang belum makan diakibatkan oleh banyaknya pasien yang mereka berdua tangani.

"malam, pa. Mau nganter ini ke ruangan papa" sapanya kepada salah satu satpam rumah sakit yang sedang berjaga. Mereka, khususnya bagi para pekerja yang mengalami shift malam, sudah mengetahui keponakan presiden rumah sakit ini. Jemi sering mampir ke rumah sakit hanya untuk mengantarkan makanan untuk papa maupun kembarannya, sama seperti sekarang.

"masuk aja, den. Berani kan?" Dengan tegas, Jemi menggeleng. Ini jam satu malam. Garis bawah, jam satu malam. Masa iya dia mau menerobos lorong lorong gelap hanya untuk mengunjungi ruangan di ujung sana. Apalagi dekat dengan ruang jenazah. Nyalinya tidak terlalu besar, bos.

"ayo, pak. Temani sampai masuk" ujarnya merangkul tangan satpam pria yang berusia paruh baya. Satpam yang dirangkulnya hanya menggelengkan kepalanya, Jemi terlihat sangat berbeda dengan Noah. Noah cenderung kikuk, dan tidak pernah berbicara jika tidak dipancing. Tapi Jemi, dari tadi sepanjang perjalanan ia sibuk mengoceh, mencoba menghalangi rasa takutnya.

"pak, kalau tikus kencing di pojok sana, baunya kecium sampai sini ga ya?"

"Pak, kalau disini dikasih rafflesia itu nanti banyak yang dateng kayanya"

"Ini lampunya kenapa sedikit banget sih? Om Suho ngga lagi miskin kan?"

Jemi, mohon maaf, disebelah kamu itu bukan Noah, haruto, apalagi Niki yang betah diberi ocehan tidak bermutu dari bibirnya. Bahkan satpam di sampingnya terkena culture shock. Biasanya beliau menangani Noah yang pendiam, atau Jeno yang senang basa basi, kini ditemukan dengan Jemi yang hiperaktif.

"pak, ini masih bapak kan ya?" Ujarnya sambil melambaikan tangan nya di depan wajah pak satpam, memastikan apakah di sampingnya adalah hantu atau bukan.

"iya, den. Ini masih saya. Oh iya kita udah sampai" ujar nya. Jemi menatap lorong gelap di hadapannya yang ada dua ruangan yang baru di renovasi. Ruangan di sebelah kiri adalah tempat jaga dokter dokter forensik, dan sebelah kanan yang tertutup gorden dan tentu saj tersambung dengan parkiran ambulance. Tidak usah diberi tahu, pasti kalian tahu ruangan apa itu.

"oh iya pak, ini ada rokok. Makasih ya udah mau anterin Jemi" ujarnya sembari memberikan sekotak rokok yang ada di saku. Masih utuh. Tersegel rapi. Nemu di mobil Niki. Jangan bilang Niki kalau rokok nya dia ambil ya!

"Wah makasih, den. Ya sudah kalau begitu, saya pamit keliling lagi" ujarnya kemudian menyalakan senter dan berjalan menuju lorong rumah sakit meninggalkan Jemi yang bergidik ngeri. Enggan menatap ke belakang dan langsung masuk ke ruangan jaga.

Disana, Jemi disambut Noah yang tengah memejamkan matanya sambil terduduk di meja. Nyala komputer menunjukkan nama nama dan hasil dari laporan yang dibuatnya masih terpampang begitu nyata. Snelli miliknya sudah ia letakkan di kursi. Ia hanya memakai kaus pendek. Entah dimana kemejanya berada.

Melihat itu, Jemi menggoyangkan badan adik kembarnya. "bangun, makan dulu" ujarnya sembari merendahkan tubuhnya. Mengecek kondisi tubuh adiknya, suhunya masih normal. Bersyukur dia adiknya tidak demam. Noah bergumam kemudian membuka matanya. "Jemi?"

"bangun, nih makan dulu. Papa mana?" Tanya Jemi. Noah membuka matanya kemudian menguap lebar. Rasa ngantuk dan lelah benar benar mendera dirinya. Bayangkan saja lebih dari sembilan jam ia berada di ruang jenazah untuk mengotopsi korban kecelakaan dua bus yang tentu saja memakan waktu banyak karena tidak hanya satu atau dua korban. Dan parahnya mereka datang dengan wajah hancur dan tubuh yang sudah tercerai-berai sehingga mau tidak mau, dia mengelompokkan potongan tubuh itu agar menjadi satu tubuh dan mengidentifikasi siapa korban kecelakaan nya.

"disana" ujarnya sembari menunjuk ruang jenazah. 

"panggil sana, suruh makan bareng. Gue juga laper lagi soalnya" Noah mendengus. "Lo aja sana, gue cape banget" ujarnya lemas.

Jemi menggeleng. Dia tidak cukup berani untuk masuk ke ruang jenazah sendirian. Melihat itu, Noah mendesah. Ia kemudian bangkit disusul Noah yang meletakkan bungkus berisi makanan yang tadi ia beli.

Noah membuka pintu kamar jenazah dengan malas karena rasa kantuk nya yang benar benar berada di ujung. "Pa, makan" ujarnya memanggil Jeno.

Jemi terdiam karena tidak mendengar suara Jeno, alhasil dia ikut melongok dan ia terkejut tentu saja. Beberapa kantung jenazah berada di meja, meja yang lain pun sudah penuh dengan tubuh yang berbalut kain putih. Noah mendengus, memanggil sang papa kembali. "Pa, makan" ujarnya sedikit lebih keras.

"ASTAGA" Jemi menaikkan suaranya begitu melihat kemunculan sang papa. Jika kalian berpikir kalau Jeno sedang melakukan pengecekan pada jenazah jenazah di ruangan ini. Tidak. Jemi terkejut saat tiba tiba satu kain putih disibakkan, dan muncul wajah Jeno yang sepertinya sangat kelelahan. Benar, papanya tidur di meja jenazah dengan tubuh ditutup kain putih. Apa tidak jantungan Jemi?

"makan dulu"  ujar Noah kemudian berjalan terhuyung-huyung kembali ke dalam ruang jaga meninggalkan Jemi di depan pintu. Jemi menatap kepergian kembarnya bergantian dengan menatap sang papa yang masih asik terduduk dengan berselimut kain putih sambil sesekali menguap. "Hih" ia bergidik kemudian setengah berlari menyusul Noah.

"makan dulu, pa" ujar Noah saat mereka berdua sudah membuka berupa ayam goreng dengan dua nasi masing masing, satu saja tidak cukup. Jeno mengangguk dan ikut duduk di lantai bersama dua jagoannya.

"jem, udah bilang ke mama kalau kamu disini? Takut mama nyariin" ujar Jeno sambil menekuk lengan kemejanya hingga siku. Noah mengangguk sambil memakan ayamnya. "udah, tadi mama bilang mau tidur sama ana" Jeno hanya menganggukkan kepalanya. Mulai memakan makan siang sekaligus makan malam nya yang tertunda.

"pa, ngga serem emang? Jangan dibiasain deh" Jeno yang sedang mengunyah bagian ayam kesukaannya,  dada ayam menjadi favoritnya selain dada istri---haish kalian masih anak anak, tidak usah paham dan tidak usah mengerti. Pura pura tidak tahu saja.

"Gimana?" Tanya nya. Jemi menoleh.

"jangan tidur di meja jenazah gitu, pa. Apalagi ditutup kain putih. Serem pa" tegur Jemi. Jeno tersenyum.

"ya gimana, bang. Namanya juga cape. Udah ngga ada tenaga buat jalan kesini" ujarnya apa adanya.

"ya tapi jangan ditutup kain juga, jangan ah pokoknya" Jeno hanya tertawa. "kenapa emang? Takut kenapa?  Kan besok juga kita bakal kaya gitu bang. Tidur ditutup kain putih. Syukur syukur kalau kita di rumah, ngga perlu tidur disini" Jemi menggeleng.

"hush hush, ngga ngga. Ngga ada yang boleh disini hush hush. Papa, mama, Noah, ana, ngga boleh tiduran kaya gitu sampai Jemi duluan. Paling engga nyampai Jemi nikah" Noah berdecih. Ia sudah selesai memakan ayamnya.

"nunggu lo nikah, sampai uncle jae pelihara macan aja ngga kesampean" Jemi melotot. "enak aja. Gini gini gue laris ya. Lo aja yang kaga laku" balas Noah nyolot. Jeno hanya tertawa mendengar kedua putranya beradu pendapat.

Noah menatap Jeno yang tertawa dalam diam. Bukan, bukan Jeno yang dia tatap. Tapi pamannya yang sudah meninggal yang ia ingat namanya sekarang, taeyong. Tengah berdiri sambil tersenyum tipis dan melambaikan tangannya.

Taeyong belakangan ini selalu terlihat berada di dekat Jeno. Berdiri atau menatap Jeno dari jauh. Pokoknya dimana ada Jeno, taeyong nampak terlihat. Noah meneguk air mineralnya hingga tandas.

Apa yang sebenarnya pamannya mau dari sang papa?

=====

ngestan junghwan berasa ngestan ponakan ya ternyata:(

FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang