familia-48 jam

550 112 7
                                    

Jeno dan Noah datang cepat-cepat menuju bandara dengan pakaian lapangan mereka. Disana rupanya masih ada jaemin yang menunggu informasi di bandara.

Dari kejauhan, Jeno masih melihat Jonah terduduk di kursi tunggu rumah sakit dengan minju yang memeluknya erat. Sepertinya Jonah juga baru sampai, terlihat dari kopernya yang ada di sampingnya.

"Jen" jaemin memanggil Jeno.

Jeno menoleh. "Gue titip yeji disini. Gue sama Noah turun"

Jaemin mengangguk mengerti. Ia akan mmbagi tugas dengan yang lainnya. Renjun dan haechan sudah ada bersama yeji. Dia akan stay disini bersama minju atau nanti dia bisa mengajak jisung untuk mencari kabar terbaru perihal Athena.

"Noah, cepat" Jeno berlari menerobos kerumunan menuju landasan pacu dimana sebuah helikopter milik angkatan udara sudah menunggunya. Jeno mengeluarkan kartu identitasnya.

"Jeno, forensik" ujarnya sambil menunjukkan kartu identitas nya. Ia kemudian masuk ke dalam helikopter bersama Noah dan beberapa orang lain.

"yang tenang, noah. Papa tahu kita sama sama takut. Tenangkan dirimu. Kita harus bisa berpikir jernih di saat seperti ini" Jeno, yang pernah mengalami hal hal sulit tentu saja harus bisa dengan cepat menguasai isi hatinya. Dia memasang wajahnya yang datar walau dia ketakutan bukan main. Dilihat dari tangannya yang bergetar.

Sementara Noah, putranya itu nampak was-was. Wajah paniknya tidak bisa ia tutupi. Lututnya terasa sangat lemas. Jeno harus bisa menenangkan Noah lebih dahulu. Akan sangat fatal jika mental nya dan mental Noah jatuh sebelum tiba di lapangan.

"pa, adek" Noah berujar lirih. Jeno menggenggam tangan putranya. "tenangkan dirimu. Semoga Athena baik baik saja" ujar Jeno sendiri yang tidak yakin.

Noah menghela napas nya. Memilih melihat ke arah jendela helikopter yang tentu saja ia bisa melihat langsung pemandangan seluruh kota dari ketinggian. Ia menundukkan kepalanya saat tangan kiri papanya merangkulnya. Air matanya turun pelan namun dengan cepat ia menghapus nya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Apa adiknya benar benar pergi?

Jeno hanya bisa meremas bahu putranya. Jeno memasang wajah datar tanpa emosi. Tidak ada yang tahu apa yang sedang pria tiga anak ini pikirkan di otaknya.

Butuh tiga jam keduanya sampai di pangkalan udara terdekat dengan lokasi yang diduga tempat terjadinya kejadian pesawat yang jatuh.

"Tegakkan bahumu. Hapus air matamu. Kita jemput Athena bersama" ujarnya menepuk punggung Noah. Noah mengangguk. Cepat cepat menghapus air matanya.

Benar kata papanya. Ia harus menjemput Athena untuk pulang dan Athena tidak suka ada yang menangis saat menjemputnya.

"dok" seorang tim medis setempat datang menghampiri Jeno yang tergesa gesa turun dari heli. Ia hendak menaiki ambulans untuk menuju rumah sakit yang ditunjuk sebagai tempat otopsi.

"Papa akan berbicara, kau simpan barang barang mu disana. Berhenti menangis Noah. Kita harus menyelamatkan mereka semua. Mereka menunggu  bantuan dari kita" Noah yang masih menundukkan kepalanya mengangguk. Cepat cepat ia berlari menuju ambulans yang akan pergi membiarkan Jeno tertinggal untuk berbicara.

Di dalam ambulans hanya ada keheningan yang melanda. Noah bukan orang yang senang mengajak berbicara lebih dahulu. Apalagi suasana hatinya yang buruk membuatnya lebih memilih untuk diam. Menenangkan dirinya dengan segala kemungkinan yang terjadi.

"dok, sudah sampai di posko" Noah mengangguk. Ia membantu membawa peralatan medis yang berada di ambulans dan membawanya keluar menuju posko.

"dok" Noah tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya saat seorang temannya menatap Noah prihatin. "saya baik baik saja. Lebih baik kita selesaikan semua ini dengan cepat" ujarnya sambil menata beberapa alat. Ia juga mengeluarkan puluhan kantung jenazah dan meletakkan nya di luar.

Beberapa orang pihak medis dan tentara nampak masuk ke ruang jenazah sementara Noah masih asik dengan dunianya. Ia bukan papanya yang berusaha tegar di saat seperti ini.

"ku dengar pesawat nya meledak di udara" Noah menghentikan aktivitasnya. Memilih menunduk.

"Tadi menurut warga setempat mendengar ledakan yang kencang. Entahlah jika pesawat nya meledak di udara bukankah tidak mungkin jika kita akan kesusahan. Tubuh yang utuh itu akan susah kita temukan" sedikit membanting gunting yang ia genggam, Noah lebih memilih untuk keluar. Kepalanya pusing mendengar kabar buruk yang terngiang-ngiang di kepalanya.

Karena Noah tau. Apa yang terjadi jika hal ini benar benar terjadi.

"Hanya ada air mineral, minumlah" Seseorang menghampiri Noah yang berdiri menghadap laut yang sebenarnya cukup jauh namun masih tetap terlihat dari tempatnya berdiri.

"Olivia?" Olivia tersenyum tipis menganggukkan kepalanya. Pakaian hijau loreng membalut tubuhnya yang tegap. Wajahnya masih sedikit biru. Rambutnya sudah ia potong hingga sebahu. Baret kebanggaan nya ia letakkan di bahu.

"minumlah" ujarnya sambil memberikan air minum dalam botol kepada Noah. Noah menerimanya. Meneguk air mineral yang diberikan oleh Olivia dalam diam. "Kau disini?"

Olivia mengangguk. "Pekerjaan pertama setelah aku cuti panjang" ujarnya berdiri menghadap ke arah yang sama dengan Noah.

"Tapi kenapa kau masih disini?" Olivia melirik jam tangannya. "Pihak SAR dan pihak gabungan lainnya sedang rapat untuk mencari cara paling cepat. Tim lain sudah mulai menyusuri laut dengan kapal masing masing. Laporan terakhir arus dibawah laut sangat deras sehingga tim penyelam harus ditarik mundur. Hujan juga sebentar lagi akan turun. Kita butuh rencana efektif. Tidak bisa turun tanpa komando karena itu membutuhkan waktu lama" Olivia menjelaskan. Noah menganggukan kepalanya mengerti.

"kau akan turun?" Tanya Noah. Olivia menoleh dan mengangguk. "Aku akan ada di kapal utama. Mungkin jika memungkinkan aku akan ikut menyelam. Tergantung atasanku menempatkan aku dimana. Kau kesini sendiri?" Noah menggelengkan kepalanya. "Bersama papa"

Mereka kemudian terdiam dengan pikiran masing-masing.

"apa... Apa aku boleh memelukmu?" Tanya Noah pelan setelah sekian lama terdiam.  Olivia menoleh. Menganggukkan kepalanya. Membiarkan Noah yang sedang kacau memeluknya.

"Kemari. Kita hanya punya waktu lima menit sebelum kita benar benar harus bekerja tanpa henti selepas ini" ujarnya memeluk Noah. Ia menepuk nepuk punggung pria tegap bernetra biru yang terdiam.

"pasti berat ya?" Olivia berbisik lirih. Noah hanya menganggukkan kepalanya. Membiarkan dirinya memeluk Olivia karena sekarang dia sendirian. Dia butuh seseorang. Dan Olivia datang disaat yang tepat.

Suara mobil terdengar kemudian, rombongan TNI, sar, serta forensik sudah berdatangan. Sepertinya rapat telah usai. Noah dan Olivia lantas melepas pelukan mereka.

"Mereka sudah datang, aku harus pergi. Kalau kau butuh aku cari saja. Kalau tidak ada berarti aku ada di laut. Yang kuat, Noah" ujar Olivia memakai baretnya kembali.  Ia menepuk bahu Noah sekali. "Aku pergi" ujarnya sebelum berlari menuju tim nya.

Noah menatap kedatangan tim gabungan dengan seksama. Mereka nampak profesional, termasuk papanya. Beberapa tentara berpangkat tinggi turun dari mobil dan langsung bergegas menuju dermaga. Helikopter mulai beterbangan di angkasa. Kapal utama datang bersandar ke pelabuhan. Noah bisa melihat olivia merangsek naik dengan memegang alat komunikasi di tangan. Berdiri gagah di depan kapal. Dan Noah bisa melihat papanya memegang beberapa kantung jenazah di tangannya. Berkoordinasi dengan pihak medis lain.

Noah menarik napas panjang sebelum berlari mendekati ke arah tim medis yang sedang rapat dadakan.

Tujuannya kini hanya satu. Ia ingin memberi tahu Athena, adiknya, bahwa kakaknya akan selalu menjemputnya. Dengan atau tanpa nyawa.

----

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak disini yaaa bestie 👍

FamiliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang