67. Yoongi XXXXXXIV

469 33 58
                                    

Dahiku mengernyit manatap kartu emas di tanganku. Kuletakkan kartu itu dengan kasar, nyaris melemparkannnya ke tengah meja. "Kau, KimYoongi, dijodohkan oleh kartu beginian?"

"Bukan dijodohkan. Tepatnya, kalimat di kartu itu adalah semacam petunjuk. Kalau diikuti, kata mak comblang aneh itu kami akan bertemu dengan jodoh kami." Yoongi menatapku. "Dan kartuku, selalu membuatku, semakin dekat denganmu."

"Bullshit." Aku mencemooh.

Tapi diluar perkiraanku, bukannya menyetujui selorohanku, Yoongi justru mendesah. "Awalnya, akupun berpikir begitu."

Ia menghisap rokok elektriknya dalam-dalam, lalu mengepulkannya dalam bentuk lingkaran-lingkaran kecil. Tertawa sendiri seakan mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Aku menatap ke langit, bersyukur kami memilih cafe outdoor ini untuk makan siang. Hari sudah menjelang sore, sinar matahari terasa hangat menerpa kulitku.

Aku menatap Yoongi. Matanya masih sembab dan hidungnya bersemu merah. Ia tadi menangis begitu histeris, sampai pengunjung rumah abu lainnya menatapnya kebingungan.

Aku lagi-lagi hanya bisa memeluknya, mengelus punggungnya hingga ia berhasil menenangkan dirinya sendiri.

Sesungguhnya, aku masih sulit percaya kalau Yoongi bisa begitu kehilangan Seohee yang bahkan tidak pernah ia temui. Aku melihat sendiri Yoongi menghilangkan nyawa manusia, dan tidak pernah benar-benar menghargai keberadaan orang lain.

Kenapa Seohee bisa berbeda?

Aku menghela napas. Apalah arti sebuah alasan? Rasa kehilangan, apapun alasannya, tetap terasa menyakitkan.

Lama kelamaan Yoongi akan terbiasa. Seperti aku dan Seoho.

Aku menyadari Yoongi juga menatapku balik. Mengusap matanya seakan melakukannya akan bisa menghilangkan bengkaknya dalam sekejap.

Diambilnya kartu yang kulemparkan. Diacungkannya ke arahku.

"Tepat sebelum kau memenangkan Best New Actress Award, kartu bertuliskan "Saat di atas" muncul. Waktu itu, aku memutuskan jujur menyatakan keinginanku untuk bersamamu, lebih daripada sebagai seorang sugar daddy. Dan kita bersama sampai sempat bertunangan."

"Itu kebetulan." Aku menyergah sengit, meminum kopiku dengan tegang.

"Waktu kartu "Mendekat dari bayangan" muncul, tiba-tiba Taehyung muncul dari bagian ruangan yang gelap tertutup bayangan, menyampaikan berita kau putus dengan Seoho. Dan di apartemen Joy, kau juga menangis di pojokan yang tertutup bayangan." Suara Yoongi berubah getir. "Lalu saat aku meninggalkan Paris, kartu bertuliskan "Happy birthday" tiba-tiba ada dalam sakuku. Dan ternyata... Seohee..."

Aku terdiam. Hati kecilku masih ingin ngotot kalau itu semua hanyalah kebetulan. Tapi, terlalu banyak point yang benar mendekatkan kami. Seperti sihir, atau ramalan yang selalu tepat.

"Kau bilang, kau bertemu perempuan ini di hari ulang tahunmu kemaren. Kartu terbarunya bilang apa?"

Yoongi menyeringai. "Aku membuangnya."

"Kenapa "

"Karena kartu itu mengarahkanku untuk membuat keputusan yang aku tidak suka."

Aku mengangguk-angguk. Sangat tipikal Yoongi. "Jadi keputusanmu bagaimana?

"Sebelum aku pergi ke Paris, Seoho minta aku menikahimu." Tangannya terulur padaku, seakan menawarkan sesuatu. "Tentunya, kalau kau bersedia."

Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Yoongi memotongku.

"Tapi, hanya setelah kita mencapai kesepakatan tentang ini."

Ia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas kulit nya. Meletakkannya di meja, lalu mendorongnya ke arahku.

Pandora's Dating Agency: Yoongi's Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang