66. Yoongi XXXXXXIII

398 27 13
                                    

TW: Berkenaan dengan kematian.

- - - 💠💠💠 - - -

Aku dan Yoongi berdiri di depan rak kaca berisi guci mungil berwarna putih dan pink.

Tidak ada benda memorabilia, surat, atau bunga-bunga seperti di rak yang mengapitnya.

Hanya origami bintang-bintang yang sengaja ditaburkan bagaikan pasir berwarna-warni. Frame kecil disebelah guci itu berisi sebuah foto polaroid buram dan lembaran USG yang mulai memucat.

"Seohee, eomma datang lagi."

Aku meletakkan jariku di pintu kaca di depan rak itu. Mengelus perlahan, seakan aku mengelus guci mungil di dalamnya.

"Hari ini, eomma bersama Yoongi appa. Seohee sudah ketemu Seoho appa kan bulan lalu?"

Aku menggigit bibirku. "Jangan tanya appa Seohee yang mana ya. Keduanya sayang Seohee kok. Seohee percaya eomma, kan?"

Aku menatap Yoongi di sebelahku. Wajahnya pucat pasi. "Yoongi oppa, ini LeeSeohee. Anakku."

"Jadi kandunganmu..."

"Ceritanya panjang." Aku tersenyum. "Aku akan ceritakan semuanya. Nanti. Tapi mungkin kau punya banyak cerita buat Seohee?"

Bibir Yoongi gemetar dan matanya mulai berkaca-kaca.

Aku mengelus pintu kaca itu sekali lagi. "Aku selalu bilang pada Seohee, kalau ia punya dua appa. Tapi appa yang satu harus bekerja sangat jauh, sampai eomma saja tidak pernah bertemu."

Perlahan aku menggenggam tangan Yoongi, meletakkannya di pintu kaca itu. "Kurasa, Seohee kangen padamu. Makanya ia memanggilmu pulang dari Paris."

"Apa yang kau ingin dengar, Seohee?" Aku menggenggam tangan Yoongi hangat. "Tentang kota Paris yang cantik, atau tentang Yoongi appa yang belajar piano disana?"

Tangan Yoongi terasa gemetar, rasa dingin mulai merayap di jemarinya.

"Seohee, kau tau Yoongi appa menulis lagu buat Seoho appa?" Aku melanjutkan. "Kau sudah dengar lagunya kan waktu Seoho appa menyanyi disini? The one. Kau suka?"

"Lagu The One, itu tentang eomma-mu, Seohee." Yoongi menyambung kalimatku. Suaranya begitu lirih. Sengau menahan tangis. "Hai Seohee. Maaf aku baru bisa datang menemuimu."

Air mata tidak terbendung lagi.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu. Andaikan aku tahu..."

Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Pelan disandarkannya dahinya di pintu kaca rak itu, menunduk. Tetes bening menetes satu persatu, membasahi sepatunya.

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan isakannya. Tapi dengan cepat, sedu sedannya mulai tidak terkendali.

Perlahan aku menarik bahunya, memeluknya. Mengelus rambutnya lalu menyandarkan kepalanya di bahuku.

Dan disanalah kami berdiri berpelukan, entah berapa lama. Hingga akhirnya dengan berat hati kami mengucapkan perpisahan, dan berjanji untuk datang kembali.

Tidak ada kata-kata terucap saat kami meninggalkan rumah abu yang sepi. Hanya jemari kami yang bertaut, saling menguatkan satu sama lain.

- - - 🔹🏺🔹 - - -

Yoongi menatapku tajam. "Kenapa kau tidak pernah memberitahuku? Tiga tahun aku..." Ia memberantakkan rambutnya lalu mencakar wajahnya dengan frustrasi. "...selama ini kukira kau memilih untuk aborsi."

Aku menyedot latte dinginku, tidak memandang Yoongi sama sekali. "Kau butuh waktu untuk dirimu sendiri. Karena itu kau menghilang."

"Ya. Betul. Tapi hal sepenting ini, bagaimana bisa kau...ARGH!!!"

Pandora's Dating Agency: Yoongi's Story [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang