53

235 41 1
                                    

Aku menghela nafas lalu menatap mereka semua dengan tatapan tajam.


"Tidak dia tidak memasukkan namanya ataupun menyuruh senior melakukan itu untuknya"


"Tapi aku mencurigai dua orang" kataku dalam pikiranku melepaskan occlumensy ku sesaat agar pak tua itu dapat membacanya.


Mereka menghela nafas tapi tak ada kelegaan dalam wajahnya.


"Jadi ini tergantung padamu, Barty"


Semua orang memperhatikan pak kumis dengan wajah tegang, aku sih dengan wajah santai mencoba menutupi detak jantungku yang berdebar tak beraturan.


"Peraturannya sudah mutlak, piala api memiliki kontrak yang mengikat.


mr. Potter tak punya pilihan, dia mulai malam ini seorang pejuang triwizard" katanya final.


"Tidak tidak dia masih dibawah umur" kataku dengan spontan.


"Siapa kau mempertanyakan keputusan?" aku memakluminya, sepertinya pak kumis ini sudah lelah dengan keadaan setelah kemarin dituduh bergabung dengan pelahap maut.


"Hah aku? Hey pak tua jadikan aku panitia" kataku sambil memandang pak tua tajam sementara yang dimaksud langsung mengangguk.


"Nah lihat sekarang aku panitia" kataku sambil melipat kedua tangan di depan dada.


Tampak pak kumis menghela nafas. Maafkan aku, tapi sungguh jika ada kesempatan aku ingin dia tak mengikutinya, sekecil pun kesempatannya akan aku coba!.


"Tak bisa mr. Black, seperti yang kuucapkan tadi. Piala api memiliki kontrak yang mengikat"


"Ah sialan" gumamku.


Lalu kami serentak menatap Pottah, iya berwajah bodohlah seumur hidupmu Pottah.


Satu-persatu meninggalkan ruangan dengan wajah tercengang atau tak percaya. Terlebih sepertinya para pejuang yang lain tampak tak terima. Aku juga menyadarinya, Pottah itu anak emas pak tua jadi apapun yang dia lakukan pasti akan menjadi point tambahan. Bisa dipastikan Pottah yang memenangkan turnamen ini.


Aku berjalan keluar ruangan mengikuti pak tua. Kami berkumpul di ruangan ramuan milik AG. Semua orang disini memikirkan jalan keluar. Tapi pak tua dan AG berpikir untuk membiarkan saja. Pak tua menyerahkan mengawasi Pottah pada mad-eye, aku mengusir pikiran bahwa mad-eye bukanlah mad-eye.


Aku tak ada kesempatan untuk berdekatan dengannya. Jika iya aku pasti sudah mencium bau yang mencurigakan. Sayangnya aku tak bisa begitu saja berdekatan dengannya, seperti yang mereka tau aku tak suka berdekatan dengan orang tua. Jika aku tiba-tiba mendekatinya, bukankah aku yang akan dicurigai? 


"Lynx, kau bagian membantu madam Pomfrey" eh masih dilanjut nih? Yasudah


Aku mengangguk mengerti. AG menatapku datar membuatku mengangkat satu alis bingung.


"Kau terlalu berani mr. Black" katanya membuatku terkekeh.


"Haha setidaknya aku tak hanya diam dan memperhatikan saja" kataku lalu langsung berjalan meninggalkan ruangan berisi para orang tua itu.


Aku memasuki asrama. Ternyata masih ramai, saat suara pintu terbuka semua orang nampak langsung mengalihkan atensinya. Lalu mereka langsung mengerumuni aku.


"Lynx ceritakan semuanya!" Kata Draco diangguki yang lain membuat aku menghela nafas lelah.


"Apa yang ingin kalian ketahui?" Kataku sambil berjalan menuju sofa.


"Bukankah sudah jelas? Pa-maksudku Dumbledore hanya menyuruhku mengawasi piala api, lalu ada kejadian seperti ini dan aku diminta kesaksian. Jelas bukan?" kataku saat sudah duduk.


"Tapi, mengapa kau?" mulut siapa itu?


"Kau bodoh, ibunya kan seorang Silva. Kuharap kau tidak melupakan jasa-jasa mereka" bukan aku, itu Draco yang menjawab aku hanya mengangguk membenarkan.


"Apapun itu, jika si Pottah tak memasukkan namanya ke dalam piala api lalu bagaimana?" sontak semua atensi langsung tertuju padaku.


"Hmm? Entahlah, lagipula untuk apa kau pikirkan hal itu? Kan dia yang menjalani jadi biarkan saja haha" kataku sambil tersenyum remeh, ditanggapi dengan senyum remeh juga oleh mereka membuatku menghela nafas pelan.


Sebenarnya itu untuk mengalihkan percakapan karna aku tak mau membicarakan kecurigaanku pada mereka semua. Aku berdiri lalu meninggalkan mereka menuju kamarku. Rencana untuk berdiam terus di langit-langit great hall gagal jadi aku ingin setidaknya tidur lebih awal.


[Cleo, kabarkan pada ayah soal ini] 


[Baik, master!]


Aku tidur telentang menatap langit-langit kamar dengan tangan kiri menahan kepala dan tangan kanan mengelus Apollo yang tidur di sebelahku. Bagaimana nasib Pottah besok ya? Sepertinya aku harus menghiburnya.


Anak Malang.


Untung aku anak kedua orang tuaku.





Voment

Sirius Son ɪv (end) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang