Bagian 9 : Good Bye Viya

7.3K 1K 54
                                        

Dear Diary...

Tulisan ini mungkin menjadi tulisan pertama dan terakhir yang akan aku tulis di buku ini.

Sebelumnya, aku akan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namaku Viya Fitriani. Aku anak tunggal. Ibuku sudah meninggal, sedangkan ayahku seorang tukang sapu di sekolah baruku, SMA Praba. Berkat profesinya itu, aku berhasil diterima di SMA Praba dengan beasiswa yang menyertaiku sampai lulus nanti.

Walau Ayahku hanya seorang tukang sapu halaman, aku sama sekali tidak malu, sungguh. Aku bangga padanya dan juga... merasa bersalah. Aku belum bisa memberikan apapun saat kulitnya kian keriput setiap harinya. Sudah banyak yang Ayah berikan, korbankan, dan perjuangkan hanya untuk aku. Oleh karena itu aku belajar dengan sungguh-sungguh untuknya. Ayah bilang, satu-satunya cara membalasnya sekarang adalah dengan belajar sungguh-sungguh.

Ayah sering memberikanku uang jajan secara sembunyi-sembunyi jika berpapasan denganku di taman. Katanya, dia takut aku malu punya Ayah seorang tukang sapu. Aku sudah berulang kali bilang tidak, tapi dia selalu bilang takut aku tidak diterima dengan baik di sana.

Sampai akhirnya, apa yang ditakutkan Ayah benar. Salah satu teman sekelasku mengetahui jika aku anak seorang tukang sapu halaman. Mereka membully-ku, menjadikanku pesuruh, merendahkanku terang-terangan, dan masih banyak lagi hal buruk yang mereka lakukan. Aku tidak terima di tempat ini. Keberadaanku tidak diinginkan oleh mereka.

Setiap bertemu dengan Ayah, aku selalu menunjukkan senyum versi terbaikku padanya. Seolah, aku tidak pernah merasakan sakit atau dikhianati dunia. Namun, Ayah tahu aku. Dia tahu aku tidak baik-baik saja. Ayah merasa bersalah padaku, berulang kali meminta maaf dengan keadaannya yang begitu. Hatiku sakit mendengarnya. Lebih sakit dibandingkan dengan perkataan mereka yang merendahkanku.

Dua bulan kemudian, penyakit paru-paru basah Ayahku kian parah. Ayah dirawat berminggu-minggu di sana. Walaupun begitu semua itu tidak membuahkan hasil, Ayah kian kesakitan, hingga akhirnya pergi meninggalkanku sendirian.

Ayah pergi dihari ulang tahunnya yang ke-50 tahun. Padahal aku sudah memberikannya sebuah sarung tangan katun karena kulihat punyanya sudah bolong-bolong. Namun sarung tangan itu tak sempat aku berikan, Ayah pergi terlebih dahulu menghadap sang Maha Kuasa.

Kini, tinggallah aku sendirian. Tidak ada Ayah, sama saja kehilangan harapan satu-satunya yang membuatku bertahan. Siapa yang menginginkan keberadaanku sekarang? Siapa yang akan menyambutku pulang?

Saat dalam keadaan terpurukku, ibu pemimpin Yayasan datang kepadaku malam itu, dia bilang akan mengurus, menjaga, dan menerimaku. Seharusnya aku tidak menerimanya saat itu, di dunia ini tidak ada yang gratis. Beberapa bulan aku diterima olehnya, anehnya aku mulai sakit-sakitan. Sering keluar-masuk rumah sakit tapi dokter selalu bilang aku baik-baik saja.

Tubuhku kian lemah setiap harinya. Akhirnya aku putus sekolah karena terlalu sering tidak masuk sekolah. Saat keadaanku berada di titik terlemah, ibu kepala Yayasan membawaku ke dalam sebuah asrama tua. Dia menyuruhku masuk ke ruangan nomor 1. Aku tidak mengerti sebenarnya, tapi aku turuti apa maunya.

Dan di sinilah aku sekarang, di sebuah ruangan berantakkan dengan sisa hidupku yang tinggal sedikit. Aku kerahkan sekuat tenaga untuk menulis ini dan semoga saja ada orang yang membaca tulisan acak-acakkanku.

Oh, iya, tolong berikan sarung tangan itu pada Ayahku. Aku merasa dia masih menungguku di luar sana.

Ceritaku berakhir sampai di sini. Terima kasih sudah mau membaca.

14 Januari 2000
Viya Fitriani.

14 Januari 2000Viya Fitriani

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
GHOST ROOMS [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang